Cerpen Serial Cantik
Lukisan
Sang Kupu-kupu
Oleh: Dymar Mahafa
“Para
hadirin sekalian, kami akan membuka lelang hari ini dengan angka dua juta
rupiah.” kata seorang pria muda melalui mikroponnya. Suaranya menggema ke
seluruh sudut ruangan.
Lelaki
itu adalah pembawa acara pada lelang lukisan hari ini. Ia menunjuk ke sebuah
lukisan di samping kirinya. Lukisan seekor kupu-kupu dengan dominan cat minyak
berwarna biru terang. Ditambah sapuan lembut warna putih pucat yang menambah
kesan elegan di tiap goresannya. Namun tersirat rona kesedihan di sana. Seakan
lukisan itu membawa banyak sekali kenangan pahit yang dituangkan oleh sang
pelukis ke dalamnya.
“Lima
juta rupiah.” kata salah seorang ibu paruh baya di barisan paling depan seraya
mengangkat tangannya. Nada suaranya angkuh. Dari ujung kepala hingga ujung kaki
penampilannya sangat berkelas. Tubuh langsingnya dibalut gaun panjang berwarna
merah jambu yang elegan. Perhiasan mewah menghiasi jemari dan leher jenjangnya.
Menambah kesan glamour yang sengaja
ia tunjukkan ke hadapan publik. Wanita itu adalah salah seorang kolektor kaya
di kota itu. Koleksi lukisan dan barang antiknya sudah memenuhi hampir tiga per
empat dari isi rumahnya.
“Lima
juta. Baik, Ibu Diva sudah memulai dengan angka lima juta rupiah. Apakah ada
penawaran lain?”
Elok
menunggu dengan cemas dari kursi penonton. Ia tidak bisa duduk dengan tenang.
Ia sangat berharap lukisannya bisa sampai ke tangan orang terkasihnya. Ia menggenggam
erat sebuah liontin bulat tanpa kalung. Di dalamnya berisi sebuah foto. Foto
ibunya. Ibu yang sudah membuang dirinya di masa lalu.
Sekali
lagi Elok menatap lekat-lekat pada wanita paruh baya yang duduk di deretan
paling depan. Hari ini adalah hari yang sudah lama dinantikannya. Hari dimana
ia bisa bertemu kembali dengan ibunya. Ibu kandungnya. Dan orang itu sekarang
ada di sini untuk menawar lukisannya.
Penawaran
lukisan masih terus berlanjut. Para kolektor seni berlomba-lomba memberikan penawaran
dengan harga terbaik mereka. Tak terkecuali, Diva Resiwardani. Wanita paruh
baya itu bahkan sudah mencapai angka yang menakjubkan.
“Baiklah,
lima puluh juta! Lelang hari ini ditutup dengan angka lima puluh juta rupiah.
Selamat untuk Ibu Diva yang sudah memenangkan lelang hari ini.” seru sang
moderator mengakhiri lelang lukisan hari ini.
Semua
orang bertepuk tangan, termasuk Elok. Ia menangis haru di kursinya. Perasaannya
sangat lega melebihi apapun. Ia sangat senang sampai rasanya ingin berteriak. Elok
senang bukan karena lukisannya terjual dengan harga yang melambung tinggi
melebihi perkiraannya. Tujuan utamanya bukanlah uang. Ia senang karena akhirnya
lukisannya terjual kepada orang yang tepat. Pembelinya adalah seseorang yang
sangat ia harapkan. Orang itu tidak lain adalah sang kolektor seni terkaya, Diva
Resiwardani. Ibunya sendiri.
Bayangan-bayangan
masa lalu seakan kembali terngiang di benak Elok. Potongan-potongan kejadian
itu seakan terputar kembali di dalam otaknya seperti adegan film. Saat itu
usianya delapan tahun. Ia sangat suka bermain-main dengan cat air. Suatu hari
ibunya sangat marah kepadanya. Lukisan milik ibunya yang paling berharga sudah
penuh dengan percikan cat air di beberapa sisi. Elok tidak sengaja
melakukannya. Ia hanya terlalu senang dengan cat airnya sampai-sampai tidak
memperhatikan sekitar. Bagaimanapun ia adalah anak kecil yang berpikiran
sederhana dan polos. Ia masih belum mengerti berapa uang yang harus dikeluarkan
untuk memiliki sebuah lukisan antik yang langka.
Hari
itu juga ibunya membuangnya. Diva membawa anaknya ke tempat penampungan anak
yang sangat jauh dari rumah mereka. Karena Elok masih kecil, ia tidak tahu
pasti dimana ia saat itu. Elok diusir dari rumah dengan hanya berbekal beberapa
pakaian, tanpa uang. Tiap malam ia menangis dan mengigau memanggil nama ibunya.
Setiap hari Elok rindu akan ibunya. Namun sayangnya Diva sudah enggan menemui
anaknya. Sejak hari itu Elok tidak pernah lagi melihat sosok ibunya.
Ketika
usianya beranjak remaja, Elok bertekad untuk menjadi seorang pelukis. Ia ingin
menebus kesalahannya sewaktu kecil. Mungkin hanya dengan begitu, ibunya mau
menemuinya lagi. Apapun akan ia tempuh demi memeluk kembali sang ibu yang sudah
lama ia rindukan.
Perjuangannya
untuk menciptakan suatu lukisan yang berdaya jual tinggi, tidaklah mudah. Bahkan
sangat sulit. Namun, Elok tetap mencoba dan terus mencoba. Sayangnya hasil yang
ia harapkan tidak seindah bayangannya. Semua sketsa lukisannya tidak memuaskan.
Mana
mungkin ibunya akan datang untuk membeli lukisannya jika ia tetap melukis
dengan jelek seperti itu? batinnya kesal. Elok mulai frustrasi. Ia terlalu berambisi
untuk meraih kembali cinta ibunya. Sampai-sampai ia bersikeras melakukan hal
yang diluar batas kemampuannya. Ia terlalu memaksakan dirinya, tanpa menyadari
sampai dimana batasannya.
Semua
yang sudah ia lakukan terasa tidak ada gunanya. Ia sadar ia tidak ditakdirkan
untuk menjadi seorang pelukis. Bukan, bukan itu. Bukan ia tidak ditakdirkan untuk
menjadi seorang pelukis. Hanya saja ia tidak ditakdirkan untuk bertemu lagi
dengan ibunya. Selamanya. Ia yakin saat ini Tuhan begitu membencinya. Ia sudah
menjadi anak yang tidak berbakti selama ini. Sehingga Tuhan tidak
mengizinkannya untuk kembali lagi ke pelukan sang ibu.
Elok
marah pada dirinya sendiri. Ia membanting semua peralatan melukis di
hadapannya. Ia merobek semua kanvas yang ada. Kemudian menendang penyangganya. Ia
membawa semua rongsokan itu ke halaman belakang panti asuhan. Ia berniat untuk
melenyapkan semuanya. Pemantik api kini ada dalam genggamannya.
Elok
mengedarkan pandangannya sekali lagi pada seonggok peralatan melukisnya
lekat-lekat. Setetes air mata mengalir pelan membasahi pipinya. Semuanya tidak
berguna. Apa beda dirinya dengan semua sampah ini? Semua itu persis seperti
dirinya. Kanvas putih yang dirobek lalu dibuang. Seperti itulah dirinya dulu.
Ia seolah melihat cerminan dirinya sendiri melalui kacamata seonggok kanvas
robek di depannya. Perasaannya hancur. Hatinya serasa tercabik. Nyeri, pedih,
semuanya terasa sangat menyakitkan.
Elok
telah sampai pada titik jenuh perjuangannya. Perjuangan yang berakhir tanpa
asa. Perjuangan untuk meraih kembali cinta ibunya yang sangat ia rindukan kini
berakhir sia-sia. Ia sudah menyerah. Elok putus asa. Ia merasa sudah waktunya untuk
mengakhiri semuanya. Termasuk mengakhiri hidupnya sendiri. Ia pikir sudah
seharusnya ia ikut melebur bersama kanvas-kanvasnya.
Kanvas
yang sudah membuatnya memiliki kenangan pahit. Kanvas yang sudah membawanya ke
dalam jurang neraka kehidupannya. Dan kanvas yang menjadi penyebab utama sang
ibu tercinta membuangnya. Kini beban itu berakhir sudah. Beban berat yang ia
tanggung sebagai ‘kanvas yang terbuang’, kini selesai sudah. Semuanya akan
segera berakhir.
Dan
semua itu akan berakhir tanpa jejak sejengkalpun. Persis seperti seonggok abu
setelah pembakaran. Ia akan lenyap tanpa jejak. Karena butiran-butiran debu
abunya akan menyatu dengan tanah. Tanah yang akan memeluk sisa-sisa raganya. Ia
akan menghilang untuk selama-lamanya.
Elok
menyalakan pemantik api itu tepat di depan matanya. Ia mendekatkan nyala api ke
arah onggokkan sampah kanvas miliknya. Namun mendadak tangannya berhenti. Ia
melepaskan tekanan pada pemantik itu sehingga nyala apinya padam. Ada sesuatu
yang menghalanginya.
Seekor
kupu-kupu bersayap biru pucat kini tengah bertengger di atas onggokan sampah
kanvasnya. Kupu-kupu itu terlihat sangat kontras dengan tumpukan rongsokan
kanvas yang ia hinggapi. Ia mendaratkan kaki-kakinya yang rapuh pada satu
lukisan bunga warna merah yang sudah robek kanvasnya.
Elok
terbelalak. Pandangannya nanar. Ia menjatuhkan begitu saja pemantik apinya. Ia
memandangi kupu-kupu biru pucat itu tanpa berkedip. Tiba-tiba perasaan yang
sulit dijelaskan menyeruak masuk tanpa permisi ke dalam dadanya. Aliran energi
aneh menjalari jalur nadi di jantungnya. Seluruh sendi di lututnya serasa lemas.
Ia jatuh terduduk. Air mata deras mengaliri sisi wajahnya. Elok menangis dalam
diam.
