Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

You are REAL - 14

Getar aneh menyebalkan. Deret kebetulan yang mendebarkan. Semua itu terjadi begitu nyata di depan kedua mataku. Entah kenapa aku tak bisa berhenti merekamnya. Tapi yang pasti aku masih belum bisa meyakininya. Meyakini kebetulan ini. Yah, kita sebut saja seperti itu. Aku kurang suka dengan istilah 'takdir'. Lebih tepatnya, belum. Aku belum berniat untuk membubuhkan diksi itu ke dalam kisah kusut ini. Real. Sosok yang begitu memikat, sekaligus juga membingungkan. Terkadang tak bisa ku mengerti jalan pikirannya. Meski begitu, entah kenapa aku berusaha keras untuk memahami setiap detail perilaku angkuhnya itu. Real. Dia baik, ramah dan menyenangkan. Pandai bergaul, cerdas serta punya rupa yang sempurna. Tampan. Tinggi badannya nyaris sama denganku. Hanya saja terkadang aku merasa bahwa dia seinchi lebih pendek dariku. Apalagi jika aku mengenakan pantofel hak enam senti. Terlihat jelas bahwa aku yang lebih tinggi. Samar-samar ku ingat bulan apa waktu itu. Sekitar bulan Okt

You are REAL - 13

Pagi itu, sebuah kebetulan yang lain kembali menyapaku. Bukan menyapa, lebih tepat jika aku sebut mengejek, memporak-porandakan pertahanan kekukuhanku akan petuah orangtuaku. Siapa lagi yang bisa melakukannya? Memangnya karena siapa lagi? Aku yakin kalian sudah hafal benar. Real. Kemeja batik dominan merah lembut dengan ornamen lukisan abstrak yang khas. Batik yang biasa ia kenakan setiap hari kamis. PTT seperti kami, belum mendapat jatah seragam batik khas sekolah. Jadi untuk hari-hari kamis, jumat dan sabtu kami mengenakan batik bebas. Aku dan dia seringkali mengenakan batik yang serupa di hari yang sama. Contohnya seperti hari itu. Hari kamis. Kami mengenakan batik dengan motif dan warna yang serupa. Kombinasi merah lembut yang mengarah ke warna merah jambu. Sekali lagi karena kebetulan. Kebetulan itu terus berlanjut hingga aku hafal koleksi pakaian dinas yang ia kenakan ke sekolah setiap harinya. Namun, seiring waktu berlalu, kebetulan yang lain saling tumpang tindih. M

You are REAL - 12

Hening. Di ruang penuh buku ini hanya ada aku dan dia. Siapa lagi? Real. Itu sudah menjadi kebiasaannya setiap pukul sebelas siang. Ia selalu duduk terpekur membisu di sudut meja perpustakaan pada jam istirahatnya. Untuk sejenak menenangkan diri dari penatnya beban pikiran pengerjaan data dapodik sekolah. Ia tidak akan buka suara jika tidak ditanya. Tak berselang lama, Kepala Sekolah memasuki ruang perpustakaan. Pak Ariono menyalamiku dan Real, sebelum duduk di bangku agak tengah dari meja lebar perpustakaan. Aku duduk di meja kerjaku, di samping pintu masuk. Jadi posisi duduk kami berdua berada pada satu garis lurus dengan Pak Ariono di tengah. Seakan menjadi benteng diantara kami. "Mbak Dara," Pak Ariono memulai. Aku sudah hafal tabiat beliau. Jika kemari, pasti ada sesuatu hal penting yang perlu dibahas. Mengingat ruangan ini ada di gedung bagian utara pojok belakang, jadi Kepala Sekolah tak mungkin berpayah-payah jalan ke sini jika tidak ada hal yang begitu kr

You are REAL - 11

Sexy. Satu diksi paling tepat yang akhirnya ku pilih untuk menggambarkan dia saat itu. Siapa lagi? Real. Dengan balutan seragam pengawas ujian yang baru. Kombinasi hitam dominan dan biru air. Dengan setelan bawahan warna senada, hitam pekat. Dan coba lihat itu. Lengan baju yang panjang ia lipat sampai siku. Begitu pas, serasi menampakkan lengan-lengannya yang proporsional itu. Sungguh satu lukisan indah hasil karya Sang Pemilik Semesta. Pemandangan yang hampir setiap hari aku lihat pada penampilannya. Namun, kali ini berbeda. Dari semua warna yang pernah ia kenakan, kurasa ia terlihat sangat modis jika mengenakan baju serba hitam. Tingkat ketampanannya serasa meningkat pesat. Aku tersipu. Hati ini tiba-tiba kesemutan. Getar-getar aneh seketika menjalar bagai aliran arus listrik. Laki-laki itu sungguh punya daya pikat yang luar biasa. Setrum pesonanya begitu kuat, nyaris mematikan. Untuk kesekian kalinya, aku kembali terlena. Aku telah terkena jeratnya. Cupid sialan! Beraninya

You are REAL - 10

Kebetulan. Ketidaksengajaan. Manusia terkadang menyebutnya dengan berbagai istilah yang berbeda. Orang-orang realistis juga mempunyai istilahnya sendiri, yakni: 'Memang sudah waktunya kamu mengalaminya'. Ya, kurang lebih kalimat semacam itu yang biasa orang-orang tua katakan untuk memberi wejangan serta petuah kepada anak-cucunya. Namun, tidak demikian denganku. Untuk masalah yang satu ini, aku memilih untuk menyangkal semua kebetulan yang terjadi. Intuisi, aku tidak sepenuhnya berpegang pada firasat semacam itu. Karena, terkadang bahkan seringkali firasat hati menyesatkanku. Membuat pikiranku seperti benang kusut. Dan kemudian gagal untuk coba ku urai. Takdir cinta. Atau apalah itu, aku tak begitu tertarik untuk membahasnya. Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, ada perasaan riskan sekaligus khawatir. Riskan karena di satu sisi, ada beberapa faktor yang memaksaku mau tak mau untuk berhenti mengusahakan jodoh. Khawatir karena jelas usiaku tak bisa menunggu lebih l

You are REAL - 9

Selasa, 14 Maret. Pulang kerja, kira-kira sekitar pukul 13.55, aku bertemu dengannya. Tidak bisa dikatakan pertemuan secara terang-terangan sih. Eits, bukan juga pertemuan gelap-gelapan. Ah, sudahlah terserah apa itu sebutannya. Toyota putih milik sekolah. Dia ada di dalam sana, mengemudi. Memutar balik mobil itu untuk kemudian memarkirkannya ke garasi sekolah. Dimana aku? Tepat di sisi seberang tempat parkir motor. Awalnya aku tidak tahu pengemudi mobil itu adalah Real. Aku acuh-acuh saja, seraya merapikan isi tasku sebelum beranjak menstater si vario hitam. Mobil putih di belakangku sibuk bergeser. Sedikit demi sedikit. Membenahi posisi agar mudah diputar balik. Aku menunggu. Tetap diam di tempatku. Seraya membenahi posisi motorku agar bisa keluar dari jejeran kendaraan roda dua yang terparkir di kanan-kiriku. Masih ku acuh dengan siapa sebenarnya pengemudi di dalam mobil. Dan tiba-tiba... "Mas Real, aku ikut naik dong." seru Bu Hindwi seraya menghampiri mot

You are REAL - 8

Kediri, Sabtu, 05 Nopember 2016. 12:17. ###################### Dia... Dia yang namanya tak boleh disebut. Dia bukan Voldemort. Namun anehnya, seperti Voldemort, tiap kali ku sebut namanya dan ku berpuisi tentangnya, membayangkan paras indahnya, Dia... Secara tiba-tiba, tanpa aba-aba, tak ku duga-duga, datang dan muncul di hadapanku. Dengan senyum dan kharismanya yang menjerat, memikat, begitu kuat. Dia... Yang telah membuat jantungku jumpalitan. Berdebar tak karuan. Berkelana tanpa tujuan. Dia... Yang mengubah sedihku menjadi rindu dan candu. Dia... Yang selalu ada di sekitarku tanpa ku minta. Tanpa ku undang. Datang tiba-tiba, pergi tanpa kata. Mirip seperti..... ah, sudah lupakan. Dia... Magnet terkuat yang memikat jiwaku bagai pukat. Menjerat begitu kuat. Hingga ku tak mampu lepas dari jerat pesonanya. Dia... Sang pencuri hati, sekelas Kaito Kid. Tanpa jejak, tanpa bukti, dan alibi sempurna. Mengobrak-abrik relung jiwa, mengalihkan perhat

You are REAL - 7

Aku berjalan cepat di sepanjang koridor, mengimbangi langkah Bu Lita. Beberapa saat lalu, setelah aku menghadap Kepala Tata Usaha, aku diminta untuk menemui Bendahara sekolah. Seperti yang sudah bisa kalian tebak. Pada akhirnya, rencana Tuhan adalah yang terbaik. Terhitung mulai hari ini, aku telah resmi direkrut sebagai PTT di sekolah ini. Sekolah yang dulu menjadi almamaterku. Kini entah dengan jalan yang demikian rumit, pada akhirnya aku kembali ke sekolahku sendiri. Namun kali ini bukan sebagai siswa, melainkan sebagai staff. "Jadi begini, Mbak Dara." Pak Ariono mengawali. Masih terngiang di benakku, tentang isi perbincanganku kemarin dengan Kepala Sekolah SMP Negeri Ringinrawa. "Bu Ratri yang sebelumnya bertugas di bagian perpustakaan, rencananya akan melimpah sebagai guru PPKn. Sehingga petugasnya sekarang kosong di sana. Nah, ini saya tawarkan ke Mbak Dara, kira-kira bisa tidak kalau panjenengan mengisi tempat kosong tersebut?" ujar Pak Ariono dengan s

You are REAL - 6

Berkisah tentang Real serasa tak ada habis-habisnya penaku menari. Aku berharap kalian segera bosan dan jenuh membaca kisah ini, sehingga aku bisa mengunci kisah ini di tempat lain. Namun seringkali harapan tak sesuai dengan realita. Kalian tetap saja menanti-nantikan kelanjutannya. Bukan aku terlalu percaya diri atau sudah merasa jadi penulis kondang profesional. Tapi jika aku boleh mengajukan satu pertanyaan, sebenarnya apa sih yang kalian sukai dari kisah klise kusut ini? Real. Sosoknya begitu rupawan. Menarik hati siapapun yang memandangnya. Real. Berwibawa sekaligus penuh pesona saat pertama kali kalian bertemu dengannya. Semua itu adalah kesan yang akan kalian rasakan diawal pertemuan. Dan memang itu yang dulu aku rasakan. Pasti ada saja yang membuatku tersipu bila ada dekat dengannya. Itu jauh sebelum aku terlibat perbincangan dengan Real. Rangkaian kejadian enam bulan yang lalu, kembali memenuhi pikiranku. Ini terjadi sebelum aku mengenal sosok Real. Dan kejadian in

You are REAL - 5

Tepat pukul tujuh lebih lima menit, aku memasuki gerbang sekolah yang hendak ditutup oleh para siswa yang bertugas piket pagi itu. SAFE! Aku lega. Nyaris saja, terlambat. Terlihat lautan para siswa yang akan melaksanakan upacara bendera hari Senin, berduyun-duyun memadati pelataran lapangan SMP Negeri Ringinrawa. Motorku terhenti sejenak, menanti gerombolan siswa menepi memberi jalan. Mataku melihat sekitar. Beberapa guru telah bersiap keluar ruangan menuju tempat upacara. Motor ku lajukan kembali. Real? Aku melewati sosok Real yang berjalan menuju kerumunan anak-anak. Sungguh pagi yang menyenangkan. Aku sadar, aku tersenyum. Namun, dalam hati saja. Real berjalan begitu saja. Tanpa melihatku. Mungkin dia tidak tahu. Atau pura-pura acuh? Namun biasanya dia tersenyum menatapku untuk sekedar bersopan santun. Aku pun begitu. Tak berani ku tatap wajahnya. Namun sekilas bisa ku pastikan dari sudut mataku bahwa itu tadi benar-benar dia. Sungguh itu adalah Real! Oh, ya. Wajah

You are REAL - 4

Bodoh!  Umpatku dalam hati. Aku kesal pada diriku sendiri. Entah kenapa perasaan tak enak menyergapku tiba-tiba. Dalam hitungan detik. Seakan tersengat aliran listrik dalam voltase kecil. Hingga cukup membuat otakku linglung. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh, Dara!  Belum puas ku memaki diriku sendiri. Perasaan ini, rasa tak enak ini, rasa bersalah. Baru ku tersadar setelah aku menyodorkan ponselku pada Real dan setelahnya aku memberinya informasi tentang solusi kendala pada tampilan layar yang terbalik itu. Seketika itu juga, rasa bersalah menyeruak, tumpah, bagai keran, mengalir deras. Aku memang bodoh! Kenapa aku malah membantunya? Bukankah itu hanya akan membuatnya merasa kecil? Merasa remeh, merasa tidak berguna. Argh! Sok pintar sekali aku ini. Rasanya ku ingin menampar diriku sekarang juga. Kenapa aku melakukannya. Reflekku benar-benar tanpa ada pikir panjang. Aku menyesal. Mungkin saat ini yang ada di benaknya adalah: "Buat apa Dara memanggilku kemari kalau dia

You are REAL - 3

Satu kejadian konyol kembali mewarnai hari-hariku di sekolah. Hari jumat keramat. Hari itu adalah hari terakhir ujian try-out berbasis komputer. Mata pelajarannya Ilmu Alam. Diawali dengan suatu pagi yang membahagiakan. Bagiku, tentu saja. Aku menjabat tangannya pagi ini. Tangan siapa lagi? Tangan Real. Hanya sekilas, namun terasa. Terasa apa maksudnya? Terasa kelembutannya. Duh, tangannya saja lembut, apalagi aspek-aspek yang lain. Tunggu, aku himbau kepada kalian untuk tetap berpikiran positif. Maksudku dengan aspek lain adalah perilaku dan sifatnya serta caranya memperlakukan wanita bisa jadi juga halus, lembut. Bukan hanya kita berdua yang ada di depan kelas lantai dua. Tapi juga ada guru-guru yang lain, yakni yang bertugas sebagai pengawas ruangan. Jadi kalian tidak bisa menghakimi orang ketiga adalah kalian. Ups, setan. Sesi satu dan dua bisa aku lewati dengan lancar. Tanpa kendala yang berarti. Sedangkan sesi terakhir, yakni sesi ketiga, akan dilanjutkan setelah ibadah j

You are REAL - 2

"Mbak?" Suara seseorang mengusik tidurku. Perlahan ku buka mataku. Dengan sangat berat hati. "Mbak Dara?" Lagi-lagi suara itu memanggil. Sosok itu seketika membuat nyawaku kembali terkumpul. Dia? Real ada di depanku sekarang. Apa ini mimpi? Coba aku cek sebentar. Ku cubit paha kananku. Ah, benar saja. Tidak sakit. Berarti ini cuma mimpi. "Mbak Dara?" Suara itu kembali memanggil. Namun seiring dengan kesadaranku yang berangsur pulih, suara itu berubah menjadi suara wanita. Aku harus bangun. Aneh rasanya melihat Real bersuara perempuan di dalam mimpi. "Oh, Bu Indah?" reflekku. "Ngantuk ya Mbak?" Bu Indah tersenyum. Aku pun hanya balas tersenyum kecil. "Mbak Dara tadi saya WA lho, sudah dibuka?" "Oh, maaf Bu, saya ndak tahu. Belum buka HP." ku korek-korek isi tasku. "Oh, ya sudah. Ndak apa-apa. Ini tadi saya lupa kalo Mbak Dara jaga Try-out CBT." Aku tersenyum. "Ada perlu apa B