Airport Proposal #5


#5
The Airport

Ngurah Rai, 28 Februari 2017
Enam bulan yang lalu…

“Iya, iya. Dasar cerewet.” Janta berbicara dengan ponsel pintar di genggaman tangan kirinya. Terpampang jelas wajah seorang gadis di layar smartphone itu. Sementara tangan kanannya sibuk menyeret sebuah kopor besar. Di saku jaket sebelah kanan tersimpan sebuah kado kecil untuk seseorang.

Gadis dalam layar yang kira-kira seumuran dengannya tengah berceramah masalah flight safety, kemudian disusul dengan beberapa nasihat basi. Walau sebenarnya itu penting, tapi Janta sudah bosan mendengar kalimat semacam ‘hati-hati di jalan,ya’ atau ‘jangan lupa kasih kabar setelah sampai di sana’ atau kalimat semacam ‘salam ya buat Bapa dan Lim’ atau kalimat yang lebih parah serupa ultimatum ‘jangan lupa oleh-olehnya ya, Ta. Awas aja kalo nggak’. Apalagi kalimat-kalimat itu keluar dari gadis ini. Sungguh, Janta mati bosan mendengarnya.

“Pokoknya kamu harus bawain aku oleh-oleh dari Kediri, ya, Ta. Awas aja kalo nggak.” kata suara di seberang.

Nah, kan? Apa ku bilang? batinnya.

“Oleh-oleh? Siapa yang mau pergi liburan?” suara laki-laki tiba-tiba menyela di belakang gadis di layar itu. Kemudian laki-laki itu bergabung dalam sesi video call istrinya. Membuat layar ponsel Janta penuh dengan dua wajah yang berjubel itu. Janta dengan telak mengabaikan mereka berdua. Janta hanya memandangi layar smartphone-nya dalam diam sambil sesekali melirik jalan di depannya. Ia tidak ingin menabrak orang-orang yang berlalu lalang di lobby bandara, atau tidak juga berharap ada tiang besi di depannya yang siap ia tabrak kapan saja.

“Ini, lho. Si Janta mau terbang ke Kediri. Katanya mau ngelamar bajang Jawa.” goda si gadis dalam layar. Gadis itu terbahak setelah mengatakannya. Apalagi sang suami juga turut campur mewarnai aksi olok-olokan dengan sebuah siulan menggoda. Janta tetap datar. Ia sepenuhnya mengabaikan pasangan partner-in-crime di hadapannya.

“Berisik.” umpatnya. “Orang mau berkunjung ke makam Bapa kok.” mendengar Janta yang mengelak, pasangan itu malah kian gencar menghujaninya dengan ‘ciee’. Janta sudah tidak tahan lagi. Sebaiknya ia mengakhiri sambungan video call itu sekarang juga.

“Udah deh, mending Bli Wasa urus Ayi aja tuh yang lagi ngidam. Kayaknya dia lagi pengen makan kulit durian sama minum air laut pakai es batu.” tabiat Janta yang tidak pernah berubah sejak dulu. Selalu saja melontarkan candaan sarkastis. Di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun.

“Sst! Ji Ta aku denger, lho. Ji Ta jahat.” Ayi berbicara mewakili suara bayi di dalam perutnya. Ekspresinya sungguh mengundang gelak tawa, tak terkecuali Janta. Wasa yang ada di sampingnya pun terpingkal. Bukan karena tingkah konyol istrinya, namun karena lebih tertarik untuk menanggapi guyonan sarkastis Janta. “Ampun lah kalau aku harus cari air laut segala. Kalau kulit durian sih gampang tinggal cari di pasar.”

Janta menyemburkan tawa. Itu yang paling Janta sukai dari kakak iparnya ini. Selalu memahami dan menghargai candaan pedasnya, kapan saja. “Thanks, Bli.”

High five!” sambar Wasa. Ia melakukan tos jarak jauh dengan adik ipar in crime-nya itu. Seketika Ayi cemberut. Namun kemudian ekspresinya berubah biasa saja dan malah senyum-senyum. Ibu hamil memang punya tabiat yang aneh.

“Udah ah. Aku tutup ya, Bli. Sumpek liat mukanya Ayi terus.” Janta telah sampai di depan layar monitor raksasa yang menampilkan sederet jadwal penerbangan hari itu. Hiruk pikuk bandara Ngurah Rai terlihat mulai ramai. Orang-orang berduyun-duyun dengan kopor-kopor mereka. “Tolong jaga Meme selama aku di Jawa.” pesan itu lebih ia tujukan kepada saudara kembarnya. Ayi mengedipkan sebelah matanya seraya menyatukan telunjuk dan ibu jari membentuk isyarat ‘OK’. Wasa mengangguk, “Pasti.”

“Salam ya, Ta, buat Bapa dan Lim.” kata Wasa sebelum sambungan ditutup.

Klik!

# # #

Janta terkejut melihat jadwal penerbangan yang beberapa detik lalu berstatus schedule kini tiba-tiba berubah delay. Beberapa orang di sekitar Janta juga mengeluhkan hal yang sama. Sebagian yang lain menggerutu namun tak mampu berbuat apa-apa selain menunggu.

Janta mendesah lelah. Ia berdecap kesal. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk membunuh waktu. Ia serasa mati gaya di Bandar Udara yang luas ini. Tentu saja ia bukan tipe yang gemar mengisi kebosanannya menunggu dengan cara sibuk ber-selfie. Janta kembali menghela napas lebih panjang dari sebelumnya. Ia menghenyakkan punggung di sandaran kursi tunggu bandara dengan gerutuan khasnya. Ia sungguh benci menunggu. Sepertinya ia terkena karma. Mungkin seperti ini yang gadis itu rasakan saat Janta memintanya untuk menunggu kedatangannya ke Kediri dua bulan yang lalu. Atau mungkin rasanya jauh lebih buruk dari menunggu delay pesawat terbang? Janta yakin rasanya sudah pasti berlipat kali lebih buruk dari menunggu delay sejam dua jam.

Janta memandangi layar smartphone-nya. Entah sudah berapa kali Janta mengecek whatsapp, kalau-kalau ada pesan baru yang masuk. Namun nyatanya nihil. Bodohnya ia. Apa yang ia harapkan? Apa ia berharap gadis itu akan menghubunginya lebih dulu, begitu? Janta pasti tengah bermimpi di siang bolong.

Telfon, tidak, telfon, tidak, telfon…

Janta pasti sudah gila sekarang. Apa susahnya sih menelepon seorang gadis? Ini lebih sulit dari mengerjakan 50 soal matematika, gerutunya dalam hati. Alih-alih menekan tombol call, Janta malah mengunci layar ponselnya. Digeletakkan begitu saja ponsel pintar itu di atas bangku tunggu bandara. Janta sengaja tidak memberi kabar tentang keberangkatannya ke Kediri kepada gadis itu. Ia berniat untuk memberitahu gadis itu segera setelah ia menginjakkan kaki di kota Kediri nanti. Tidak sekarang.

Janta melirik pergelangan tangan kirinya. Melingkar di sana sebuah automatic watch Seiko 5. Jam tangan langka pemberian almarhum ayahnya. Jam itu sudah sangat tua. Bahkan usia jam tangan itu lebih tua dari Janta. Sayang sekali, cara kerja jam tangan itu sudah tidak lagi optimal seperti dulu. Terkadang ia menunjukkan waktu yang lebih lambat dari waktu sebenarnya, kadang juga mampu bekerja dengan normal dan akurat. Apapun keadaannya, Janta tetap saja mengenakan jam tangan itu setiap hari. Lagipula tidak masalah jika jam tangannya tidak menunjukkan waktu yang akurat. Ia masih punya smartphone, yang bisa memberitahunya perihal waktu secara akurat kapan saja.

Jam menunjukkan pukul 09:59 WITA. Entah sampai berapa jam lagi Janta harus menunggu. Ia baru menunggu selama lima belas menit dan sudah mengeluh capai. Sungguh, ia benar-benar mati bosan di sini. Akhirnya, Janta memutuskan untuk pergi mencari sesuatu yang bisa dimakan. Apapun itu. Menunggu selalu mampu membuatnya lapar. Atau karena ia memang mudah sekali lapar setiap lima belas menit sekali? Terserah saja.

Belum sampai Janta bangkit dari duduk, ponselnya meraung. Nada dering jazz klasik melantun cepat disusul layar yang berkedip-kedip. Terbaca sebaris nama yang tak asing lagi. Janta menggeser tombol hijau dengan malas sembari bangkit dan menyambar gagang kopornya. Ia berjalan sembari menjawab, “Halo.” suaranya terdengar malas dan serak seperti baru bangun tidur.

Langkahnya tiba-tiba terhenti setelah mendengar penuturan dari seberang telepon. Air muka Janta berubah pucat. Perutnya tiba-tiba terasa mual. Tenggorokannya serasa kering. Seolah ia baru saja menelan duri bulat-bulat. “Aku segera ke sana.” kemudian sambungan ditutup disusul Janta yang terbirit ke luar pintu bandara. Tersirat kepanikan di wajahnya.

# # #

Rion:
Do you remember when I told you that I’m gonna come to Kediri on February?
Received 11:26.

Eliane:
Of course. Why? Do you wanna postpone that?
Sent 11:30.

Rion:
I don’t know why but I’m afraid so. My permission was rejected for some reason by the office, so yeah I’m gonna postpone that.
Received 11:32.

Eliane:
Doesn’t matter. You must be crazy busy with your business over there. It’s fine.
Sent 11:33.

Rion:
It wasn’t about busy or not.
Received 11:34.

It’s about the permission.
Received 11:34.

I wasn’t able to apply my permission because…
Received 11:35.

It was complicated.
Received 11:35.

That was my fault. I didn’t plan it very carefully.
Received 11:36.

Eliane:
It’s okay. Don’t push yourself too hard. I really understand your situation. Working isn’t a joke. So I believe that would be hard to ask for any random permission.
Sent 11:42.

So what you gonna do with your plane ticket then? Sell it to someone? Or maybe no.
Sent 11:43.

Rion:
I only booked it, I didn’t buy it yet. But still, It was a wasting time action.
Received 11:47.

Eliane:
That’s good. What a relief, then. No problem.
Sent 11:48.

Rion:
Yeah…
Received 11:50.

               
Eliane menghela napas panjang. Ia tengah berbaring santai di tempat tidurnya yang nyaman sambil membaca novel Sherlock Holmes ketika sebaris chat whatsapp dari Rion muncul di layar ponsel pintarnya. Seperti yang sudah ia duga jauh-jauh hari. Satu hal yang ia takutkan, hari ini terjawab sudah. Laki-laki Bali itu batal datang menemuinya. Lebih tepatnya menunda kedatangannya. Namun apa bedanya? Eliane menganggapnya batal.

Tapi ia senang Rion menyesal dan menyalahkan diri sendiri bahwa itu memang kesalahannya. Namun coba lihat. Tak ada satu pun kata maaf yang Rion ucapkan padanya atas penundaannya itu. Bukankah itu artinya Rion tidak menganggap janji itu penting? Dan bodohnya Eliane sudah bersedia menanti dengan patuh seperti seekor anjing. Dua bulan bukan waktu yang singkat, bukan? Penantian selama dua bulan terakhir dianggap apa oleh Rion? Lelucon? Eliane bukan mesin ATM atau sebatang pohon atau seekor anjing yang rela menunggu dalam jangka waktu yang lama hanya untuk dianggap sebagai lelucon tanpa arti.
               
                Tapi kata-kata apa yang dikirimkannya barusan? Eliane memilih untuk menutupi kekecewaannya dengan memaklumi keadaan Rion. Ia sungguh tak bisa memahami jalan pikiran laki-laki Bali itu. Tapi ya sudahlah. Memang Eliane siapa? Tidak ada ikatan khusus antara mereka berdua, bukan? Eliane merasa tak berhak menghakimi laki-laki itu. Ia tahu diri saja.

# # #

“Apa yang terjadi, Yi? Kenapa tiba-tiba…” Janta tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Ia berusaha kuat walau rasanya ingin menangis. Laki-laki tidak boleh terlihat cengeng.

Ayi masih saja menangis dalam dekapan Wasa. Tidak biasanya Ayi menangis hingga tersedu seperti ini. Mungkin karena ia saat ini tengah mengandung. Pengaruh bayi dalam kandungannya. Kalian tahu kan, ibu hamil adalah makhluk paling sensitif. Bisa tertawa tiba-tiba, namun juga bisa menangis secara mendadak. Mirip pengidap bipolar. Sangat mudah menangis karena masalah sepele. Apalagi jika dihadapkan dengan masalah yang besar dan serius, sudah pasti ibu hamil akan mirip seperti orang gila karena mengidap tekanan batin.

“Kita masih menunggu hasil pemeriksaan dari dokter, Ta. Tunggu aja di sini.” terdengar nada khawatir dalam kalimat Wasa.

Janta berhasil sampai di Rumah Sakit Umum Bhakti Rahayu Denpasar setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat puluh lima menit dengan bis. Ia masih berusaha menenangkan diri dan mengatur napasnya yang tidak beraturan itu. Janta terduduk begitu saja di bangku tunggu Rumah Sakit di samping Ayi dan Wasa. Wajahnya masih pucat.

Ketika seorang yang mengenakan jas putih-putih keluar ruangan, Wasa segera bangkit. Janta menoleh seraya memegangi kakak perempuannya yang tak kuasa berdiri.

“Bagaimana hasilnya, Dok?”

Janta bergidik setelah mendengar penuturan dokter itu. Perasaan takut, khawatir dan lelah serasa berkumpul di atas pundaknya yang rapuh. Ia tak sanggup. Rasanya Tuhan sudah keterlaluan. Apa Tuhan memberinya cobaan yang tak sanggup ia tanggung? Apa ini yang disebut tidak adil? Ini sungguh di luar kendalinya. Beban perasaan yang nyaris sama seperti yang ia rasakan ketika ayahnya terbaring sakit di Rumah Sakit karena vonis penyakit jantung dua tahun lalu. Dan kini ia harus kembali merasa takut karena keadaan ibunya yang mulai berubah, tidak seperti dulu lagi. Segalanya berubah. Tidak ada yang sama lagi. Waktu memang kejam. Namun ironisnya, itu satu-satunya hal yang tersisa yang bisa Janta harapkan saat ini.

Seberapapun banyaknya waktu yang ia punya, rasanya tidak akan pernah cukup bagi Janta. Dan selama ini ia sadar, sudah cukup banyak waktunya yang terbuang sia-sia. Sudah cukup banyak waktu yang terbuang hanya demi mengejar hal-hal semu, dan malah mengabaikan hal-hal krusial dalam hidupnya. Prioritas, sepertinya Janta telah lupa definisi dari kata itu. Selama ini ke mana saja prioritasnya itu berada? Gemuruh petir serasa menyambar kepalanya. Membuatnya menyadari satu hal. Sekarang ia mengerti mengapa Tuhan menggagalkan rencana penerbangannya hari ini. Tentu saja, waktu tak bisa kembali dan diputar sesuka hati. Bodohnya Janta yang baru menyadarinya sekarang. Sungguh bodoh. Bodoh sekali.

# # #

Ubud, 28 Agustus 2017

Sekelebat kejadian enam bulan yang lalu tiba-tiba terputar ulang dalam kepalanya. Janta kembali terpukul. Sudah pasti karma kembali mempermainkan perasaannya. Perasaan takut itu kembali mencekiknya. Menghujam jantungnya bagai ratusan pisau belati tak kasat mata. Menusuk-nusuk kulit ari hingga menembus tulang belulang. Pikirannya mendadak kacau. Sekusut benang tak terurai. Seperti saat ayahnya terbaring sakit dan meninggal dua tahun yang lalu. Seperti saat ibunya yang tiba-tiba divonis mengalami gejala stroke ringan enam bulan yang lalu. Perasaan yang sama. Segala rasa dan gelenyar-gelenyar aneh serasa kembali menyapanya dengan ramah senja ini.

“Halo? Eliane? HALO?”

Sekali lagi Janta mencoba menyerukan nama gadis itu dengan putus asa. Walau ia tahu bahwa gadis itu tidak mungkin akan menjawab teleponnya saat ini. Suara bising di seberang telepon kini mendadak ricuh. Janta bersikeras untuk tidak menutup sambungan telepon. Janta berniat mencuri dengar apa yang terjadi selanjutnya. Ia penasaran setengah mati. Walau ia tahu, pasti terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu sekarang. Namun memangnya ia bisa melakukan apa? Tidak ada. Janta masih sadar di mana ia berpijak sekarang.

“Mas Mbak tolongin…” suara seorang gadis masih saja terdengar dari seberang. Entah suara siapa itu, Janta terus saja mencuri dengar.

Suara-suara dalam kerumunan kini mendominasi. Dan tiba-tiba seseorang dalam kerumunan berkata, “Cepat panggil ambulan!” disusul kemudian suara derap kaki yang bersahutan.

Janta sudah tidak peduli lagi di mana ia berada. Walau saat ini ia berada di pelataran teras rumahnya, pikirannya berkelana jauh ke kota di seberang lautan. Derap dalam dadanya masih saja bergemuruh. Kepalanya serasa berdenging. Janta merasa sedikit pusing. Perutnya terasa mual sampai-sampai ingin muntah detik itu juga. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Serasa ada ratusan duri yang tersangkut di sekeliling tenggorokannya. Rasanya begitu aneh. Kedua matanya mungkin saja sudah berair sekarang, namun setetes air mata enggan keluar.

Janta tetap saja mencuri dengar. Perlahan ia mengambil napas dan membuangnya. Namun hal itu hanya menambah rasa gugup dan takutnya saja. Sama sekali tidak berhasil membuat dirinya tenang. Suara kemerosak di seberang telepon tiba-tiba membuatnya waspada. Tanpa sadar ia berucap, “Halo?”

“Halo,” suara sembab seorang gadis. Isakannya terdengar jelas di telinga Janta.

“Halo? Apa yang terj…”

“Saya Vieri. Temannya Yana. Tolong segera hubungi keluarga Yana sekarang juga. Eliane mendadak pingsan dan sedang dibawa ke klinik terdekat.” gadis itu menyebutkan nama salah satu jalan dan nama daerah tempat kejadian perkara berada, kemudian menutup sambungan telepon setelah mengucapkan terima kasih.

Janta mematung. Badannya serasa kaku di tempat. Pandangannya masih kosong. Tak fokus ke arah mana ia tengah meletakkan pikirannya. Nada ‘tut’ panjang masih saja terdengar dari seberang. Janta menjatuhkan ponsel itu. Daya dalam raganya mendadak seperti dicabut keluar. Keluarga Eliane? Bagaimana ia bisa memberitahu keluarganya? Ia bahkan tidak mengenal keluarga gadis itu. Pingsan? Apa keadaannya begitu parah? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa gadis itu pingsan? Rasanya Janta bisa gila karena terus saja menduga-duga kemungkinan terburuk dalam kepalanya.

Hubungi sekarang juga.
Eliane mendadak pingsan.
Tolong hubungi keluarga Yana sekarang juga.
Sekarang juga…
Sekarang juga…

Kalimat-kalimat itu yang terus saja terngiang. Meninggalkan gema dalam kepalanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Janta mengutuki dirinya sendiri. Ia benci keadaan ini. Jika enam bulan yang lalu ia bisa langsung menuju Rumah Sakit tempat ibunya dirawat, lain halnya dengan situasi ini. Tidak mungkin Janta bisa sampai di kota tempat gadis itu tinggal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kecuali jika ia mampu ber-disapparete seperti penyihir dalam kisah yang ditulis Nona Rowling, pasti sudah ia lakukan sejak tadi. Lagipula, ia juga tidak punya kemampuan berteleportasi. Argh tidak, tidak, bukan waktunya memikirkan hal-hal konyol sekarang, gerutunya kesal.

Meme, tyang jadi terbang ke Jawa besok.”


# # #
(to be continued…)


Bahasa Bali :
1. Aji / Ji = panggilan Bali untuk paman/om yang usianya lebih muda.



Komentar

  1. Namanya unik-unik ya kak πŸ˜€. Dapet pengetahuan baru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak sudah mampir baca... 😊

      Hapus
  2. Mbak Dymar emang selalu keren dengan cerita fiksinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aih, jadi malu. πŸ˜†
      Makasi banyak mbak lisa udah mampir...πŸ˜‰

      Hapus
  3. Alurny ceritanta keren euy, meski pas awal-awal agak bingung. Video call dengam gadis tapi kok punya suami. Hehehe.

    Semangatt mbak, aku pengen lho bisa nulis fiksi gini. Keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe terima kasih mbak nurul sudah mampir baca... semangat 😊 yuk mbak, tulis fiksi juga.

      Hapus
  4. Bali - Kediri, wah, ada cerita apa dibalik dua kota itu *kedip-kedip

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asli ini cuman fiktif kok mbak nis... 🀣

      Hapus
  5. Ahh bingung mau bilang apa, fiksi oh fiksi

    BalasHapus
  6. Kayaknya aku harus baca dari awal deh wkwkk..

    BalasHapus
  7. Aku kaya lagi baca buku novel yg pro banget hihi

    Btw, aku belum paham alurnya mngkin karena nggak dari awal kali yak wkwkw

    Anyway, salken dari Iput, newbie! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak iput. Salam kenal balik ya. 😊

      Terima kasih sudah mampir..

      Hehe insya Allah lagi otw menuju pro. πŸ™

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain