Airport Proposal #7

#7
Meet Me


Juanda, 30 Agustus 2017.

"Lim, yakin nih bakal berhasil?" Janta bersembunyi di balik masker yang dikenakannya hingga hanya segaris matanya saja yang terlihat. Mereka berdua sudah sampai di sekitar Juanda sejak pukul lima pagi, setelah menempuh perjalanan dari Kediri sejak pukul dua pagi dengan membawa mobil iparnya itu.

Kepalanya melongok menyapu sekitar Bandara Internasional Juanda. Masih sangat sepi pagi ini. Tak banyak orang berlalu lalang dengan menyeret kopor. Hanya ada beberapa petugas keamanan dan beberapa teknisi yang sepertinya telah selesai melakukan pengecekan rutin sebelum kegiatan operasional penerbangan dilangsungkan.

Janta duduk dengan gelisah. Hatinya tak tenang. Berulang kali mengusapkan telapak tangannya yang berkeringat pada jeans biru gelap itu dengan gusar. Janta gugup setengah mati. Seiko 5 di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.

"Udah tenang aja. Saya yakin pasti misi kita berhasil, Ta." kata seorang pria di sebelah Janta. Logat Balinya begitu kentara. Ia mengucapkan nama Janta dengan pelafalan 'T' yang khas. Diucapkan dengan ujung lidah yang disentuhkan ke langit-langit mulut. Sehingga bunyi 'TA' terdengar seperti pada pengucapan aksara Jawa 'THA', namun tetap dengan akhiran bunyi 'A'.

Pandangan pemuda itu tak lepas dari layar smartphone. Melihat keduanya saling memanggil dengan nama saja tanpa gelar kehormatan, itu artinya pemuda ini seumuran dengan Janta.

"Lima!" Janta mendesis ketika pemuda di sampingnya tiba-tiba bangkit dari duduk dan berjalan beberapa langkah ke depan. Nama Lima diucapkan Lime karena kata itu berasal dari bahasa Bali. Bunyi akhiran 'E' diucapkan seperti bunyi 'E' pada kata 'baper'.

Lima tengah berbincang dengan ponselnya untuk beberapa saat, sebelum kemudian terjadi sesuatu yang membuat Janta tak mampu berkutik. Mati kutu di tempatnya duduk.

Janta melihatnya. Tepat di sana. Mendorong troli seraya tertawa. Tentu saja bukan tertawa menyambut dirinya. Bahkan Janta tak berniat untuk melepas masker wajah yang ia kenakan. Rasanya kedua kaki Janta mati rasa. Tak bisa digerakkan. Ia tetap duduk termangu seperti orang bodoh.

Sosok itu berjalan mendekat. Selangkah demi selangkah. Bagai tayangan adegan film slow motion. Janta melihat sosok anggun dengan balutan jeans serupa miliknya, kaos hitam polos dengan balut potongan kemeja maroon motif kotak-kotak yang tak dikancingkan, sepasang sneaker warna kulit dan rambut hitam sepunggung yang sedikit ikal di bagian bawahnya, jatuh tergerai begitu saja.

Walau sedikit berantakan, namun bagi Janta justru itu adalah satu lukisan Tuhan yang sempurna. Pemandangan paling nyata dan begitu indah yang pernah ia nikmati tanpa berkedip. Jantungnya, kenapa jantungnya berhenti bekerja? Rasanya ia tak akan menyesal jika harus mati dalam jerat pesona si gadis anggun nan ayu. Ah, tidak. Hanya bercanda. Logikanya masih mampu menjerit dengan lantang.

Eliane.

Tanpa sadar Janta mendengungkan nama itu dalam kepalanya. Apa dirinya baru saja melontarkan diksi 'anggun' untuk mendeskripsikan penampilan seorang gadis yang cukup casual dan sedikit berantakan? Janta pasti sudah masuk perangkap cupid sialan itu. Janta pasti sudah gila.

Janta melihat Lima menghampirinya kembali dengan tergesa setelah sebelumnya Lima menyapa dua orang gadis yang salah satunya Janta kenal.

"Woi, malah bengong kamu. Dasar. C'mon, man." Lima menarik Janta yang masih saja termangu. Dengan gerakan cepat, Lima merampas masker Janta. Janta memprotes keras, namun sudah terlambat. Lima menjejalkan masker itu ke dalam trash bin terdekat.

Dari jarak sekian depa, Janta bisa melihat perubahan ekspresi Eliane sesaat setelah mata mereka bertemu. Tatapan yang dingin, namun tersirat keterkejutan yang sama. Tak ada yang menyangka jika keduanya akan bertemu di Juanda. Atau inikah prediksi yang ia inginkan?

"Eri kenalkan, ini ipar saya. Janta." Lima membuka percakapan dengan menyodorkan Janta pada gadis yang dipanggil Eri itu.

"Hai." Janta mengulurkan tangan dengan senyum kikuk. "Janta."

Vieri menyambut uluran tangan Janta dengan balas tersenyum seraya menyebutkan nama panggilannya.

"Kamu yang kemarin itu, kan?" Lima bertanya pada Eliane. "Gimana keadaan kamu? Udah baikan?"

"Oh iya, kenalkan juga ini temen aku. Namanya Eliane." tambahnya kemudian. Vieri mengatakan itu lebih kepada Lima, namun sudut matanya sesekali melirik ekspresi Janta dan Eliane. Kemudian memandang Lima dengan tatapan meminta instruksi selanjutnya karena Eliane terlihat kurang nyaman dengan sesi perkenalan yang mereka rencanakan secara diam-diam.

"Panggil aja Yana." Lima menjabat tangan Eliane. Kemudian disusul Janta yang mengulurkan tangan, namun Eliane mengabaikannya. Lima dan Vieri kaget mendapati respon Eliane yang malah mengalihkan pembicaraan. Sementara Janta menurunkan tangannya dengan wajah pasi.

"Aku baik-baik aja kok. Terima kasih atas bantuan kamu kemarin lusa." Eliane menjawab Lima dengan ramah. Tanpa sedikitpun melirik Janta yang hanya mampu membisu seperti tiang listrik.

Lima mengucapkan terima kasih kembali seraya mengatakan bahwa kebetulan saja dirinya kenal dengan dokter di klinik dekat Brengos Kafe. Kemudian obrolan ringan berlanjut di antara mereka berempat.

"Maaf, aku permisi duluan karena sebentar lagi mau boarding. Silakan lanjutkan obrolan kalian." Eliane tiba-tiba beralasan seraya menunjuk petugas wanita yang memakai setelan jas rapi dengan rok sepan selutut di ujung koridor.

Vieri mendelik nyalang ke arah Lima ketika Eliane berkutat dengan ponselnya. Sepertinya Eliane mengubah pengaturan sinyalnya menjadi airplane mode. Lima mengerti maksud Vieri dan segera mengendalikan keadaan. Janta melirik Lima yang juga melirik ke arahnya.

"Oh, oke. Semoga perjalananmu menyenangkan. Hati-hati." ujar Lima dengan ceria seraya menyenggol lengan Janta. Mencoba memberinya kode supaya ia segera menahan kepergian Eliane sekarang juga.

Janta tidak mengindahkan Lima karena pandangannya terfokus pada troli yang lewat di samping kanan Eliane. Troli itu memuat tumpukan kopor hingga melebihi kapasitas sehingga tumpukannya nyaris tumpah. Hingga si pendorong troli kesulitan melihat jalan di depannya.

"Yana sayang, ini masih jam berap---" Vieri seketika membekap mulutnya.

"AWAS!"

Semuanya terjadi begitu saja dalam hitungan detik. Janta tiba-tiba sudah berada di bawah tindihan kopor-kopor yang berjatuhan. Walau untungnya kopor-kopor yang jatuh menimpa Janta itu kosong, beratnya masih mampu membuat Janta meringis kesakitan.

"Kamu nggak apa-apa?" Eliane panik menghambur membantu Janta bangun, sementara si pendorong troli sibuk meminta maaf kepada Janta. Janta mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja. Si pendorong troli pun berlalu, setelah Lima membantunya menumpuk kopor-kopor itu kembali.

"Ta, you okay?" Lima merasa ada yang tidak beres saat detik berikutnya Eliane berseru lirih seraya menunjuk Janta dengan ngeri, "Darah, pelipismu berdarah."

Spontan, Janta menyentuh pelipisnya. Hanya tergores sedikit, batinnya. Janta meyakinkan semuanya bahwa ia baik-baik saja dan tidak perlu mengkhawatirkannya.

"Biar aku saja yang obati. Kebetulan aku bawa peralatan P3K." Eliane menawarkan diri. Seketika itu juga ia membongkar isi kopornya.

"Eh, nggak usah. Aku nggak mau kamu terlambat boarding." tolak Janta.

Lima dan Vieri hanya saling pandang. Senyum misterius mewarnai air muka mereka. Berhasil! keduanya bersorak senang dalam hati.

"Aku kurang suka berhutang budi sama orang yang sudah menolongku. Dan..."

Dengan bodohnya mau mengorbankan diri secara percuma hanya untuk menolong orang lain, tambah Eliane dalam hati.

"Dan?" Vieri dan Lima menunggu kelanjutan kata-kata berikutnya yang hendak diucapkan Eliane.

Janta tampak tak peduli, namun sebenarnya dalam hati ia juga menunggu kata-kata Eliane.

"Dan... dananmu nggak cocok kalau ditambahin luka gores di bagian wajah. Nggak enak dilihat." kalimat itu muluncur begitu saja dari mulut Eliane.

Janta menghembuskan tawa. Geli mendengar penuturan tak terduga dari mulut gadis ini. Baru kali ini ada yang mengatakan hal yang tak biasa terkait penampilannya. Entah mengapa ia tiba-tiba diliputi gelenyar aneh yang membahagiakan. Gadis ini sungguh unik. Tak mudah ditebak. Sepertinya Janta telah tertarik dengan gadis yang tepat.

Lima mengangguk, "Persis."

"Kamu sependapat, kan?" Eliane masih berkutat mengaduk isi kopornya untuk menemukan peralatan P3K.

"Bukan. Bukan itu. Maksudku kalian berdua itu persis. Mirip." ralat Lima. Vieri mengernyit tak mengerti.

"Maksudnya?" tanya Vieri dan Eliane nyaris bersamaan.

"Janta ini the king of sarcasm," kata Lima dengan bangga. "Dan---"

"Dan maksudmu aku ini the queen of sarcasm gitu?" Eliane menimpali. Kemudian cepat-cepat tertawa, supaya Lima tak menganggapnya tersinggung.

Lima buru-buru menambahkan, "Sorry, no offense."

"It's fine. It's nothing. I didn't take it seriously." ringan saja bagi Eliane. "By the way, makasih. Aku lumayan suka sama predikat the queen of sarcasm."

Ternyata peralatan P3K berada di bagian depan ransel. Eliane memang pelupa. "Yuk, kita duduk di sebelah sana."

"Oh, kalau gitu kita berdua mau cari cemilan bentar ya, Na. Kamu mau nitip apa?" kata Vieri tiba-tiba. Yang kemudian diamini oleh Lima. "Iya nih, laper banget. Ta, kamu mau apa?"

Janta menyebutkan satu jenis makanan karbo faforitnya kepada Lima. Eliane menggeleng. Ia tidak lapar. Tak butuh waktu lama saat akhirnya dua orang itu duduk di bangku tunggu bandara, sementara dua yang lain menghilang di balik pintu keluar.

Eliane tampak sibuk dengan obat merah dan kapas di tangannya. "Kamu mau plester gambar apa? Aku punya banyak. Atau mau yang ada tulisannya aja?"

Janta tidak terlalu tertarik dengan hal-hal remeh semacam itu. Namun ia terus saja memperhatikan saat Eliane membuka isi kotak plester dan menunjukkan beberapa lembar plester luka yang imut-imut. Plester dengan motif bintang, bunga, kepala kucing, dan beberapa plester polos sewarna kulit.

"Mana plester yang ada tulisannya?" Janta termakan candaan Eliane.

"Oh, kamu mau yang ada tulisannya?" timpal Eliane seraya menepuk-nepukkan kapas berlumur obat merah pada luka Janta. Seketika Janta mengaduh. Ia menjauhkan dahinya beberapa senti dari jangkauan kapas Eliane.

"Anak kecil banget, sih." tangan Eliane tak menyerah menjangkau pelipis Janta. Kali ini ia menepuk luka Janta sedikit keras. Gerakannya sedikit kasar hingga membuat Janta mendesis dan mengaduh kesakitan.

"Pelan-pelan dong, Bu Dokter. Perih." gurau Janta namun serius.

Eliane diam saja. Pandangannya fokus mengobati luka Janta. Bisa Janta rasakan tekanan kapas di tangan Eliane berangsur melembut.

Eliane benar-benar mampu membuat Janta tak berkutik. Gelenyar aneh kembali menyergap. Entah sudah berapa kali debar jantungnya seperti usai lari marathon saja. Entah mengapa perutnya seperti mulas. Bukan karena keinginan untuk buang hajat, melainkan karena mungkin Janta gugup.

Janta menelusuri lekukan sempurna pada paras gadis itu. Dahi yang tertutup beberapa helai poni yang sudah agak panjang, kedua alisnya yang tipis, hidung yang indah, pipi yang sedikit tembam dan halus sekali. Dan bibir itu. Bibir tipis yang sempurna serupa daging buah jeruk yang ranum. Manis sekali.

Eliane begitu indah hingga Janta tersihir untuk beberapa saat. Tak menyadari kalau Eliane tengah menuliskan sesuatu di atas plester yang telah tertempel di pelipisnya.

"Selesai."

Janta mengucapkan terima kasih. "Maaf, sudah mengganggu waktu boarding kamu." tatapan matanya tak lepas dari mata Eliane yang beberapa detik lalu sempat balas menatapnya namun kemudian Eliane buru-buru membuang muka. Pura-pura sibuk merapikan kembali peralatan P3K.

"Nggak apa-apa. Penerbanganku masih sejam lagi." akunya.

Rona keterkejutan menghiasi kening Janta. "Jadi tadi kamu berbohong?"

"Kenapa kamu mau repot-repot menemui aku di sini? Sudah aku bilang, kan? Sebaiknya kita nggak perlu ketemu, agar nggak perlu ada penyesalan setelahnya."

"Aku akan merasa lebih menyesal lagi kalau aku nggak menemui kamu." susah payah Janta menelan perasaan aneh dalam dadanya. "Aku pengen tahu yang sebenarnya. Kenapa kamu menolak ketemu sama aku?"

"Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, itu udah nggak penting lagi buat dibahas. Semuanya udah telat."

"Aku berhak bertanya. Karena---"

"Cukup. Tolong jangan bertanya lagi. Ada beberapa hal yang seharusnya dibiarkan menjadi misteri. Sesuatu yang seharusnya nggak perlu terungkap. Jadi, pura-pura saja bersikap masa bodoh. Demi kebaikan kita berdua."

Janta masih tak bisa memahami gadis itu. Eliane tak mengijinkan kalimat Janta selesai, dan buru-buru memotongnya dengan kalimat ambigu semacam itu.

"Kapan kamu kembali ke Kediri? Aku---"

"Jangan nunggu aku. Aku rasa akan lebih baik jika aku menetap di Jakarta."

"Bisa nggak kamu dengerin kalimatku sampai selesai? Please."

Eliane merasakan matanya mulai sembab dan berkaca-kaca. Dorongan emosi yang tak menentu membuatnya ingin menghambur ke pelukan pria di sampingnya sekarang juga. Namun Eliane harus terus bertahan dalam skenario yang dikarangnya sendiri.

Janta menyesal telah meninggalkan kotak beludru hitam itu di Ubud. Dan sekarang bukti apa lagi yang cukup kuat yang bisa ia gunakan untuk membuktikan kepada Eliane bahwa Janta benar-benar serius.

"Ada yang pengen aku omongin. Ini penting."

"Nggak perlu. Lupakan saja." respon Eliane begitu ketus.

Janta sudah tidak tahan lagi. Ia berjongkok di depan Eliane yang duduk tertunduk. Dicengkeramnya pundak gadis itu dengan lembut.

Gelenyar aneh itu kembali menusuknya. Rasanya sakit melihat raut muka Eliane yang berlinang air mata. Tapi mengapa Eliane tiba-tiba menangis?

"Hei," Janta melembutkan suaranya. Ia berusaha menenangkan Eliane. Tangan kanannya hendak menyapu air mata di sisi wajah gadis itu, namun Eliane menepisnya.

"Maaf, aku harus pergi." Eliane bergegas bangkit dari duduk, menyambar pegangan troli untuk kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkan Janta yang masih berjongkok di depan bangku tunggu bandara yang saat ini kosong.

"Apa-apaan ini?" Eliane terkejut mendapati lengan kekar yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

"Lepas." nada suaranya datar dan dingin, namun anehnya tanpa perlawanan apa-apa. Air mata masih deras menetes di sisi wajahnya.

"Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi dengan pikiran kacau seperti itu."

"Jangan menemui aku lagi. Tolong," Eliane terisak. "Jangan melibatkan diri kamu lebih jauh lagi dengan orang sepertiku. Jangan mengatakan sesuatu yang membuatku bingung meletakkan perasaan."

"Jadi perasaan yang aku punya, apa sama dengan yang kamu rasa sekarang?" kesimpulan yang konyol keluar begitu saja dari mulut Janta. 

"Nggak, jangan dijawab. Tolong dengarkan aku saja."

Eliane semakin keras terisak ketika Janta melanjutkan kata-katanya, "Maaf. Maafkan semua kebodohanku yang sudah membuatmu menunggu terlalu lama tanpa kepastian. Enam bulan yang lalu ibuku masuk rumah sakit karena vonis stroke ringan. Dan aku terpaksa membatalkan janji kita begitu saja."

"Maaf, untuk semua omong kosong dan kebohongan yang pernah aku ucapkan tanpa berpikir panjang. Bukan karena pekerjaan aku nggak bisa datang untuk menepati janjiku bertemu denganmu di Kediri. Tapi karena memang keadaan saat itu sedang nggak memungkinkan dan..."

Gemuruh dalam dadanya kian memuncak saat Janta sampai pada kalimat terakhir, "Dan maafkan aku jika perasaan yang aku punya pada akhirnya hanya menjadi beban yang memberatkanmu saja."

Janta bernapas dalam-dalam sebelum mengatakan, "Sekarang kamu bebas. Kamu bisa pergi dengan tenang tanpa beban perasaan yang kamu rasa. Aku pastikan nggak akan pernah muncul di hadapan kamu lagi. Aku nggak akan mengganggu ketenanganmu lagi. Tapi..."

Kini air mata mulai merembesi sudut mata Janta. "Tapi... ijinkan aku mengatakan satu hal sebelum kamu pergi."

Eliane tetap bungkam. Ia menunggu.

"Terima kasih untuk pertemuan kita hari ini. Pertemuan pertama yang mungkin nggak akan pernah aku lupakan. Terima kasih telah mengijinkan aku menyimpan semua kenangan ini. Terima kasih telah mengobati luka gores ini," tangan Janta meraba pelipisnya. "Walau mungkin luka gores dalam batinku nggak akan pernah sembuh dengan bantuan plester jenis apapun."

Eliane meradang, "Jangan simpan kenangan ini. Kamu harus melupakannya. Jangan melibatkan perasaanmu terlalu jauh. Dan aku---"

"Aku sayang sama kamu." tanpa sadar kata tak terduga itu akhirnya terucap begitu saja dari mulut Janta.

"Kamu egois, ya." Eliane mendenguskan tawa sinis di tengah air matanya. "Bisa-bisanya kamu mengatakan kalimat egois semacam itu."

"Kamu nggak perlu menganggapnya sebagai beban." Janta melonggarkan pelukannya, sementara Eliane masih terisak dalam diam.

"Cukup aku saja yang menyukaimu. Biarkan rasa ini bertepuk sebelah tangan. Biarkan aku merindu seorang diri. Biarkan rasa ini menyiksaku setiap kali aku memikirkanmu. Biarkan plester ini menjadi bukti bahwa setidaknya kamu pernah mengkhawatirkan keadaanku dan peduli padaku." Janta melepas pelukannya perlahan-lahan. "Sekarang, pergilah. Bebaskan langkahmu."

Bagai mesin yang diperintahkan untuk bekerja, Eliane berjalan menjauh tanpa berbalik sedikit pun. Ia tidak ingin menunjukkan air matanya pada laki-laki itu. Walau hatinya sakit karena tak mampu mengatakan perasaan sukanya pada laki-laki paling gila yang pernah ia temui. Perpaduan antara kekonyolan dan kebodohan.

Laki-laki bodoh yang dengan seenaknya memutuskan untuk menyukainya seorang diri. Yang seenaknya mengatakan pernyataan yang membuat Eliane ingin menghambur ke pelukan Janta, namun sayangnya ia tak bisa. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Janta. Tentang penyakitnya, tentang kebohongan-kebohongannya, dan tentang perasaannya.

Eliane harus kembali melanjutkan langkah. Menapaki kepedihan dari segala keputusan yang telah ia buat tanpa menoleh lagi ke belakang. Berharap waktu mampu menghapus penyesalannya. Berharap Tuhan Maha Mendengar segala permohonan yang tersembunyi rapat-rapat.


***
(to be continued...)

Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

  1. Hmm, kerenn...

    Keren ceritanya, keren juga tulisannya. Bisa nulis sebanyak ini, sudah di episode sebanyak ini, dan masih to be continued...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori