Kalau Saja...

"Kalau saja waktu itu, aku nggak ketemu dia lagi, mungkin semuanya nggak bakal seperti ini, Ra," kilahmu dua tahun silam di hadapanku hingga air mata ini tak kuasa bersembunyi lebih lama lagi.

Omong kosong. Persetan denganmu. Aku sudah muak.

Sudah setahun berlalu dan semenjak kita memutuskan ikatan benang merah itu, tak lagi beredar kabar di timeline sosial mediaku tentangmu. Tidak, aku tidak memblokirmu. Tidak, kamu pun demikian. Kamu tidak memblokirku. Lantas bagaimana aku tahu bahkan setelah aku menghapus akun lamaku untuk kemudian membuat akun yang baru? Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu tidak memblokir pertemanan kita di dunia maya?

"Mbak, jadi gini, daripada Mbak menghapus akun instagram itu, mending aku aja yang urus. Gimana? Aku ada usaha join-an sama temanku. Sayang, kan, kalau dihanguskan akunnya. Follower-mu, kan, udah seribu lebih," celoteh Dinda, adik bungsuku suatu hari. Ya, jadi begitulah ceritanya bagaimana aku masih bisa mengintip kehidupanmu pasca kita putus. Dari siapa lagi kalau bukan dari laporan harian Dinda?

"Mbak, hari ini Mas Jimmy kirim salam buat Mbak. Katanya, apa Mbak Laura masih secantik biasanya?" kata Dinda hari ini. Aku muak mendengar kabarmu dari Dinda selama dua tahun terakhir ini. Tapi tunggu, ada yang aneh.

"Secantik biasanya?" ulangku meniru intonasi Dinda. "Dia bahkan nggak tahu sekarang aku seperti apa. Cantik atau nggak, udah bukan urusannya lagi, kan?" Aku mengomel di depan cermin ruang keluarga sementara Dinda terkikik di belakangku sembari merebahkan kepalanya di atas sofa dengan tangan kanan menggeser-geser layar sentuh ponsel pintarnya. Uh, tumbuh satu jerawat di pipi kananku. Menyebalkan. Kucoba menelitinya dengan seksama sebelum memutuskan untuk memusnahkannya hingga ke akar.

"Mas Jimmy bilang makasih banyak, lho, Mbak, ke aku, karena aku udah banyak berjasa bantuin Mas Jimmy selama ini," kekeh Dinda.

"Bantuin apaan?" tanyaku tak acuh. "Kamu ngajakin dia bisnis ayam geprek susu juga?"

"Ih, bukan. Mas Jimmy itu pelanggan setia kami. Jangan marah, ya, Mbak," kata Dinda. Kalimatnya menggantung. Ia seolah menunggu tanggapanku apakah aku benar-benar akan marah padanya atau tidak atas ucapannya barusan.

"Kenapa Mbak harus marah sih kalau bisnismu berjalan lancar, Din?" kataku. Jemariku masih sibuk memencet-mencet area kulit pipi sebelah kanan di mana satu jerawat sedang tumbuh subur di situ.

"Sebenarnya tiap hari aku ngirimin update-anmu ke Mas Jimmy, Mbak, supaya tiap hari juga dia mau order ayam susu di depot Dinda. Aku ngirim beberapa foto Mbak Laura yang terbaru ke Mas Jimmy," aku Dinda sembari nyengir kuda.

Sontak aku terkejut. Bersamaan dengan itu benjolan jerawatku meletus. Aku mengaduh. "DIIINDAAA!!!"

***

"Hai, Ra. Apa kabar?" sapamu dari seberang telepon.

"Bukan urusanmu," jawabku ketus. Dua detik lalu Dinda menyodoriku ponsel pintarnya yang menampilkan nama Jimmy Prayoga besar-besar di layar.

Dinda memohon dengan mata memelas dengan bibir mungilnya yang dilengkungkan ke bawah. Kedua matanya berkedip lucu seperti mata anak anjing memohon belas kasihan. Aku jijik melihatnya hingga tak tega jika pelanggan setianya, yaitu kamu, batal memesan ayam hanya gara-gara aku tidak mau menerima panggilan darimu.

"Ketus banget sih, Ra. Eh, Sabtu ini kamu free nggak? Nonton, yuk. Atau nggak, kita ngafe aja, gimana?"

"Sorry, Sir. I'm not free tomorrow. I'm expensive," sindirku.

"What?" Jimmy terkekeh. "Well, okay, aku tahu kamu pasti masih marah, tapi kita perlu ketemu. Aku pengen menjelaskan semuanya ke kamu. Sabtu ini, kalau kamu mau. Oh, maaf, ralat. Sabtu malam kujemput jam empat sore, ya. Mau, kan?" pintamu.

Jeda. Aku terdiam bukan untuk berpikir tetapi aku mencari sebaris jawaban di raut muka Dinda yang masih saja memelas. "Hari ini Mas Jimmy mau borong 50 porsi ayam buat teman-teman kantornya, Mbak. Lima puluh porsi!" desis Dinda sembari melebarkan kelima jemari tangan kanannya dari balik meja kasir. Kemudian memasang muka memelasnya yg tadi. Dua telapak tangannya disatukan. "Please, Mbak, please ..."

Aku menghembuskan napas berat sembari masih menempelkan ponsel Dinda lekat-lekat di telinga kananku.

"Oke. Sabtu ini jam empat sore aku tunggu di rumahku. Telat satu menit, kita batal ketemu. Titik." Tanpa menunggu respon darimu, langsung kusorongkan ponsel Dinda di atas meja kasir. Bersamaan dengan berpindahnya ponsel itu ke tangan Dinda, 50 porsi ayam geprek susu sold out hari itu. Dinda untung besar, sementara aku sial benar. Mau-mau saja jadi "tuyul penglaris"-nya Dinda.

***

"Ra, aku baru aja putus sama pacarku sebulan yang lalu," keluhmu ketika kita bertemu di sebuah kafe. Lantunan musik jazz menandai Sabtu malam yang melankolis. Raut wajahmu begitu terpukul. "Dia yang mutusin aku."

Gotcha! Karma makan Tuan, batinku.

"Kenapa kamu ngasih tahu aku soal ini?" kataku. "Aku bukan peramal kartu tarot yang bisa kamu jadiin tempat konsultasi soal asmara, Jim." Aku meneliti bola matamu yang terlihat gelisah.

"Aku pengen kita pacaran lagi. Seperti dulu," katamu bersikukuh tak mau menatap mataku. Bahkan nada bicaramu sama sekali tak terdengar sebagai bentuk permintaan yang halus. Lebih terdengar seperti bos yang memerintah bawahannya. "Kamu mau?"

Kamu melupakan satu hal. Meminta maaf padaku. Bahkan satu kata sederhana itu saja kamu tak peduli. Bagaimanapun, kamu tetaplah Jimmy yang angkuh dan sok kuasa.

"Kalau aja dulu kamu nggak ketemu sama dia lagi, mungkin ceritanya sekarang kita masih tetap bersama, kan, Jim?" tohokku. "Kalau aja dua tahun lalu kamu memilih aku, mungkin semuanya nggak akan berakhir seperti ini."

Maria, wanita yang telah lama menghilang dari kehidupanmu, tiba-tiba dua tahun lalu dia kembali bertemu denganmu di suatu stasiun kereta. Wanita yang dulu semasa kuliah pernah kamu taksir. Tetapi karena Maria mendadak hilang kabar setelah kepindahannya ke luar pulau, kamu mengurungkan niat untuk menyatakan rasa sukamu padanya.

Namun dua tahun lalu tiba-tiba kamu menemuiku di kafe yang sama seperti hari ini untuk sebuah misi. "Ra, aku ketemu lagi dengan Maria, wanita yang udah lama aku tunggu-tunggu. Kalau saja waktu itu, aku nggak ketemu dia lagi, mungkin semuanya nggak bakal seperti ini, Ra," kilah Jimmy. "Maaf, tapi aku mau kita putus."

Setelah mengatakan itu kamu pergi begitu saja. Aku dicampakkan. Memangnya perasaanku terbuat dari karet? Perasaanku hancur. Apa kamu memang sedingin itu hingga aku baru mengetahuinya?

Laura, kamu memang bodoh. Tapi sekarang, jangan lagi tertipu, Laura. Jangan lagi.

"Harusnya dulu kamu memilih aku, Jim. Bukan Maria." Tepat seperti yang dulu kamu lakukan padaku, setelah mengucapkan itu aku pergi begitu saja. Tanpa membayar cappucino yang sudah kupesan. Persetan dengan cappucino. Persetan juga denganmu. Aku sudah muak jadi selingan di kehidupan asmaramu. Aku bukan permen karet yang habis manis, sepah dibuang.

Besoknya tak terdengar lagi kabar tentangmu. Mungkin kamu sudah tenggelam ke dalam samudra lalu dimangsa hiu. Terserah saja. Persetan denganmu. Persetan dengan kita atau dia yang dulu pernah kamu bela mati-matian di depanku demi angan-angan semu, hingga kemudian kamu membuangku. Demi dia yang sejatinya tak lagi mengharapkanmu, kamu memperlakukanku seolah sampah yang harus disingkirkan.

Tetapi karmamu akhirnya tiba. Aku senang pada akhirnya kamu menyadari bahwa sebenarnya tak ada lagi Maria. Karena yang kamu temui dua tahun silam hanyalah sosok mendiang Maria. Maria sudah tiada oleh sebab kecelakaan motor di samping stasiun kereta tempat kalian bertemu dua tahun silam. Kejadiannya sehari sebelum kamu bertemu kembali dengannya untuk yang pertama kali setelah sekian lama kalian memutus kabar.

Kamu yang malang. Yang bahkan tak lagi bisa membedakan antara ilusi dan realita. Sudah dua tahun ini kamu menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa yang setiap hari menanti kedatangan Maria.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori