Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2016

A.A.D.C #18

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic? #18 “Kamu nggak sarapan?” Gemerincing bunyi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring menggema di ruang makan yang luas itu. Pak Wiyoto menyesap secangkir kopinya perlahan ketika seorang remaja laki-laki menuruni tangga. “Tidak perlu.” jawab pemuda itu sambil lalu. Nadanya sedikit ketus. Ia menyampirkan tasnya di bahu, kemudian bergegas pergi sebelum bentakan ayahnya menggema. “Ferdi! Kamu dengar Ayah tidak? Kamu lupa pesan mendiang ibumu? Kamu harus jaga kesehatan. Ingat itu!” Ferdi menghentikan langkahnya. Namun tetap memunggungi sang ayah. “Bukankah seharusnya anda senang jika saya mati cepat? Bukankah itu yang selama ini anda tunggu?” sindiran tajam lolos begitu saja tanpa basa-basi. “Dan anda juga harus mengingat ini. Dari dulu, saya sama sekali tidak menganggap anda sebagai ayah saya. Jadi, berhenti menyebut diri anda sendiri sebagai ayah. Ingat itu!” pungkasnya dengan geram. Kemudian Ferdi berlalu. Me

A.A.D.C #17

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic? #17 Sera tidak bisa tidur. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Malam ini ia gelisah. Sedari tadi ia mondar-mandir sambil menyapukan jempol ke layar  smartphone -nya. Kuku-kuku jarinya habis ia gigiti. Namun kegelisahannya tetap tak kunjung reda. Untuk yang kesepuluh kalinya ia membaca ulang komentar di akun  facebook  miliknya. Sebuah status yang ia unggah beberapa hari yang lalu dan ada komentar dari akun asing yang tidak ia kenal. LA Badboy. LA Badboy : Ini aku Ra. Om Bara. Inget nggak? Yang dulu suka ngajak kamu jalan-jalan waktu kecil. SERA W. : Ya Ampun, Om Bara! Inget dong pasti. Apa kabarnya sekarang? Keluarga sehat? Masih di Denpasar kan sekarang? LA Badboy : Baik, syukur keluarga semua sehat-sehat aja. Kamu sendiri apa kabarnya sekarang? Udah tinggi dong ya sekarang? Gimana sekolahnya lancar? Iya nih, masih tetep di Bali kok. Mampir aja ke sini. Soal biaya perjal

A.A.D.C #16

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic? #16 Sera menggigiti kuku jarinya. Sesekali ia menempelkan telinganya pada daun pintu ruangan itu. Ia panik. Wajahnya terlihat gusar. Lima belas menit telah berlalu sejak mereka dibawa ke ruangan ini. Ruangan yang paling ditakuti oleh seluruh murid. Sera masih saja mondar-mandir di luar ruangan yang saat ini tengah menahan tiga orang temannya. Teman? Tunggu dulu, sepertinya ada yang salah dengan sebutan itu. "Jadi, kalian masih tidak ada yang mau mengaku?" geram Pak Mul, guru yang menangani Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah ini. Hemat kata, posisi ini dipopulerkan dengan istilah guru BP. "Tidak akan ada asap, selama api tidak disulut, Pak. Semua ini hanya salah paham." ujar Ferdi membela diri. Ardi memandang kesal ke arah Ferdi. Lalu, berganti melirik tajam pada Siska yang berdiri di sebelah sang guru BP. "Tidak penting siapa yang memulai. Bapak tidak mau dengar ada keributan lagi di lain hari. Mengerti kamu, F