Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

I can see you, but you can't!

Siapakah aku? Aku bukan siapa-siapa. Apa tujuanku kemari? Tak semua manusia mengetahuinya. Bahkan untuk sekedar menyadari hadirku pun jarang. Aku menemukannya. Targetku. Ya, target sasaran empuk. Ku sambar anak panah di punggungku, busurku siap membidik. Tiga, dua, satu. Anak panahku melesat. Begitu kencang! "Khh..." keluh seorang gadis seraya menahan sakit di sekujur ulu hatinya. Rasa yang tiba-tiba terasa saat seorang pemuda melewatinya. Dara, ada apa denganmu? Apa yang barusan? "Mas Real, apa sudah sampeyan kirimkan berkas yang bos minta?" tanya petugas Tata Usaha di sekolah itu kepada Real. "Sebentar lagi, mbak." jawab Real dengan anggukan sopan. Dara hanya memperhatikannya dalam diam seraya tetap fokus pada apa yang saat ini dikerjakannya. Seolah tak peduli pada Real dan Bu Fini yang saat ini tengah berbincang dengan Real. "Mari, Mbak Dara." sapa Bu Fini seraya tersenyum undur diri dari ruang perpustakaan di seko

Kancil si Pencuri Hati

Pada zaman dahulu hiduplah seekor buaya tampan dan seekor kancil yang tidak terlalu tampan, tapi mapan. Suatu hari Kancil berniat untuk melamar seekor Merpati yang putih, elok nan anggun. Ia telah mempersiapkan sarang berlapis emas sebagai tanda kasihnya kepada Merpati. "Ti, aku... a-aku ingin mengatakan sesuatu padamu." gugupnya di hadapan semua kawan-kawan Merpati. "Secara pribadi. Empat mata." tambahnya cepat-cepat. Merpati memberi isyarat kepada teman-temannya untuk meninggalkan mereka berdua sendiri. Para merpati yang lain mengerling nakal pada keduanya. Mereka mengerti dan segera pergi. Dari kejauhan, sepasang mata yang mengkilat terus mengawasi gerak-gerik Kancil dan Merpati. Kemudian menghilang ditelan air danau. "Ada apa, Kan?" tanya Merpati setelah terbang ke ranting yang lebih rendah. Bahkan saat terbang pun Merpati terlihat sangat menawan di mata Kancil. "Ini." Kancil memulai. "Untuk apa ini?" Merpati mengernyi

A.A.D.C #18

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic? #18 “Kamu nggak sarapan?” Gemerincing bunyi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring menggema di ruang makan yang luas itu. Pak Wiyoto menyesap secangkir kopinya perlahan ketika seorang remaja laki-laki menuruni tangga. “Tidak perlu.” jawab pemuda itu sambil lalu. Nadanya sedikit ketus. Ia menyampirkan tasnya di bahu, kemudian bergegas pergi sebelum bentakan ayahnya menggema. “Ferdi! Kamu dengar Ayah tidak? Kamu lupa pesan mendiang ibumu? Kamu harus jaga kesehatan. Ingat itu!” Ferdi menghentikan langkahnya. Namun tetap memunggungi sang ayah. “Bukankah seharusnya anda senang jika saya mati cepat? Bukankah itu yang selama ini anda tunggu?” sindiran tajam lolos begitu saja tanpa basa-basi. “Dan anda juga harus mengingat ini. Dari dulu, saya sama sekali tidak menganggap anda sebagai ayah saya. Jadi, berhenti menyebut diri anda sendiri sebagai ayah. Ingat itu!” pungkasnya dengan geram. Kemudian Ferdi berlalu. Me

A.A.D.C #17

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic? #17 Sera tidak bisa tidur. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Malam ini ia gelisah. Sedari tadi ia mondar-mandir sambil menyapukan jempol ke layar  smartphone -nya. Kuku-kuku jarinya habis ia gigiti. Namun kegelisahannya tetap tak kunjung reda. Untuk yang kesepuluh kalinya ia membaca ulang komentar di akun  facebook  miliknya. Sebuah status yang ia unggah beberapa hari yang lalu dan ada komentar dari akun asing yang tidak ia kenal. LA Badboy. LA Badboy : Ini aku Ra. Om Bara. Inget nggak? Yang dulu suka ngajak kamu jalan-jalan waktu kecil. SERA W. : Ya Ampun, Om Bara! Inget dong pasti. Apa kabarnya sekarang? Keluarga sehat? Masih di Denpasar kan sekarang? LA Badboy : Baik, syukur keluarga semua sehat-sehat aja. Kamu sendiri apa kabarnya sekarang? Udah tinggi dong ya sekarang? Gimana sekolahnya lancar? Iya nih, masih tetep di Bali kok. Mampir aja ke sini. Soal biaya perjal

A.A.D.C #16

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic? #16 Sera menggigiti kuku jarinya. Sesekali ia menempelkan telinganya pada daun pintu ruangan itu. Ia panik. Wajahnya terlihat gusar. Lima belas menit telah berlalu sejak mereka dibawa ke ruangan ini. Ruangan yang paling ditakuti oleh seluruh murid. Sera masih saja mondar-mandir di luar ruangan yang saat ini tengah menahan tiga orang temannya. Teman? Tunggu dulu, sepertinya ada yang salah dengan sebutan itu. "Jadi, kalian masih tidak ada yang mau mengaku?" geram Pak Mul, guru yang menangani Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah ini. Hemat kata, posisi ini dipopulerkan dengan istilah guru BP. "Tidak akan ada asap, selama api tidak disulut, Pak. Semua ini hanya salah paham." ujar Ferdi membela diri. Ardi memandang kesal ke arah Ferdi. Lalu, berganti melirik tajam pada Siska yang berdiri di sebelah sang guru BP. "Tidak penting siapa yang memulai. Bapak tidak mau dengar ada keributan lagi di lain hari. Mengerti kamu, F

A.A.D.C #15

A da A pa D engan si C yber-a-holic? #15 “Lepasin!” Sera menepis pergelangan tangannya yang kini tengah diseret Ferdi di sepanjang koridor. Koridor itu sudah sepi. Bel pulang sekolah telah berdering tiga puluh menit yang lalu. Ferdi menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik menatap Sera tanpa ekspresi. Ia tetap tidak melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan Sera. Sera bersikeras, namun Ferdi bergeming. “Lepasin nggak! Kamu tuh sebenernya kenapa sih?” ancam Sera. Ia masih terus berusaha mengibaskan tangannya supaya cengkeraman tangan Ferdi bisa terlepas. Namun, usahanya sia-sia. Ferdi semakin mempererat cengkeraman tangannya. Membuat Sera meringis kesakitan. “Sampai kapan kamu mau terus-terusan diperlakukan seperti itu sama Siska?” Ferdi buka suara. Satu pertanyaan yang akhirnya terlontar setelah mereka keluar dari ruang perpustakaan. Sera mengernyit. Untuk sesaat ia tidak mengerti arah pembicaraan Ferdi. Namun detik berikutnya ia tersadar. Ia ha