Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Teror

Akal menepis tuntutan Berteduh dari derasnya hujan hujatan Yang tetes-tetes normanya menusuk pori-pori Desau-desau ritmenya mengikis kulit ari Tempoku tak sejalan dengan iramanya Melambat, serupa keran mampat Petir menyambar, asaku pergi menginjak duri Tak acuh akan percik pola pikir yang mengotori harga diri Akibat gilasan repet ban ambisi Waskita berjinjit, anggai mengernyit Idealisme belum sembuh, egoisme masih kambuh Falsafahku terhimpit, filsafatku terjangkit Teori-teori bestari hilir mudik dalam kanal eustachius Menyisakan ampas lengket serupa cerumen Sebentuk antibodi penghalau dalih, penawar racun kabar angin Kilat menguar bak pendar dari titik zenith Seperti pelangi, ah, tidak, bukan pelangi Pendar menembus titik nadir Menciptakan gelombang bah Melengkung, menggulung gunung obsesi, lisan kurang budi, lagi akal penuh ambisi Dihempaskan, dimuntahkan kembali Asaku lari, kakinya berdarah Bekas tancapan duri masih tinggal abadi *** Oleh : Dymar Mahafa

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Gambar
Emansipatif. Satu kata yang cukup mewakili sepak terjang seorang Nur Hidayati, atau yang akrab disapa Mbak Hiday Nur ini, dalam dunia literasi serta tulis-menulis. Bagaimana tidak? Berjuang, berkorban, memperjuangkan serta tak henti-hentinya menginspirasi sahabat-sahabat di sekitarnya, khususnya sahabat-sahabat di komunitas menulis One Day One Post (ODOP). Dan dari komunitas ODOP tersebut awal mula kami beramah-tamah melalui daring. Awal mula saya mengenal seorang Hiday Nur, my forever inspirator .  Jiwa-jiwa Kartini serasa hidup kembali di jaman  now ketika   mengenal beliau lebih dekat. Bisa dikatakan bahwa Mbak Hiday ini adalah pejuang emansipasi penulis, setelah Bang Syaiha sang pendiri komunitas ODOP. Ya, Anda sedang tidak salah membaca dan saya sedang tidak salah mengetik. Emansipasi penulis. Proses memperjuangkan pelepasan diri para penulis pemula (seperti saya ini) dari kedudukan sosial keilmuan tentang literasi dan kepenulisan yang rendah atau dari

Beda Persepsi

Di tengah kegilaan aku masih mengaku waras Sementara di tengah kewarasanku, suara-suara itu bersikeras mengataiku gila Lebih baik jika aku menjadi tuna rungu saja Ada apa dengan segala bentuk kegilaan duniawi? Tak ingatkah bahwa masih ada kegilaan surgawi yang menghubungkan diri dengan Sang Pemilik Ruh ini? Tak inginkah bertegur sapa dengan kegilaan yang lebih abadi? Daripada sibuk merepotkan diri dengan kewarasan yang apati Tetapi menghirup napas di antara roda kegilaan yang hakiki *** Kediri, 18 Januari 2019 Dymar Mahafa

Kekosongan

Ketika lamunku menyendiri, malamku terhenti Seperti sudah lama sekali tak lagi ada ilustrasi Waktu berlari, mencuri lembar-lembar putih tanpa mimik lagi ekspresi Gerak jemariku hambar, tak berdaya melukis emosi *** Kediri, 16 Januari 2019 Dymar Mahafa

Telah Terbit: R.I.P (rest in promise) -- sebuah novel oleh Dymar Mahafa

Gambar
Puji syukur kehadirat Tuhan, karena pada akhirnya Tuhan mengijinkan aku untuk menjadi seorang penulis yang sesungguhnya. Bukan lagi sekadar angan-angan. Jadi biar kuperkenalkan kepada kalian buah pemikiran pertamaku yang berhasil terbit sebagai buku solo, sebuah novel dengan judul R.I.P - Rest In Promise. Sejarah pembuatan novel ini tak lepas dari satu alasan mengapa tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk bergabung di grup menulis online One Day One Post. Bisa kalian kulik ceritanya di tautan berikut: The Reason (alasan gabung One Day One Post batch 2) Sebagai penulis pemula, tak banyak yang bisa aku hadirkan kepada para pembaca. Dan sudah pasti tulisanku masih sangat jauh dari kata sempurna. Bagaimanapun, dari kelahiran buku solo pertama ini, paling tidak aku berhasil membuktikan bahwa menciptakan impian dan mewujudkannya adalah sesuatu yang menakjubkan. Bahkan orang biasa sepertiku, yang dulunya tidak pernah kepikiran untuk jadi seorang penulis, bisa mewujudkan

Membasuh Muka Kenangan

Dalam hening malam, Angan merekam bisik-bisik alam Sengau batin meracau, mampukah ia menghapus kelam Seperti fajar menggantikan petang, seperti senja menghidupkan lampu temaram Pun tawa yang menghapus muram, Kasih mengobati dendam, Nyala merangkul padam, Canda membasuh diam, Salep pereda lebam, Juga kokok ayam Dalam angan-angan malam, Sosokmu berpendar, silau serupa pualam Mustahil bisa kugapai, bahkan tidak untuk sekadar ada dalam genggam Kuputuskan tenggelam dalam cerita-cerita hingga mata terpejam Pasir yang terlalu lama digenggam Sudah waktunya ia kembali mencumbui alam Pun warna putih menggantikan hitam Seperti sudah seharusnya petang berjumpa terang Cerita-cerita itu telah pulang ke peraduan Seperti matahari ditelan lautan Seperti samudra menelan kapal selam Seperti jasad yang ditimbun petak-petak makam *** Kediri, 14 Januari 2019 Oleh: Dymar Mahafa

Hanya Celoteh Soal Tata Aturan

Pernah tidak terpikirkan soal mengapa hukum serta peraturan diciptakan? Hingga segala tingkah dan perilaku yang dilakukan orang-orang di dalam suatu masyarakat harus taat dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Membentuk pola pemikiran yang homogen; semua dibentuk melalui pola-pola yang sama, atau memang sengaja diserempakkan. Cara makan, minum, berpakaian, bersolek, berniaga, berbelanja, berkendara, berolahraga, berkomunikasi dan berbahasa, serta bergaul dengan sesama masyarakat, diatur juga di dalam suatu tata peraturan. Sampai-sampai segala hal yang berkaitan dengan masyarakat yang berdiam di suatu negara harus melaporkan segala aspek dalam tiap inchi kehidupannya. Kelahiran bayi dan catatan sipilnya. Pernikahan dan segudang birokrasinya. Pembelian tanah dan pajaknya. Pengukuran wilayah dengan segala hak-hak prerogatifnya. Hingga kematian juga harus dilaporkan sebagai pelengkap menurunnya data statistik pada angka kematian di suatu negara. Seolah-olah masyarakat serasa dipaksa t

Sebait Racau: Hidup Ini Ya Begitu-begitu Saja

Semakin lama aku hidup aku menyadari sepenggal arti kehidupan. Kau boleh menuduhku mengada-ada, atau menudingku mengarang frasa supaya dicap punya wibawa. Terserah saja. Apa beda aku dengan mereka yang sama-sama punya nyawa, sama-sama diberi kehidupan, bukan? Kehidupan ini sejatinya memang begitu-begitu saja, dan terkadang tak ada pilihan lain selain membiarkannya lewat begitu saja di depan mata. Melangkah, merintis, pencapaian, sukses, dihentak masalah, lalu jatuh. Terus begitu-begitu saja siklus kehidupan ini. Tidak bisa dibilang seru, tidak juga membosankan. Ya karena memang kehidupan ini ya begitu-begitu saja. Bisa jadi istimewa, dari sudut pandang siapa? Bisa jadi penuh duka, dari sudut pandang mereka yang papa. Bisa jadi penuh tawa, tergantung siapa dalangnya. Waktu terasa lenyap secepat kedipan mata. Walau sudah lama hidup di dunia, masih saja merasa seperti baru kemarin. Seperti baru kemarin aku lahir, tiba-tiba sudah dewasa saja. Seperti baru kemarin aku masuk taman ka

Filosofi huruf 'R'

Semua istilah tentang hal-hal yang menggugah selera tak mesti berawalan huruf tertentu. Namun lain cerita dengan segala hal yang berawalan dengan huruf 'R', huruf yang terkadang susah sekali diucapkan dengan benar dan tepat. Sampai-sampai ada yang menciptakan bait lagu tanpa huruf 'R'. Hal-hal yang menggugah selera tentu harus yang mampu menggetarkan lidah, seperti huruf 'R' dalam diksi : Rantang, misalnya. Yang ketika membayangkannya saja. Lidah sudah banyak memproduksi saliva. Saking banyaknya, hingga lidah tak mampu membedakan mana rasa air mineral mana air liur. Rantang, sebuah benda yang difungsikan sebagai pendukung ritual makan manusia dikala mereka ingin membawa hal-hal yang menggugah selera lidahnya tadi menuju berbagai tempat tujuan karena tak sempat merapat pada ritual makan cepat (sarapan pagi). Kau tahu bentuk rantang? Benda yang disinyalir terbuat dari alumunium, baja, atau bahkan besi anti karat, memiliki lekuk tubuh tak serupa gitar