Sajak Perpisahan

Waktu aku masih lugu dan belum tahu tentang caranya bermain bekel, aku mengamati kawanku.

Dilemparnya ke udara bola bening dari bahan karet itu, kemudian ia lepaskan keempat buah biji bekel.

Gemerincing biji bekel yang menyentuh lantai pualam, sejenak mencuri perhatianku. Mengapa kau melemparnya ke lantai? Dengan naif ku lontarkan tanya itu.

Agar bola karet tetap bertahan di genggaman tangan, begitu katanya.
Salah satu dari dua memang harus dilepaskan, supaya satu hal yang utama tetap bisa dipertahankan.

Agak lama aku mencerna makna kata-kata itu dalam kepala kecilku.

Selang waktu berlalu, saat aku bermuram durja, aku memandangi langit dan laut.

Aku melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk kemudian aku sendiri yang menjawabnya. Namun tak kunjung lega gundah itu.

Sepasang kaki yang telanjang, berkilau tertimbun butir-butir pasir halus lagi putih. Aku duduk menopangkan dagu di atas lutut.

Segenggam pasir saling berjubal mencari tempat di sela-sela buku tanganku. Aku mencengkeramnya erat. Hingga telapak itu terkepal begitu ketat.

Satu per satu butiran-butiran halus lolos melalui celah-celah jemariku yang terbuka seiring kepalan tangan yang mengerat. Aku termangu. Mengapa pasir tak suka tinggal dalam genggamanku?

Aku melonggarkan genggamanku, dan ku sadari bahwa telah ku temukan satu jawaban di dalam butiran itu.

Jika untuk mempertahankan bola bekel aku harus melepas biji bekel, maka untuk mempertahankan pasir dalam genggaman, aku hanya perlu melonggarkan genggamanku. Hanya sesederhana itu. Namun lama sekali bagiku menyadari makna itu.

Kadang dua pilihan bisa tiba-tiba datang menyapa hari-hariku, dan aku harus menentukan satu. Melepaskan satu yang lain untuk mempertahankan yang satu.

Kadang aku merasa sangat sulit menentukan mana yang harus ku pertahankan. Sungguh tak mudah bagiku karena aku tak pandai membuat keputusan.

Akhirnya, keputusanku adalah mempertahankan keduanya. Menggenggam keduanya dengan erat, agar tidak jatuh.  

Selang waktu berlalu, aku masih saja meyakinkan diri bahwa segalanya masih baik-baik saja. Namun sampai di titik tertentu, ku sadari kebodohanku. Aku sadar aku keliru. Keputusan yang pada akhirnya berbalik menjadi bumerang yang menghantam titik kesadaranku.

Satu per satu kengerian menyalamiku. Apa yang coba ku pertahankan hilang satu demi satu, seperti butir-butir pasir yang jatuh melalui celah-celah buku jemariku.

Kini, harus ku lepas butir-butir pasir selayaknya harus ku lepas keempat buah biji bekel, agar bola karet tetap bertahan dalam genggaman. Butiran pasir harus dikembalikan ke tempatnya semula. Meletakkan semua pada tempatnya. Walau sungguh, ini tak mudah.

Karena sesudahnya, aku sulit melupakan. Kemudian mencoba mencari satu pembenaran melalui alasan-alasan dalam belenggu keputusasaan.

***
Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori