Yang Dulu Sempat Ada
Enggan bagi hati untuk mengakui, sejengkal makna kerinduan.
Yang dibaliknya sempat ada kerisauan, yang sesudahnya hanya tinggal penyesalan.
Untuk apa bahasa diciptakan jika lisan tak berdaya mengolah perasaan, dan berakhir tak terkatakan.
Walau raga tak ada di sisi, masih mampu jiwa mendaras sekelumit isi hati yang kini menagih janji.
Hutang yang mungkin saja tak lagi bisa dilunasi, pertemuan antara ilusi dan intuisi.
Dulu maksud hati ingin mengobati, namun apa daya jika filosofi menghianati dan menerobos tanpa permisi.
Aksaramu dan aksaraku bagai dua sisi mata uang.
Begitu dekat, namun saling memunggungi.
Kini derai rindu menjelma kosong, ragamu dan ragaku dilontarkan dengan ketapel jauh ke kutub bumi.
Kau di utara, sedang aku di selatan.
Saling menyapa dalam sunyi yang menggigil, tak ubahnya mummy dalam peti mati.
Gores-gores pena pemikiranmu kembali terbaca.
Hanya aksara itu yang mampu menghubungkan, membantuku memahami sebentuk garis tawa dan tangis dalam rangkai bait serupa diksi yang berisi.
Tanpa sadar rindu kembali menatap nyalang, sekali lagi melemparkanku kembali ke masa itu.
Di mana aksaraku dan aksaramu terjahit rapi dalam benang merah jambu.
***
Oleh: Dymar Mahafa
Yang dibaliknya sempat ada kerisauan, yang sesudahnya hanya tinggal penyesalan.
Untuk apa bahasa diciptakan jika lisan tak berdaya mengolah perasaan, dan berakhir tak terkatakan.
Walau raga tak ada di sisi, masih mampu jiwa mendaras sekelumit isi hati yang kini menagih janji.
Hutang yang mungkin saja tak lagi bisa dilunasi, pertemuan antara ilusi dan intuisi.
Dulu maksud hati ingin mengobati, namun apa daya jika filosofi menghianati dan menerobos tanpa permisi.
Aksaramu dan aksaraku bagai dua sisi mata uang.
Begitu dekat, namun saling memunggungi.
Kini derai rindu menjelma kosong, ragamu dan ragaku dilontarkan dengan ketapel jauh ke kutub bumi.
Kau di utara, sedang aku di selatan.
Saling menyapa dalam sunyi yang menggigil, tak ubahnya mummy dalam peti mati.
Gores-gores pena pemikiranmu kembali terbaca.
Hanya aksara itu yang mampu menghubungkan, membantuku memahami sebentuk garis tawa dan tangis dalam rangkai bait serupa diksi yang berisi.
Tanpa sadar rindu kembali menatap nyalang, sekali lagi melemparkanku kembali ke masa itu.
Di mana aksaraku dan aksaramu terjahit rapi dalam benang merah jambu.
***
Oleh: Dymar Mahafa
Suka banget sama kalimat ini 😍 "Untuk apa bahasa diciptakan jika lisan tak berdaya mengolah perasaan"
BalasHapusThanks a lot bang iyan.. 🤣
Hapus