Tentang Bom Waktu, Kepercayaan dan Teladan

Untuk apa agama diciptakan jika hanya dijadikan sebagai alasan dan sebagai label pembenaran diri semata? Mengesampingkan perasaan individual, mengabaikan hak perseorangan namun di saat yang bersamaan menuntut suatu kebaikan dapat diwujudkan. Hanya orang kurang waras dengan kepribadian ganda yang mungkin saja bisa mewujudkan kekonyolan itu.

Ah tidak, maksudku bukan agama. Tapi orang-orang yang beragama. Yang mengaku bahwa dirinya memeluk suatu agama, menganut suatu kepercayaan, meyakini suatu Dzat pencipta alam semesta, dan menganut aturan-aturan yang ada di dalamnya dengan taat. Atau lebih universal jika aku menyebutnya dengan istilah kepercayaan saja. Semoga kau tidak keberatan.

Baiklah, apa hakikat dari sebuah kepercayaan?

Percaya adanya Sang Pencipta alam semesta, percaya akan datangnya kematian, percaya bahwa segala sesuatu di dunia sudah ada Dzat pengaturnya. Walau kau belum pernah melihat dengan mata kepalamu sendiri seperti apa bentuk dari Dzat Yang Maha Besar itu, namun kau tetap saja mengimani kepercayaanmu itu sampai nyawamu dicabut nanti, bukan? Walau dengan begitu kau masih terus mencari-cari alasan yang tepat kalau-kalau ada yang mendadak bertanya, “Kenapa kau beriman?”. Namun belum juga kau temukan alasan yang bagus untuk menjawab pertanyaan itu hingga sekarang. Apa aku salah bicara?

Apakah ada lagi definisi dari kepercayaan?

Percaya bahwa imanku lebih baik dari imanmu? Percaya akan laknat yang pasti didaratkan kepada orang-orang yang tidak menganut agamaku? Percaya bahwa Tuhan hanya berpihak pada agamaku saja?

Wah, wah, percaya diri sekali aku ini. Besar kepala, hingga mulutku mampu menyindir sedemikian sadis.

Tuhan memang hanya ada satu, saudaraku. Namun sekali lagi, Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika. Mereka tinggal dalam rumitnya perbedaan yang (walau dengan terpaksa) mencoba dipersatukan, khususnya dalam hal kepercayaan.

Seperti sudah jelas termaktub dalam pasal 29 ayat satu dan dua Undang-Undang Dasar 1945, yang mana merupakan penjelasan rinci dari sila pertama dan sila ketiga Pancasila. Tentunya kau dulu sudah menghafal isinya dengan lancar di bangku sekolah, bukan?

Aku tak ingin terlalu jauh membahas tentang pasal-pasal apalagi sila. Aku tak ahli di bidang hukum. Tapi yang sangat ingin aku garis bawahi di sini adalah tentang mengapa banyak dari orang-orang (yang mengaku) berilmu begitu senang menutup mata dari hak-hak individual. Ada apa sebenarnya dengan opini yang sama sekali tidak merefleksikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat serta jauh sekali dari pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Belum cukup melabeli orang-orang dengan kata “kafir”, “musyrik”, “ateis” serta turunan dari kata-kata itu (yang cukup membuat telinga panas), beberapa 'manusia robot' yang beride gila dengan senang hati memicu keresahan masyarakat.

Mengobarkan kepanikan atas nama kepercayaan yang dianut suatu kelompok. Lebih gilanya lagi, mengatasnamakan Tuhan di dalamnya.

Rumah-rumah ibadah menjadi sasaran, orang-orang tak bersalah menjadi target penindasan; baik secara lahiriah maupun batiniah.

Moral dan emosional, apalagi rasa bersalah, terbersitkah di benak para manusia itu walau sedikit saja?

Aku tak ingin menyebut mereka dengan sebutan keji, kejam, atau munafik; walau pada kenyataannya mereka memang demikian. Tapi lebih baik aku menggunakan diksi yang lain saja untuk mewakilinya, yakni 'manusia robot’. Aku pikir itu cukup keren untuk menyebut manusia yang tak punya perasaan. Kau lihat, kan? Walau tabiat mereka serupa kotoran, dan hati mereka terbuat dari mesin, tapi aku masih sudi menyebut mereka sebagai manusia.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi, anak-anak kecil kerap menjadi kambing hitam serta korban ketidak-adilan.

Abad macam apa ini?

Negara sudah merdeka, namun mengapa hak-hak perseorangan masih saja dijajah semena-mena?

Apa kau tak memikirkan perasaan saudara-saudaramu yang lain sesama penganut kepercayaan? Menurutmu bagaimana jika tempat-tempat ibadah dari kepercayaan yang kau anut dihancurkan oleh penganut kepercayaan lain?

Bagaimana perasaanmu? Sedih? Marah? Kesal? Merasa diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi?

Baiklah, menurutmu apa saudaramu mampu bersikap ikhlas jika diperlakukan secara tidak adil dan tidak manusiawi seperti itu? Apa dalam ajaran agamamu, Tuhan menyuruh hamba-Nya untuk berbuat kerusakan di muka bumi? Apa dalam agama yang kau anut, kau percayai dan kau imani itu, ada perintah untuk meledakkan rumah-rumah ibadah? Menurutmu bagaimana perasaan Tuhan setelah semua kengerian yang terjadi? Apa yang Tuhan pikirkan, apa juga terpikirkan olehmu saat itu?

Maafkan jika aku terlalu banyak bertanya. Kau tahu sendiri, kan, aku ini bodoh. Aku sangat bodoh sampai-sampai tak bisa berbuat apa-apa saat saudara-saudaraku berada dalam situasi yang mengerikan. Kenistaan yang terjadi akibat ulah manusia-manusia yang tak punya hati. Kebodohan mutlak yang ada pada diriku yang hina ini adalah hanya duduk di bangku penonton saja. Hatiku sakit menuliskan suara-suara hati mereka yang memilukan dalam baris kata-kata tanpa makna. Kau bisa melihat seberapa bodohnya aku saat membaca rangkaian kalimat-kalimat yang pincang ini.

Aku tak ingin mengotori hakikat ikatan suci dari sebuah pernikahan. Namun apa aku salah jika aku jujur dengan berpikir bahwa sejatinya pernikahan itu tak usah dilangsungkan saja, jika setelahnya hanya akan melahirkan bibit-bibit perusak kedamaian dunia. Baiklah, mungkin aku sudah salah bicara. Aku tahu kata-kataku sudah mulai keterlaluan.

Perbedaan sejatinya menghancurkan, namun negeriku tercinta berkata bahwa perbedaan itu indah.

Di mana lagi kau bisa menemukan enam agama yang dianut para warga negaranya?

Di mana lagi kau bisa melihat ragam budaya dalam satu kesatuan negara?

Di mana lagi kau bisa mempelajari berbagai bahasa dari beragam suku di sudut-sudut pulau terpencil yang tersebar dari ujung kulon hingga ujung wetan?

Di mana lagi kau bisa memperoleh bahan pangan dengan hanya mengandalkan sebatang tongkat yang ditancapkan ke dalam tanah?

Di mana lagi kau bisa menemukan sawah ladang serta perkebunan yang subur lagi makmur?

Di mana lagi kau bisa menemukan terumbu karang di laut lepas?

Samudra yang liar, perairan yang kaya sumber pangan, perut bumi pertiwi yang menyimpan berbagai macam tambang yang bisa menghidupimu hingga tujuh keturunan. Baiklah, lupakan saja, karena wajah bumi pertiwiku sekarang sudah tidak sama seperti penjabaranku yang terlalu berlebihan di atas.

Sadarlah kawan, negeri ini kaya! Sangat disayangkan jika manusianya masih saja tak mau mengucap syukur ke hadirat Sang Pencipta.

Maaf ya, Indonesia.

Itulah mengapa aku tidak terlalu suka menonton televisi. Lebih baik menonton roman-roman picisan atau membaca cerita fantasi yang murahan, bukan? Setidaknya di sana masih bisa aku temukan arti kasih sayang dan cinta; walau dalam bungkus yang buruk rupa.

Aku hanya tidak ingin akal sehatku terkesampingkan dengan membiarkan ide-ide picisan dari tayangan televisi meracuni teladan yang ingin aku bagikan kepada generasi milenial. Tayangan televisi yang hanya berisi konflik antar agama, sudah menjadi drama sehari-hari yang tidak ada kodanya. NKRI dipertaruhkan. Harga diri bangsa mau jadi apa setelahnya? Wajah sang saka merah putih mau ditaruh mana?

Tidakkah terpikirkan di benakmu juga?

Semua anak-anak bangsa membutuhkan teladan. Apakah nantinya akan menjadi sebuah teladan yang baik atau buruk, semua tergantung dari apa yang mampu mereka serap ke dalam kepala kecilnya itu. Dan apa jadinya jika yang mereka saksikan adalah teladan kehancuran, rasa dengki lagi iri hati, serta makna pengorbanan yang dibungkus dalam kepercayaan yang diagung-agungkan? Menurutmu apa yang ada di kepala kecil mereka sekarang?

Baiklah, contoh kecil saja dalam suatu masyarakat kecil; yakni keluarga. Masih banyak pasangan orangtua yang gemar berdebat kusir dihapadan anak-anaknya. Adu argumen, saling berteriak, membentak, bahkan mengeluarkan makian yang semua itu kemudian malah dinikmati oleh anak-anaknya sebagai sebuah tontonan yang seru dan menghibur.

Ironis.

Apakah itu yang disebut teladan?

Sungguh miris.

Memaksakan pendapat pribadi kepada pasangan, dan hanya memberikan perintah tanpa pengertian yang jelas kepada anak-anaknya. Tanpa teladan, tanpa mengetahui seberapa besar risiko dari perintah itu nantinya jika diterapkan. Dan anak-anak dituntut untuk wajib menuruti semua perintah dan kemauan orangtuanya. Dengan pola mendidik yang demikian itu, ajaran yang ditanamkan hanya akan menjadi bom waktu saja bagi mereka.

Kira-kira apa yang akan terjadi pada anak-anak itu setelah “bom waktu”-nya meledak saat mereka dewasa nanti? Apa kau bisa memprediksi masa depan anak-anak itu? Aku yakin kau peduli dengan masa depan mereka, walau sikapmu terkadang (bahkan seringkali) kasar, aku tahu sebenarnya kau begitu menyayangi darah dagingmu sendiri.

Yang perlu disadari adalah bahwa jiwa-jiwa dari bibit pemberontak tersebut bisa jadi menurun ke anak-anak mereka setelah anak-anak itu beranjak dewasa nanti dan memiliki kebebasannya sendiri sebagai individu yang utuh.

Sekali lagi, apa itu yang disebut harapan untuk menuju kebaikan?

Ketahuilah, sejatinya mendidik itu tidak mudah. Menjadi orangtua bukanlah pekerjaan remeh yang bisa dilakukan siapa saja. Namun, generasi dewasa era sekarang dengan bangganya mengumumkan kegagalan rumah tangganya di depan publik, sorot media seringkali mengarah kepada pasangan nikah dini, anak-anak usia Sekolah Dasar terpampang di media sosial dengan perbuatan yang tidak pantas, dan masih banyak lagi sorot media dengan suguhan informasi terkini yang lebih kompleks.

Bahkan, pencuri 2018 sudah tidak berminat lagi dengan uang dan barang-barang berharga. Mereka kapan hari mencuri buku nikah di KUA. Tidak begitu jelas apa modus di balik pencurian itu. Diduga hendak dipergunakan untuk memalsukan status pernikahan demi kepentingan individu.

Ide gila macam apa itu?

Menurutmu bagaimana? Tidakkah kau penasaran tentang kepercayaan apa yang dianut para pencuri itu? Apa setelah mengetahuinya nanti, kau ingin mengadilinya di tempat?

Tapi, ah sudahlah.

Masyarakat milenial memang banyak yang sudah kehilangan akal sehat. Aku hanya khawatir jika aku dan kau nanti juga ikut tertular imbasnya.

Amit-amit. Jangan sampai demikian.

Tentang seseorang menganut kepercayaan ini sementara yang lain menganut kepercayaan itu, biarlah mereka sendiri yang menentukan. Itu bukan tugasmu atau tugasku, bukan juga tugas orang lain.

Laksanakan saja bagianmu, dan bagian mereka biarlah menjadi tanggung jawab mereka.

Sederhana, bukan?

Mengapa harus dibuat rumit?

Iya, hidup memang sederhana. Namun hanya sedikit orang yang bisa membaca kesederhanaan itu. Jarang yang mampu menyadari hakikatnya. Selebihnya, hanya berisi biang keladi, penambah beban masalah saja.

Itulah mengapa hidup ini terasa berat. Bukan karena masalah kehidupan yang dihadapi, tapi karena orang-orangnya yang susah sekali untuk dimengerti.

Pernah aku mendapati satu pertanyaan beserta jawaban di bawahnya:

What makes life difficult?
People.

"Apa yang membuat hidup terasa sulit? Orang-orangnya."

Termasuk kau dan aku. Kita ini termasuk orang-orang yang bisa saja membuat orang lain berada pada situasi yang sulit.

Bisa jadi seringkali sikap kita menyebalkan, mengeluarkan pendapat seenaknya, menghina sana menghakimi sini, dan bla bla bla masih banyak kerumitan yang lainnya. Baik disadari maupun tidak, sebenarnya diri sendirilah penyebab hidup ini menjadi sulit. 

Maka dari itu, introspeksi diri itu perlu. Apakah aku sudah mampu memberi manfaat kepada orang-orang di sekitarku? Kata-kataku tadi menyakiti orang lain tidak, ya? Apa sikapku menjengkelkan hari ini?

Tanyakan pertanyaan itu setiap hari pada diri sendiri. Tenang dan hadapi segala sesuatunya dengan kepala dingin. Segalanya bisa dibicarakan secara baik-baik berdasarkan asas kekeluargaan.

Tidak perlu sampai mengeluarkan telunjuk lalu kemudian menuding baik dan buruk atas apa yang dianut dan dipercayai oleh saudaramu yang lain. Kepercayaan mereka adalah milik mereka dan kepercayaanmu adalah milikmu.

Bukankah Indonesia ini Bhineka Tunggal Ika? Semoga masih berlaku, ya, semboyannya.

Kan katanya perbedaan itu indah? Iya, katanya. Kalau hanya di mulut saja, semua orang bisa dengan mudah mengatakannya. Ternyata prakteknya sulit, ya?

Pandai-pandai dalam menjaga lisan agar tak asal mengeluarkan kata-kata. Padahal isi kepala hanya melulu soal benar dan salah. Teliti lagi tentang definisi dari benar dan salah.

Sejatinya apa yang menurutmu benar, belum tentu dipandang benar oleh saudaramu yang lain. Begitu pula sebaliknya, apa yang menurutmu salah, belum tentu sepenuhnya dinilai salah di mata orang lain. Pikirkan itu sebelum melontarkan opini, apalagi menyangkut sesuatu yang sifatnya sangat pribadi.

Coba cubit tanganmu sendiri. Jika itu menyakitkan bagimu, apalagi bagi orang lain. Kata-kata yang dilontarkan dari mulut yang tidak didasari rasa empati, bisa menjadi satu cubitan menyakitkan bagi orang yang menerimanya, lho.

Harus ekstra hati-hati. Belajar memperlakukan orang lain menggunakan hati. Tidak mau, kan, disebut sebagai ‘manusia robot’?

Berkaca sebelum berbicara. Bersihkan diri, sebelum membersihkan orang lain. Karena belum tentu juga diri sendiri suci dari segala kotoran yang menempel; baik yang disadari maupun yang memang sengaja tidak diakui.

Maaf sudah banyak menyita waktumu untuk membaca opini pribadi yang tidak tahu diri. Kalau kau butuh sesuatu, seperti misalnya plester untuk menutup mulutku, katakan saja. Aku punya banyak, dan dengan senang hati aku bersedia berbagi denganmu.

Terima kasih.


***
Kediri, 23 September 2018.
Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

  1. tulisannya jleb banget. dan pd kalimat terakhir Mata saya bersimbah air mata, sedih, sangat sedih...

    dan saya ikut meminta maaf kpd IndinesIa tercinta, semoga kejayaan negeri ini tdk lekang oleh waktu, bhinneka tunggal ika selamanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak mas dwi.. 😊
      Merdeka! Dapet salam dari sang saka merah putih.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori