Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Pekatku

Haruskah ku berlari? Jauh. Menepi. Terseok. Jatuh tersungkur. Haruskah ku meratapi? Keluh. Maki. Onak duri. Cekat napas. Menyiksa diri. Haruskah ku membisu? Menghalau sedih, tak semudah menghapus buih. Menghalau hitam, tak semudah menguras air kolam. Mengapa segala hal begitu rumit? Pekatku kembali mengadu. Salahkah ku hidup? Bertahan, terseok diantara duri maki dan ironi. Kenapa aku hidup? Menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Begitukah sejatinya inti kehidupanku? Asal engkau tahu, aku bukanlah makhluk fotosintesis. Aku makhluk genetis. Pekatku menjerit. Sekali, dua kali, hingga seribu kali. Namun mereka semua tuli. Salahkah aku tinggal? Sejatinya tempat apa ini? Semua penghuninya bungkam. Tak mampu menjabarkan abstrak itu. Kenapa harus ada hal ini? Kenapa harus ada hal itu? Mengapa harus terjadi hal ini? Mengapa harus terjadi hal itu? Aku tak ingin begini, pun juga tak ingin begitu. Sejatinya apa mauku? Haruskah ku bertahan? De

Review "Catch My Dream"

Berikut beberapa masukan yang ingin saya sampaikan kepada Mbak Riendra, terkait tulisan yang berjudul "Catch My Dream". Semoga bermanfaat. 1. Mistyping (Kesalahan sewaktu pengetikan) Terdapat pada beberapa paragraf. Misalnya paragraf keempat kalimat kedua, pada kata "kie" yang seharusnya berbunyi "kue". Paragraf keenam kalimat pertama, pada kata "dsertai" yang seharusnya menjadi "disertai". Paragraf ketujuh kalimat pertama, pada kata "diawan" yang seharusnya dipisah penulisannya sebab bukan kata kerja pasif. Selanjutnya, masih di paragraf ketujuh kalimat pertama, pada kata "tertutupir" yang seharusnya menjadi "tertutupi". Paragraf ketujuh kalimat kedua, pada kata "terbesit" yang seharusnya menjadi "terbersit". Paragraf delapan kalimat pertama, pada kata "Batang" yang huruf awalnya seharusnya ditulis dengan huruf kecil, sehingga menjadi "batang". Masih paragraf del

Gaya Menulis

Gambar
Cuplikan R.I.P (Rest In Promise) chapter 14. Oleh: Dymar Mahafa *** “Kenapa nggak masuk? Masih musuhan sama Yudhis?” tanya Restia. Mereka berdua kini tengah duduk di bangku koridor rumah sakit yang agak jauh dari kamar Yudhis. “Sudah ada Arum Mbak di dalam.” jawab Juna. “Memangnya kenapa? Bukannya kalian bertiga akrab?” “Aku nggak bisa ganggu hubungan mereka sekarang.” “Ah, begitu rupanya. Jadi, kamu belum mengaku ya di depan dia?” Restia tergelak. “Maksud Mbak mengakui apa?” “Ya, mengakui keduanya. Pertama, mengakui bahwa kamu adalah teman masa kecilnya. Kedua, mengakui bahwa kamu mencintainya. Benar, kan?” Juna diam saja. “Sudah ku duga. Tebakanku memang nggak pernah meleset.” “J-jadi… Mbak Rere tadi cuma nebak?” Juna menatap nanar pada dokter muda di sebelahnya. Ia merasa sudah dipermainkan. Juna mendesah kecewa. Ia malu perasaannya terbongkar dengan nista seperti ini. Restia tergelak. Ia tertawa lepas. “Kenapa? Mbak yakin bukan Yud