Ia
sadar ia sudah melakukan kesalahan besar jika berpikir untuk mengakhiri
hidupnya sekarang. Ia tidak menyadari jika kehidupan lain di luar sana sedang
menantinya. Kehidupan yang lebih baik jika saja dirinya bersedia untuk sedikit
membuka mata hati dan pikirannya. Ia ingin menjadi seperti kupu-kupu di
hadapannya. Tetap anggun dan berdiri tegak mengepakkan sayapnya meski dunia di
sekelilingnya tak lagi bermakna.
Elok mengais kembali sisa-sisa peralatan serta kanvasnya yang masih utuh. Ia ingin
memulai lagi semuanya dari awal. Ia harus melukis lagi apapun keadaannya.
Sekalipun ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan ibunya lagi, ia harus terus melukis.
Karena hanya itulah satu-satunya yang tersisa darinya. Hanya itu kenangan yang
mengingatkannya kepada ibunya. Hanya dengan terus melukis, ia bisa terus
memeluk ibunya dalam tiap inchi goresan kuas yang ditorehkannya ke dalam sebuah
lukisan. Ia harus tetap hidup. Hidup yang berharga. Hidup demi seseorang. Seseorang
yang sangat ia kasihi. Hidup demi sang ibu tercinta.
Elok
menitikkan air mata haru ketika lukisannya hari ini berhasil sampai ke tangan
ibunya. Rasanya ia ingin memeluk Diva sekarang juga. Sudah sangat lama ia rindu
akan kehangatan tubuh wanita yang telah melahirkannya itu. Namun sekalipun ia
sangat ingin, ia tetap bergeming di tempat duduknya. Ia tidak ingin merusak
senyuman di wajah ibunya saat ini. Lebih tepatnya, ia terlalu takut. Takut jika
Diva akan menjauhinya sekali lagi. Cukup hanya dengan melihatnya seperti ini
sudah membuatnya merasa bahagia. Elok tersenyum. Jiwanya damai.
Yang
perlu ia lakukan mulai saat ini dan seterusnya adalah terus melukis. Hanya
dengan begitu ia bisa terus bertemu dengan ibunya. Meskipun hanya pertemuan
sepihak. Elok tidak menyesal. Karena sekarang ia sudah bukan lagi seekor ulat
yang menjijikkan. Kini ia telah bermetamorfosis menjadi sang kupu-kupu yang
sempurna.
Ibu,
Aku
masih di sini menantimu ibu,
Anakmu
datang untuk menemuimu, anakmu yang sangat merindukanmu, anakmu yang dulu
seringkali menyusahkanmu, dan anakmu yang dulu engkau tinggalkan.
Namun
aku tidak membencimu ibu, aku selalu memeluk ibu dalam setiap doaku,
Setiap
hari aku serasa mati dan hidup kembali,
Aku
selalu merindukan sosokmu yang bahkan tak sanggup lagi ku raih,
Aku
yang dulu hanyalah seekor ulat bulu yang menjijikkan bagimu,
Bahkan
kau tidak ingin lagi melihatku karena sosokku yang begitu menjijikkan,
Namun,
Sekarang
aku sudah keluar dari kepompong yang telah lama membelenggu tubuhku,
Aku
telah menjelma menjadi sosok sempurna Sang Kupu-kupu dengan sayap emas.
Sayap
yang mengantarkanku kembali dalam rindu untuk bersua denganmu.
Melalui
lukisan sang kupu-kupu, kutitipkan peluk cium kasihku hanya untukmu. Ibu.
[
selesai ]
Ceritanya bagus.
BalasHapusSekar itu Elok kan?
Ups, itu typo mbak. Saya betulkan dulu.
HapusTerimakasih mbak Na. :)
iya bagus idenya
BalasHapusTerimakasih mbak Wid. :) sudah berkunjung..
HapusSudah selesai, ya... hmm
BalasHapussudah mbak :)
HapusTerima kasih banyak sudah berkunjung..
masih lanjut mba? penasaran gimana pertemuan Elok sama ibunya, ketika ibunya tau semua..?
BalasHapusSudah selesai mbak, karna ini cerpen serial cantik jadi langsung tamat, tidak ada kelanjutannya. :) (maaf mengecewakan)
HapusLuar biasa endingnya.
BalasHapusBeneran sudah tamat ini mbk Dymar??
Boleh minta naskah lengkapnya?
Keren
Terima kasih mas Her apresiasinya.
HapusIya betul, sudah tamat ini :D (mohon maaf mengecewakan)
Naskah lengkap? Silahkan, tulisan diatas adalah naskahnya yg lengkap :)
Good ide. Mantaap nih
BalasHapusterima kasih mas Gilang udah mampir...
Hapusbersambung kan?
BalasHapusLangsung tamat ini mbak Lis, hehe...
Hapuskarna Cerpen Serial Cantik, yg langsung habis sekali baca :)
Mohon maaf mengecewakan :D
Keknya banyak yang kecewa neh mbak dymar...๐
BalasHapusHalo, mbak Sas. Lama tak jumpa. :D
HapusIya nih mbak, sepertinya pada minta bersambung mulu.. :D
Terimakasih mbak Sasmitha atas kunjungannya :)