Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Aturan Meja Makan

Gambar
Sepinggan nasi goreng tersaji di hadapanmu Kau kikis seujung sendok lalu melahapnya begitu lamban Tidakkah kau lapar? Tak perlu betingkah semanis itu untuk menyenangkan orang-orang Kau sisihkan tiap irisan cabai merah Hanya karena kau tak menyukainya Sampai hati kau meletakkan mereka di tempat sampah Tidakkah kau terlalu berlebihan? Tapi aku tak menyukainya, racaumu bersikukuh Kau makan seperti sedang menghitung butir nasi Makanlah dengan lahap, nikmati Tak usah merisaukan komentar orang-orang, atau merasa bersalah pada diri sendiri Kau hanya membuang waktumu jika begini Sesekali makanlah bersama mereka Yang kau percaya, yang maklum dengan semua tabiat itu Biarkan mereka mendengar suara denting sendok garpumu Biarkan mereka menikmati waktu mereka bersamamu Biarkan mereka mengetahui sisi lain dari dirimu Biarkan mereka menerima dirimu sebagai kamu Kediri, 31 Maret 2018. 17:31 Oleh: Dymar Mahafa

Semanggi Daun Empat

Gambar
Renta rasa tak bernama terselip di antara detik-detik yang terus berdetak Seolah meninggalkanku meringkuk bersama kesunyian Angan penuh sesak akan andai dan tanya tanpa jawaban Sebersit kesedihan atas nama kerinduan membunuhku perlahan Entah sudah sekian purnama Entah sudah berapa puluh kali sang surya muncul dan tenggelam Siang yang hambar atau malam yang penuh air mata Entah sudah berapa kali namamu terdaras dalam doa Aku marah, anganku yang serakah Gelisahku yang berkejaran Tanda tanyaku yang terlampau besar Air mata tak ubahnya hujan deras semalaman Apa kau nyata, atau hanya ilusi semata Raga tak ubahnya rumah kosong yang diperjual-belikan Alih-alih menginginkan pemilik yang pantas, ia perlahan rapuh dalam penantian panjang Hingga jadilah ia si buruk rupa Yang tua, tak terawat dan catnya mengelupas Masih pantaskah ia berharap Masihkah ia diinginkan Masihkah ia berharga Akankah calon pemilik menyukainya Sudikah calon pemilik merawatnya kelak Hingga ia bukan

BEBAS

Gambar
Aku tak lagi berdiri di persimpangan jalan Yang gelap, mencekam, tiada berujung Aku tak lagi menyendiri bersama kesunyian Yang cacat, bias, meretas pias Bukan waktu yang tepat tuk tanya mengapa Bukan waktu yang pas tuk berkoar tentang jalan buntu atau jalan pintas Adalah detik saat aroma wangi udara menari indah di atasku Adalah ketika kaki berayun dan suaraku memekik, aku bebas! Kediri, 30 Maret 2018. 09:22 Oleh: Dymar Mahafa

Lotus

Gambar
Jejak lembaran daun terserak Serupa batu loncatan Dalam serangkaian gambar diri di atas air kolam Kecipak kehidupan berenang-renang di bawah naungku Makhluk hijau lumut melompat-lompat, menempelkan kaki selaputnya pada tulang daunku Menjejak, mencari keseimbangan Mentari begitu ramah hari ini Menyalamiku sebagai kawan lama Air lumpur, sahabat karib Di tempat keruh penuh penyakit, aku tumbuh Di atas air tenang dan kotor, aku hidup Aku hidup namun seolah mati Mereka menganggap diriku kotor dan tidak berharga Namun tenggelam, bukan takdirku Betapapun buruk rupanya tempat aku dilahirkan Aku bisa tumbuh dengan baik Hidup dengan cantik, jiwa yang bersih Berbagi keindahan bagi sekitarku Bertahan di tengah kotornya caci maki, lagi gumpalan penyakit hati Kediri, 28 Maret 2018, 08:52 Oleh: Dymar Mahafa

Gelebah

Berangkat dari lamun bayang-bayang biru masa silam Kecipak kaki menjejak butir bening samudra lara, duka nestapa Deru ombak nyaris menenggelamkan kapal asa pengembara tepian Pengemis harapan, pemulung ketiadaan Gelegar guntur pertanda langit sedang murka Atap hitam pekat terbelah kilat Denting garpu tala seakan menghalau lamun senja Kabar lintas darat tak ubahnya kicau penyulam ruam Para penyamun kabar gembira Sendu menyapu bahagia Sepi merangkul hampa Rindu akan kemuskilan Bagai pelukis tanpa kuas dan kanvas Bagai pemusik kehilangan dawai Merpati dengan sayap-sayap patah Angsa yang sekarat Kelopak mawar yang mengering, tersapu angin Kediri, 25 Maret 2018. 01:00 Oleh: Dymar Mahafa

Jemu Rutinitas

Dan padat tugas menginterupsi lamun Tak banyak ruang untuk jiwa pengembara dunia tak berbatas Jemu Detik-detik berganti menit Waktu bagai putaran gasing Namun senja bermurah hati Bulir-bulir hujan mengantarku ke dunia mimpi Aku larut dalam buai selimut persegi Kediri, 22 Maret 2018. 18:46 Oleh: Dymar Mahafa

Sepenggal Pagi yang Tak Biasa

Gambar
Aku bernapas, sejuk partikel embun Mengisi dinding-dinding sunyi dalam dada Mencoba meresapi ritual mukadimah fajar dan dini Bunyi merdu paruh-paruh mungil makhluk bersayap tertangkap pendengaran Seperti biasa, seperti rutinitas yang tak ada beda Seperti biasa, seperti hari-hari biasa, seperti hari-hari lusa Damai, seperti pagi-pagi yang biasa Aku menghela, masih saja aku kagum Berdiri di hadapan, kokoh tegak makhluk tinggi menjulang Kabut embun masih tak bosan menggodai sulur-sulurnya Membasahi helai-helai bagian teduhnya yang hijau Walau demikian kabut tak mampu menutupi kecantikan laku halus yang terpancar dalam dirinya Kepalaku selalu angkuh mendongak Seolah menantangnya adu kuat Namun ia senantiasa merunduk Seolah merangkulku dalam kerendahan hatinya yang bersahaja Rasanya diriku tenggelam dalam damai bersamanya Maksud hati membalas kemurahan hatinya Namun satu demi satu aksaraku menghilang Sebaris lisan coba ku tuturkan Curah rasa syukurku padanya Namun ta

Dari Sang Lembayung

Gambar
Ku berbisik pada kelopak bunga bokor Menitipkan sebait lisan untuk yang di seberang Tak perlu risau jika tak dapat kau pahami bait itu dengan logikamu Hortensia dengan senang hati bersedia mengulangnya hingga kau bosan Karena telah aku bisikkan bait itu pada seribu mahkotanya Ku harap bait itu bisa sampai di tanganmu Sebelum kelopaknya menua Kemudian mengering, berubah warna lalu gugur Karena kelopaknya yang lembayung bisa berubah kapanpun Entah menjadi merah jambu atau biru Tergantung dari caramu menempatkannya Jika ia telah sampai di istanamu Jamulah ia dengan air yang cukup Ingatlah untuk berhenti sebelum akarnya membusuk, kelopaknya layu, daunnya menguning lalu mati Hingga akhirnya bait itu hanya akan menjadi debu memori Membaur dengan udara dingin Lenyap disapu tetes kelindan hujan Hancur bersama amukan jago merah Kehilangan jejak karena terkubur bersama semut dan cacing Kediri, 20 Maret 2018. 19:58 Oleh: Dymar Mahafa

Hujan Kali Ini

Hujan kali ini agaknya sedikit berbeda Benakmu pasti bertanya mengapa Karena atap birunya kian pekat Lebih pekat dan gelap dari dasar lubang sumur Hingga tak dapat kau lihat celah surya biasa singgah Karena dirinya tengah meringkuk, disekap, diasingkan Para mafia awan yang kejam meminta tebusan pada pelangi Namun pelangi tak kunjung datang Karena pelangi adalah ronin Liar, tak sudi tunduk pada siapa atau apa Hingga surya harus rela mendekam lebih lama lagi Tapi berapa lama lagi? Jangan tanya aku Memang aku ini siapa Hanya manusia biasa Tak tahu apa dan mengapa Tuhan membuangku ke tempat ini Dengan hanya berbekal napas Awan memanggil kilat dan guntur Ia memerintahkan dua abdi itu untuk mengobrak-abrik atap biru Ada apa dengan semua kekacauan ini Kapan berakhirnya Lebih baik kau tetap diam Atau kau yang akan jadi korban mereka Biarkan mereka berbuat sesukanya Bukan salah mereka Karena mereka sama sepertimu dan aku Hanya sebagai utusan Memangnya apa lagi yan

Persimpangan

Aku berdiri di persimpangan jalan Dingin, gelap, dibelenggu keraguan Penglihatanku tak bekerja Firasat sesat sesaat, naluri pergi Apa keputusan harus dibuat? Seperti tak ada hari esok saja Seperti hakim memvonis terpidana saja Seperti aku hendak pulang ke rumah-Nya saja Aku berdiri di atas kedua lutut yang gemetar Seorang diri, tak ada siapa atau apa Menggigil, terluka, berdarah Bumiku berputar cepat Ataukah hanya kepalaku? Aku berdiri di persimpangan jalan Linglung, bicara sendiri seperti orang gila Hingga suara-suara itu menjelma dalam kepala Sampah sepertimu, lebih baik pergi saja Enyahlah! Kediri, 16 Maret 2018. 17:50 Oleh: Dymar Mahafa

Rumah Perca

Membangun sebuah rumah dari potongan perca Yang dinding-dindingnya disusun dari bata kesabaran Yang dipintal dengan semen kehangatan Yang atapnya didirikan dengan kasih dan canda tawa Yang pintunya selalu terbuka untuk kau pulang Yang jendelanya bisa memberimu udara kebebasan Walau hanya potongan perca Kau tidak malu karenanya Dan ia pun tak pernah mempertanyakan mengapa Dengan segala kemurahan hati ia menerimamu dengan tangan terbuka Jalan di depannya asri Pucuk merah mekar di sudut beranda Satu dua nyiur berjajar di samping kiri dan kanan Bahkan kau bisa mengintip langit serta laut lepas yang sedang bercinta Matahari terbit pun matahari senja Tak kan dibiarkannya kulitmu dibakar Sang Surya Tak kan tinggal diam dirinya kala hujan mencoba menyakiti tubuhmu Ia tak gentar kala guntur mengamuk Tak dibiarkannya angin mempermainkan rambut legammu Ia selalu setia, melindungimu tanpa jeda, tanpa aba-aba Kau sering duduk-duduk di berandanya Sesekali bersenandung lagu mas

Gambar Diri

Menumpuk Gunung perca dalam kamarku Perkamen sastra menghalangi pandangan Lembaran kosong pudar Pena biru terserak Dingin, aku terbatuk Debu kanvas menyeruak Membuatku sesak Goresan hitam dan abu-abu menjadi satu Serupa sepasang kekasih yang merindu Perlahan imajiku pergi Menjauh seakan tak ada lagi jalan kembali Rumahku bukan di sini Imaji itu memaki Ia bisa bicara, batinku ngeri Namun intuisi membabi buta Tak terima pada ilusi sepenggal memori Yang lebih memilih diam, pergi seorang diri Kediri, 11 Maret 2018. 17:42 Oleh: Dymar Mahafa

Risalah Dini

Apa kabar Lirihku pada dini Apa yang kau nanti? Fajar, lirih dini Baiklah biar ku temani Ku lihat embun menghampiri kami Tangan kami berjabat, saling menempelkan pipi kanan dan kiri Sejuk, lembut, murah hati Bagaimana perjalananmu kemari Tanyaku pada embun Fajar mengantarku, ujarnya berseri-seri Lalu di mana dia, tak nampak batang hidungnya Fajar segera datang, tunggulah sebentar lagi Ku nikmati kicau cici sembari menanti Tidakkah kalian lelah berkicau Sapaku pada sekawanan cici padi Namun mereka tak peduli Barangkali mereka lelah menanggapi Aku mengganggu konsentrasi Baiklah, mungkin lain kali Apa kabar Lirihku pada mimpi Bagaimana perjalananmu selama ini Tanyaku pada ikhtiar di balik kemudi Kakiku tersandung batu kali Namun aku bangkit kembali Syukurlah, kataku iri Apa kabar Jiwa pengembara bumi Tidakkah kalian lelah bersembunyi Serupa jarum dalam jerami Sudahlah, petak umpet segeralah diakhiri Tiba-tiba fajar menyodoriku buah tangan Dibungkus ra

Manusia Besi

Kadang napas ini memberat Mencengkeram, tercekik, tercekat Ini hidup atau kiamat? Bertarung melawan kegilaan dan dilema Menimbang dua perkara yang selalu saja berujung drama Tak pernah adil menentukan sikap Tak pernah kukuh dalam tutur kata Pagi nasi, siang jadi bubur Kemarau ironi berkepanjangan, kering kerontang Musim dingin praktis tak kunjung habis Alat tukar bernilai nominal Telah menjadi obsesi buta orang gila Gila kuasa, gila segala-galanya Etika moral tak punya tempat Ia tersisih, terasing di tengah keserakahan visi misi dan ambisi Tak ubahnya abu sisa tirani Apa fungsi edukasi? Hanya sebagai citra diri Ataukah bukti hitam di atas putih Yang bisa dijual dan dibeli? Pikiran mereka bebal, buta lagi tuli Dicuci, dimanipulasi, dikte sana dikte sini Seperti manusia besi Yang seolah diperlakukan tanpa rasa manusiawi Wahai penguasa petak bumi Seberapa tinggi hatimu ini? Semena-mena sepak terjangmu pada para pengais harapan semu Kau beri mereka kalung leh

Serpih Abu Simfoni

Penat Melihat jajar lembaran pohon dalam almari renta Penuh sesak serupa kerupuk dalam tabung kaca Berjejal, desak, tumpang tindih, rapuh, menua Penat Melihat baris aksara manusia dalam dunia maya media massa Penuh sesak serupa onggokan sampah minta dibakar, binasa Kotor, menumpuk, busuk Lelah Memaksa tubuh menegakkan benang basah Tunduk pada perintah, kehendak penguasa Bosan Mendengar satirnya tutur kata para penggila hormat serta kedudukan Muak Dengan semua laku angkuh orang berada Semena-mena meludahi papa Panggilan jiwa Entah kemana semedinya Entah mengapa bungkam seribu bahasa Kehendak hati yang seringkali berselisih dengan ego manusia Nurani mengumpati para bedebah Bersikukuh bertahan di tengah asa tak berjeda Akankah berakhir sia-sia? Penat, lelah, bosan Maksud jiwa bebas berkelana Menyusuri rimba kehidupan Tertawa lepas hingga kebas Merobek segala dikte hitam di atas putih Bebas, lepas ikat jerat pukat Berjalan menapaki garis haluan Indah bun

Hujan Bulan Maret

Bulan ketiga Mengapa hujan tak kunjung reda Sebab ia belum puas bercerita Tentang tangis awan-awan pekat Tentang air laut pasang yang mengamuk Tentang atap biru yang ternoda Tentang semesta yang lelah bekerja Tentang alam yang tua, ringkih, sakit-sakitan Rerimbunan jati bersuka cita Ladang tani menjadi telaga Ilalang memamerkan permadani hijaunya Di balik sayap mungil, pipit mendekap anak-anaknya Gema pantul kawanan katak menghadirkan orkestra Kucing tak sudi keluar rumah Sedang yang liar sibuk mencari atap sementara Karena hujan bulan ketiga Gadis kecil tertawa, menari, berpesta bersama hentak melodi tirai raksasa Ramai, bening, sejuk, berkilau, basah Gadis kecil basah kuyup Namun tawa tak jua senyap Sedang orang dewasa hanya menonton dari balik jendela kaca Mereka bergurau soal kemarau Atau mengeluhkan harga tiap siung bawang merah Sebagian yang lain melamunkan kapan berakhirnya Hujan bulan ketiga Seorang yang lain setia merapal puja Pelangi sedang dalam

Sudah Senja

Sudah senja Batinku bercengkerama Atap biru berubah jingga Semakin redup, temaram, tirai hitam membentang Sudah senja Kata senandung toa masjid Menyentak lamun sejenak Akan buaian melodi alam selepas fajar Koor para makhluk mungil di sela-sela rimbun mahoni tua Sudah senja Kau boleh bernapas lega Seperti hari punya jeda Jiwamu juga punya koda Ia rindu akan selimut hangat Ia cinta akan petualangan dunia mimpi Namun seringkali rindunya tak sampai Cintanya tak berbalas Sudah senja Senar gitar tua belum jua usang Meski jaman mencabiknya Tangan manusia mengotori tubuh ringkihnya Namun karat enggan mendekat Ia tetap kuat, nada suaranya pun hangat Sudah senja Titip salam untuk dini dan fajar Ku harap dapat berjumpa mereka Segera Kediri, 06 Maret 2018. 06:28 Oleh: Dymar Mahafa