Kata Pengantar Yang Menggelitik Nalar

Jarang sekali aku membaca lembar Kata Pengantar ketika aku membaca buku-buku fiksi / nonfiksi. Seringkali lembar Kata Pengantar itu malah terabaikan begitu saja oleh pandangan mata. Bahkan seolah sudah menjadi kebiasaan awam sastra bahwa Kata Pengantar itu hanya berisi kumpulan kata dalam desak paragraf yang ditulis dengan bahasa sangat formal, sehingga membuatku menguap begitu melirik kalimat pertama.

Apakah kalian juga merasa demikian?

Entahlah. Padahal dulu aku sempat diwejang oleh salah satu Dosen, atau kalau tidak salah pakar dalam bidang sastra serta kepenulisan (kalau aku tidak salah ingat), bahwa sejatinya kita bisa mengetahui seluruh inti dari sebuah buku tanpa membaca isinya, dengan cara: "Baca saja Kata Pengantar-nya."

Pernah juga ada yang berkata bahwa tingkat ketertarikan kita dalam membaca isi buku, bisa ditilik dari penyampaian Kata Pengantar itu sendiri.

Kata Pengantar bisa juga menjadi petunjuk arah dan panduan khusus tentang bagus tidaknya isi di dalam buku tersebut.

Dari salah satu artikel kompasiana oleh Much. Khoiri, yang mengatakan bahwa kehadiran pemberi pengantar ibarat duta bagi keseluruhan isi buku kita. Sebagai petunjuk atau tour guide, yang mana menjelaskan setiap detail tulisan serta substansi yang ada dalam buku tersebut. Ibarat rumah, Kata Pengantar adalah pintu masuknya. Hemat kata, adalah sebaris ucapan "Selamat datang, anda memasuki kawasan hutan imajinasi kami. Dilarang membuang sampah sembarangan." Mungkin demikian ilustrasinya.

Oke.

Selang dua hari yang lalu, tepatnya hari Senin (3/9/2018), aku menerima paket kiriman buku yang aku pesan dari seorang teman penulis muda berbakat (Hm.. tidak bisa disebut teman juga, karena aku tidak mengenalnya, hanya sekedar tahu saja. Apa itu bisa dikatakan sebagai 'teman'?). Namanya Umar Affiq.

Di atas sampul berwarna biru pudar itu tersemat lukisan seorang lelaki dengan wajah yang tertutup ilustrasi pintu terbuka dengan seekor anjing yang berdiri di ambang pintu. Tertera sebaris judul: Hari Anjing-anjing Menghilang oleh Umar Affiq, dkk.



Ya, buku ini merupakan sebuah mahakarya antologi cerpen yang menjadi pilihan Kampus Fiksi Emas tahun 2017. Dan tentu saja di dalamnya bisa ku temui beberapa penulis muda yang lain, selain Umar.

Entah kenapa, mataku menyapu paragraf pertama pada lembar Kata Pengantar. Judul dari Kata Pengantar yang ditulis oleh Tia Setiadi tersebut adalah "Jalan Menikung Menuju Sastra Kesaksian". Hm..menarik, pikirku. Apalagi dibawah judul tertutur sederet kata-kata kutipan atau biasa ku sebut dengan kata-kata mutiara. Bertambah betah aku menatap lama-lama di halaman itu. Jujur, aku suka sekali membaca kutipan kata-kata mutiara. Apalagi yang mengandung makna tersirat di dalamnya dan berbahasa Inggris.

Deret kata mutiara Tia Setiadi benar-benar menggugah seleraku untuk membacanya dalam renung yang cukup lama.

"I have always tried to live in an ivory tower, but a tide of shit is beating at its walls, threatening to undermine it." (Petikan surat Flaubert kepada Turgenev)

Oke, aku akui bahwa aku mulai sedikit menyukai Kata Pengantar sekarang.

Kata mutiara tadi kurang lebih begini jika diterjemahkan:

"Aku selalu berusaha hidup di menara gading, tetapi gelombang kotoran menghantam temboknya, mengancam untuk merusaknya."

Kalimat tersebut mengantarkanku ke satu paragraf berikutnya yang berisi pertanyaan retoris.

Ingatkah kau pada cerpen Seno Gumira Ajidarma yang bertajuk "Manusia Kamar"? Lalu, kau pun bertanya bisakah seorang pengarang hidup terus seperti si Manusia Kamar itu?

Bisakah dia memencilkan diri di sebuah menara gading atau sebuah kastil indah yang dikelilingi tembok tinggi hingga tak bisa direngkuh siapa pun? Kurasa bisa saja.


Akan tetapi, bagi penulis sejati, yang antena kepekaannya tajam, yang pintu-pintu hatinya terbuka ke pelbagai arah, yang wawasannya membentang meluas, tak akan mampu berlama-lama memencilkan diri. Lantaran bahkan di menara gading atau kastil sekalipun pasti ada celah dan retaknya, sukacita atau dukacita.


Dari paragraf itu aku tercenung. Sungguh menggelitik nalar. Bahwa aku sadar penuh jika kemampuan menulisku masih serupa "Manusia Kamar". Dan belum bergeser ke mana-mana. Dan sempat terpikir di benak, apakah aku mau terus "memencilkan diri" begitu saja? Aku mau membentangkan sayap imajinasiku lebih luas lagi dan menukik ke kedalaman laut pemikiran lebih dalam lagi, tentu saja. Menguliti makna kehidupan hingga microba sekalipun. Aku hanya kurang berusaha, itu saja.

Kemudian, lembar demi lembar Kata Pengantar itu terus ku jelajahi. Hingga sampai pada kalimat yang kembali menyentak nalarku. Biar ku coba mengutarakannya dalam satu parafrasa.

Tugas penulis di era digitalisasi sejatinya adalah: mengurai makna. Dia mesti menyelam dan menukik ke kedalaman terdalam, atau meluncur dan terbang ke ketinggian demi meraih makna, sesuatu yang kadang hampir tak terkatakan dan berdiam di wilayah yang belum terpetakan.

Allen Grossman, merumuskan ada empat tugas yang diharapkan ditunjukkan oleh para sastrawan kontemporer.


Pertama, penulis diharapkan mampu menunjukkan apa maknanya hidup dalam dunia pengalaman bersama.


Kedua, penulis diharapkan mampu membongkar harapan-harapan palsu dan ilusi-ilusi dalam masyarakat.


Ketiga, penulis diharapkan mampu membentangkan betapa sulitnya menciptakan makna.


Keempat, penulis diharapkan mampu menghamparkan betapa dunia masih bisa mencengangkan.


Penulis Afrika, Nadine Gordimer, menyebutnya sebagai witness literature.


Witness literature adalah karya-karya sastra yang ditulis oleh para penulis yang menerima tanggung jawab untuk terlibat secara penuh dengan pusaran persoalan-persoalan zamannya, mereka yang bertapa di tengah keriuhan pasar, dan dengan pisau intelegensinya yang tajam dipadu dengan penerbangan imajinasinya yang dasyat mentransformasikan setiap kejadian, setiap kepingan kepedihan, motif-motif, emosi-emosi, reaksi-reaksi, jerit sekejap atau tangis berkepanjangan, dari kesementaraan waktu menjadi bongkahan-bongkahan makna yang abadi.


Tia berpendapat juga masih banyak penulis yang terjebak dalam perangkap kepenulisan.


Ihwal bahasa. Masih gentayangan kata-kata dan ungkapan serta kalimat klise.

Klise: sebuah ekspresi, gagasan, atau anasir dalam sebuah karya yang sudah terlalu sering dipakai sehingga kehilangan kesegaran maknanya, kekurangan daya kejutnya, efek-efeknya yang mencengangkan, sampai kepada titik ketika ia benar-benar menjadi ungkapan yang membosankan dan omong kosong, sia-sia dan tanpa arti. 


Dengan demikian klise sudah tersedia dalam bahasa konvensional, dan seorang penulis yang kurang waspada bisa dengan begitu saja memetiknya. Sebetulnya bisa jadi ungkapan klise itu pada awalnya mempunyai keindahan makna dan kebaruan ekspresi, akan tetapi oleh seringnya diulang, keindahan dan kebaruan itu menjadi hilang jiwa.


Penyair Prancis Gerard de Nerval dengan jitu mengilustrasikan: "Orang pertama yang memperbandingkan perempuan dengan sekuntum mawar adalah seorang penyair, sedangkan orang kedua yang mengatakannya adalah si pandir."


Sekali lagi. Beberapa baris kalimat di Kata Pengantar Tia, berhasil menggelitik pemikiranku. Yang mana merupakan cerminan tulisanku sendiri yang masih saja berkutat pada kalimat-kalimat dengan kumpulan kata klise.

Berikutnya Tia juga menyinggung soal kritik sosial bagi penulis yang dikutip dari esai bernas bertajuk Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah tanpa Sengat (1999) oleh Sapardi Djoko Damono.

"Jadi apa kesimpulan kita tentang kritik sosial dalam sastra Indonesia? Ia hanyalah lebah yang tanpa sengat. Ia tidak bisa menyakiti kita, apalagi memaksa kita mengubah perilaku kita. Paling banter ia hanya membuat kita risi, atau geli, atau jengkel. Dan kalaupun karena jengkel kita ingin menindasnya, kita pun bisa melakukannya tanpa risiko apa-apa."

Baiklah, kesimpulannya adalah masih banyak sekali kekurangan yang ada pada diriku ini setelah membaca penuturan Tia Setiadi dalam Kata Pengantarnya yang dikemas begitu apik. Penuh filosofi, penuh makna tersirat. Penuh renung-renung singkat.

Untuk penulis pemula, jangan takut akan kritik. Karena seperti kata Eyang Sapardi tadi, kritik sosial tak ubahnya hanyalah sekumpulan lebah tanpa sengat.

Tapi, benarkah demikian? Mungkin Sapardi hanya separuh benar. Entahlah.

Semua yang kita baca adalah hasil dari opini perseorangan. Fakta jarang sekali terurai dengan jelas. Yang kita dengar, yang kita pelajari seringkali adalah kumpulan pemikiran individual yang mana bersifat subjektif.

Jangan takut akan opini. Apalagi opini yang negatif. Opini yang menjatuhkan. Tapi kalian berhak untuk merasa jengkel, karena emosi itu manusiawi. Walau begitu, jadikan kritik sebagai bumbu penyedap. Micin walau tak sehat, tapi membuat masakan terasa sedap, bukan?

Kritik sosial menunjukkan kepada kita bahwa karya-karya yang pernah kita hadirkan, telah mereka nikmati sampai habis. Walau lidah mereka punya karakternya tersendiri. Dan kalaupun tulisan itu tidak sesuai dengan selera mereka, bukan berarti bahwa tulisan kita jelek, kurang kompeten, atau tidak bermutu sama sekali. Sekali lagi, mereka hanyalah sekumpulan lebah tanpa sengat, oke? Jika kalian merasa tersakiti, maka kalian kalah.

Lawanlah dan bangkit. Berdiri. Dan mulailah menulis kembali. Praktek, praktek, dan praktek. Terus, terus, dan terus menulis.

Sebaliknya, dari derita kritik yang pernah kita rasa, jangan sampai di kemudian hari kita melakukan hal yang sama pada penulis-penulis pemula generasi berikutnya. Sampaikan pada mereka sebuah kritik bagai nyanyian dengan alunan musik yang lembut lagi indah, dan tentunya enak didengar.

Jadi, jika kalian membaca sebuah buku, sempatkan untuk singgah barang semenit untuk menikmati Kata Pengantar-nya ya. I strongly recommend you to do that, dear.

Gimana? Sudah merasa segar sekarang?

Siap menulis hari ini?

Yuk, segerakan.

***

Kediri, 5 September 2018. 11:41.
Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori