Airport Proposal #6 (potongan03)

#6
L I E
(potongan03)


Kediri, 29 Agustus 2017.

Janta duduk. Sekarang pukul 17:35 WIB. Badannya kuyu. Kedua bahu yang kekar itu lesu. Senja di Taman Brantas kota Kediri seolah mewakili perasaannya saat ini. Matahari di ufuk barat menyemburkan gradasi pekat kemerahan. Sepekat harapannya hari ini. Asanya kandas sudah. Harapannya tenggelam sudah. Angan-angannya retas. Menggilas dinding-dinding fatamorgana dalam kepalanya. Mengembalikannya pada realita serupa lesat angin lesus. Tornado yang membuat debar jantungnya porak-poranda.

Sayup-sayup terdengar seruan indah dari speaker toa di ujung jalan. Teman muslimnya biasa pergi beribadah di masjid ketika seruan indah itu datang. Walau Janta tidak mengerti makna dari tiap baris lirik seruan adzan, namun entah kenapa hatinya merasa tentram tiap kali mendengar seruan itu. Seperti bunyi lonceng gereja setiap hari Minggu. Seperti nyanyian indah para jemaat dan puji-pujian Allah. Nyanyi syukur para pelayan Tuhan, demikian Janta biasa menyebutnya. Fungsi dari seruan itu pun sama, memanggil jemaat untuk berlutut di hadapan-Nya.

Janta tertunduk. Ia pasrah. Tersirat kesedihan di wajahnya. Tertulis kata-kata tak terbaca di sana. Sederet kode biner rumit dalam balut tanda tanya. Hanya Tuhan, Maha Mengetahui segala luka, duka dan lara yang ia rasa.

Menyedihkan.

Ironis. Janta belum bisa menerima kenyataan ini. Ia masih sangat yakin bahwa pendengarannya pasti sudah rusak. Ia harap ia salah mendengar.

Kata-kata gadis itu terus saja berkejar-kejaran di dalam kepalanya. Menimbulkan bunyi pantul yang sangat berisik. Begitu mengganggu.

Mungkin ini bukan garisnya. Mungkin gadis itu bukanlah jawaban atas doa-doanya. Bukan pula tulang rusuk atau separuh nyawanya yang hilang.

Sekelebat dialog sambungan telepon kembali menemaninya dalam lamun.

"Aku nggak bisa. Maaf." nada suara itu dingin. Membuat lipatan-lipatan kerut di dahi Janta kian kentara.

"Ada apa? Are you okay?" Janta tidak nyaman dengan percakapan seperti ini. Di mana ia harus menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.

Hening dua detik. Tak ada suara apa-apa. Hanya sesekali terdengar suara deru napas dari seberang.

"Jadi kamu pengen tahu alasannya?" entah kenapa Janta merasa aneh dengan suara Eliane di percakapan ini.

"Tapi kenapa?" Janta sangat ingin tahu.

"Aku pengen kamu juga ngrasain rasanya menunggu tanpa kabar apa-apa. Enam bulan itu bukan waktu yang pendek. Kamu minta aku buat nunggu dua bulan, hanya untuk mendengarkan satu alasan omong kosong. Aku benci itu." Eliane menghirup udara banyak-banyak.

"Bentar deh, kayaknya kamu udah salah paham tentang..."

"Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi hanya untuk memuaskan rasa penasaran kamu itu, buat ketemu sama aku."

"Oke, gini. Biar aku jelasin..." Janta mencoba meluruskan apa yang salah namun Eliane lagi-lagi tak membiarkan kalimat Janta selesai begitu saja.

"Aku udah nggak penasaran lagi sama apa yang pengen kamu bilang ke aku, kalo kita ketemu. Aku udah nggak peduli lagi sama hal penting atau apapun yang mau kamu bilang ke aku. Udah nggak penting lagi sekarang. Udah telat."

"Gini, aku bisa jelasin..." lagi-lagi kalimat Janta belum selesai. Eliane tak memberinya kesempatan. Janta merasa Eliane benar-benar mengabaikan kata-katanya. Tak sudi mendengarkannya sama sekali. Tak ubahnya seperti sebuah percakapan sepihak.

Aneh banget, batinnya.

"Besok aku udah nggak di Kediri lagi. Jadi lain kali, kamu nggak perlu repot-repot datang ke Kediri lagi cuman buat menemui aku. Makasih."

Klik!

Seketika sambungan ditutup. Meninggalkan Janta yang berdiri mematung dengan wajah bodoh. Terukir satu memori pahit di sebuah kota yang senantiasa Janta rindukan. Kediri, Jawa Timur.

Terbaca satu firasat buruk di benak Janta. Setumpuk pertanyaan 'kenapa' yang berputar di kepala, kembali membuatnya gila.

Janta bahkan belum sempat mengutarakan maksud kedatangannya ke kota itu, tapi Eliane sudah menolaknya. Gadis itu tidak mau menemuinya. Mau ditaruh mana harga dirinya sebagai laki-laki? Oke, bukan waktu yang tepat untuk memikirkan harga diri. Harga tiket pesawat lebih mahal, bro. Batin Janta mengingatkan diri. Bahkan Eliane menghujaninya dengan kata-kata yang menyakitkan. Mungkin saja Janta memang pantas mendapatkan itu semua.

Apalagi mengingat tentang kecerobohannya pagi ini, semakin membuat Janta kesal setengah mati pada dirinya sendiri. Smartphone, benda itu yang pertama kali ia lihat ketika menginjakkan kaki di Juanda siang tadi. Janta mengecek aplikasi whatsapp yang menampilkan beberapa pesan baru. Salah satunya dari Ayi. Sebuah foto berhasil dikirimkan ke kotak obrolan. Di foto itu jelas sekali terlihat kebodohan mutlak yang telah Janta perbuat. Sebuah kotak beludru warna hitam, tertinggal begitu saja di Ubud.

Dasar bego! Kenapa sih kotak itu bisa ketinggalan? 

Tak ada gunanya lagi menggerutu saat nasi sudah jadi basi. Janta memang payah. Bagaimana ia bisa berhasil memenangkan hati sang pujaan hati, kalau dirinya sendiri masih berantakan begini? Tak heran jika Eliane menganggapnya tidak serius, dan masih suka main-main.

Janta terhenyak di kursi kayu Brengos Kafe. Ia selalu suka duduk di dekat kaca jendela raksasa. Pandangannya menerawang jauh ke luar. Merasakan kilas deja vu yang ia punya. Namun hambar. Sebuah rasa yang sama sekali berbeda. Rasa yang aneh.

Kota ini adalah tempat di mana ayahnya minta dikebumikan. Kota di mana ia dulu sempat mengenyam pendidikan SMA-nya selama tiga tahun. Tapi kini kenangannya berbeda. Tak ada yang sama lagi. Tentu saja sudah hampir sepuluh tahun berlalu. Perasaan dan luapan rasa gembira yang dulu selalu ia rindukan saat berkunjung ke kota ini, kini tergantikan dengan satu sayat luka. Seakan ia menggali satu lubang kesedihan dan mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menemui gadis itu. Eliane.

Seharusnya ia tidak berjanji. Seharusnya ia tidak meminta Eliane menunggunya selama itu. Seharusnya ia tidak mengatakan keinginannya untuk menemui gadis itu. Sekilas kejadian enam bulan lalu kembali mengingatkannya. Andai ibunya tidak masuk Rumah Sakit. Andai saja demikian. Ia pasti sudah bertemu dengan Eliane enam bulan yang lalu.

Tidak, tidak. Janta sama sekali tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tuhan hanya belum menjawab doa-doanya. Itu saja.

Janta mengeluarkan benda canggih persegi panjang. Sebuah smartphone. Berusaha mengetukkan jemarinya dengan cepat di atas keyboard ponsel, kemudian bergegas pergi dari kafe itu. Hanya ini satu-satunya cara supaya tiket pesawatnya tidak terbuang sia-sia. Di pelataran Brengos Kafe, Janta merasakan dinginnya kota Kediri menjelang malam. Sedingin hatinya yang berusaha ia buka untuk seseorang.

# # #

(to be continued...)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain