Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Talak

Bercericau tentang kemarau basah Acap kali topan berembus Hingga kelakar ini perlahan pupus Ujar-ujar tetua sudah seperti seonggok serumen Yang berjubal dalam rongga eustachius Tak lebih dari serasah Terabaikan serupa ladang tandus Sebentar lagi kemarau keras Seperti ikatan ini yang sebentar lagi retas Benang kasih yang dulu dirajut berakhir nahas Ladang hati kita telah tandus Motor irigasinya telah lama aus Semerbak bunga-bunganya tak lagi terendus Ide bagus untuk budi daya kaktus Kepala kita serupa Borazon Temperamen laksana beton Emosi ini beriak Amarah menggelegak Memandang parasmu pun muak Tenaga dikuras tandas Perselisihan belum jua tuntas Tak ada kata puas Hingga kanal meliuk dari sudut mataku Mengalir deras Tanda namamu ditoreh di atas kertas Janji sehidup semati resmi kandas Bukan aku yang pergi, tetapi kau Bukan aku yang melarikan diri, tetapi kau Bukan aku yang mengakhiri, tetapi kau Walau awalnya bukan kau yang mengingini, tetapi aku ***

Buronan Detik

Seiring lenganku berayun, Detik melesap serupa asap. Rautmu datar, wajah itu tak melulu bundar. Terkadang garis rahangmu persegi empat. Titik pusat itu serupa hidung si badut pesta yang semerah tomat organik. Bedanya, kamu tuna netra. Seolah Detik merupakan tongkat berjalanmu yang selalu menyertaimu ke mana saja. Padahal ia tak lebih dari seorang bandit. Perampas lamunanmu, hari-harimu, nyaris seluruh ingin-inginmu. Semuanya! Termasuk merampas raga rentamu. Walau kibasan lengan-lenganku yang asimetris itu seolah sama sekali tak diindahkan, aku tetap saja kukuh membanggakan diriku yang unik. Aku berbeda denganmu. Ya, aku tahu, tak ada yang suka dibanding-bandingkan. Aku pun benci dijadikan bahan timbangan yang berat sebelah; keburukan yang lebih banyak dari kebaikan. Aku benci dibandingkan dengan yang lain, khususnya denganmu. Kamu yang hidupnya terlihat tenang-tenang saja, tak dikejar Detik, tentu tak pernah merasakan rasanya jadi aku. Setiap hari aku terbirit diburu Detik. Entah

Mencintai Itu Tololitas (M.I.T) - 4

Antares Avrama’s Mind #4  ( Hedonisme ) Emosi dan perasaan manusia bekerja berdasarkan prinsip kesenangan . Bunyi sebaris kalimat persuasif yang tengah kubaca dari buku Terapi Berperasaan Positif karya Ira Puspito Rini. Perasaan tidak memilih apa yang benar dan apa yang salah, atau apakah itu baik ataukah buruk . Aku mengubah posisi membacaku; rebahan nyaman di atas sofa panjang dan empuk. Mataku serasa tersihir oleh baris demi baris pada halaman buku itu. Hingga aku sampai pada kalimat: Perasaan tidak pernah memilih jalan penderitaan, ia memilih apa-apa saja yang menyenangkan bagi jiwa. Kadar perasaan dipengaruhi oleh prosesnya. Proses yang lama, melahirkan perasaan yang lebih mendalam. “Proses yang lama, melahirkan perasaan yang lebih mendalam,” lirihku mengulangi. Aku membaca kembali kalimat itu, lagi dan lagi, hingga berulang tiga sampai lima kali. Seperti ingin mengoreksi kejanggalan yang tersurat maupun yang tersirat, tetapi yang kutemukan justru kenihilan. Ti

Mencintai Itu Tololitas (M.I.T) - 3

Dara Diamoniq’s Mind Menurutmu mengapa manusia ingin terus hidup dan melanjutkan kehidupan? Apakah untuk menghasilkan banyak keturunan? Apakah karena mereka takut akan kematian? Atau apakah karena mereka ingin mengubah mimpi-mimpi mereka menjadi nyata, mewujudkan semua keinginan itu agar bisa menikmati hasilnya di hari tua nanti? Kedengarannya masuk akal, tetapi bukan itu. Apa yang ingin mereka capai sejatinya bukanlah impian-impian itu, bukan pula karena ingin mengabadikan eksistensi diri dengan cara menciptakan generasi baru setelah mereka. Tidak, bukan itu. Alasan sebenarnya adalah karena mereka mencari satu perasaan yang begitu ingin mereka kecap dalam kurun waktu yang lama. Sampai mereka menemukan apa yang ingin mereka capai, menyerah tidak ada dalam kamus mereka. Perasaan itu bernama bahagia. Percaya atau tidak, manusia hidup sejatinya untuk mencapai bahagia. Emosi paling kuat yang begitu ingin mereka hadirkan dalam kehidupan, hingga mereka rela melakukan

Mencintai Itu Tololitas (M.I.T) - 2

Dara Diamoniq's Mind Apa kamu pernah merasakan kekosongan? Perasaan yang benar-benar kosong, tak hanya sekadar hampa. Perasaan yang lebih dari kehampaan. Hatimu diserang kekosongan itu. Apa kamu pernah merasakannya? Cukup rumit menjelaskan bagaimana aku mulai merasakan ini. Seperti sesuatu di dalam dirimu ditarik keluar, diambil secara paksa, dirampok, dijarah habis-habisan, energimu serasa tercabut keluar. Seperti ada yang merampasnya. Habis, kamu merasakan mati rasa yang begitu ekstrim. Begitu intens sehingga nyaris saja hatimu tak lagi mampu merasakan emosi apapun, kecuali kekosongan itu sendiri. Kamu hanya bisa bergeming, kamu memilih melepaskannya, walau sebaliknya, hatimu masih tak ingin melepaskan. Perasaan ketika intuisi-intuisi bodoh itu mempermainkanmu, mencoba memberikan dua pilihan tersulit. Hingga jika kamu memilih satu di antara keduanya, maka hasil yang akan kamu dapat adalah sama dengan ketika kamu memutuskan untuk tidak memilih. Serba salah. S

Mencintai Itu TOLOLITAS (M.I.T)

Antares Avrama's Mind Orang-orang bersikeras hidup di dunia nyata, walau mereka tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Sementara beberapa minoritas, seperti aku, telah lama menyerah untuk hidup berteman kenyataan. Rasanya lebih mudah bernapas dalam dunia yang aku ciptakan sendiri, walau aku tahu dunia yang seperti itu tidak pernah ada. Dan mungkin saja hanya diriku yang bisa terus hidup di dunia itu, tidak dengan mereka di sekitarku, yang menganggap semua pemikiranku hanyalah fiktif belaka, dan jika terdapat kesamaan dalam hal apa saja maka semua itu adalah kebetulan semata. Tidak! Ini semua bukan kebetulan. Apa sebenarnya esensi dari suatu ide tentang kebetulan, hingga mereka mengimaninya sebegitu kuat? Percaya bahwa kemustahilan mampu mengubah kesengsaraan menjadi bahagia. Menurutku mereka semua sudah gila. Bahkan di dunia yang aku ciptakan sendiri tak ada hal-hal cengeng semacam kebetulan. Karena segala hal yang aku lihat lebih dekat, aku dengar lebih seksama, d