Sajak Laut, Pohon dan Manusia



Di usiaku yang belia, aku selalu menyukai laut, dan aku tahu alasannya.

Di laut aku merasa bebas, memandang laut membuatku merinding bahagia, menghirup aroma laut yang serupa rasa oksigen, membuat seluruh indera larut dalam nyanyi riang penuh gurat-gurat sukacita, di sana aku juga bisa berteriak kencang seperti orang gila sampai lega.

Takjub, satu kata yang ku rasa mampu mewakilinya.

Laut, selalu aku membayangkan bisa berlari di atasnya dengan kaki telanjang, menarikan dukacita dalam topeng sukacita, menyanyikan dendang haru untuk semesta, bebas menjadi siapa saja yang aku suka.

Baiklah terserah, tapi itu kan dulu, sekarang lain cerita.

Laut yang jernih, berpendar biru kehijauan bagai permata, itu semua hanyalah apa yang tampak di permukaan.

Di titik kedalaman terdalam, laut tak ubahnya langit malam tanpa gemintang dan rembulan; gelap, pekat, sunyi, mencekam, membunuh nyali siapa saja, jangan berani coba-coba masuk ke dalam sana tanpa bekal dan persiapan apa-apa.



Di usiaku yang setengah dewasa, saat khayalanku diruntuhkan dengan logika dalam realita, aku mendapati bahwa hamparan air tak serupa hamparan tanah, kakiku bisa saja terjerembab masuk ke dalamnya jika aku tak pandai berenang.

Tubuhku bisa saja hilang ditelan amuk ombak, atau juga dimangsa predator laut seolah tubuh ini tak lebih daripada onggokan daging dan tulang-belulang tanpa rasa, tanpa karsa, tak punya asa apalagi cita-cita.

Mengerikan, hanya itu satu kata yang aku rasa cukup mewakili tabiat liarnya.

Ku tarik satu kesimpulan bahwa ternyata selama ini aku telah salah menilai laut sebagai kawan, sebagai sumber menggapai angan, walau memang di sana berlimpah sumber pangan dan mata pencaharian, namun tidak untuk sepenuhnya dijadikan panutan, bukan?



Di usiaku yang masih suka memanjat pohon buah seri, aku yang naif, yang masih saja menangis setiap kali jatuh dari sepeda.

Selalu terpatri dalam angan kecilku yang kekanakan, inginku menjadi seperti pohon itu saja.

Yang mampu berdiri tegak, tegap, kokoh, keras, kuat, dan perkasa, menantang sang mentari, melawan angin utara, peneduh lingkungan sekitar, senantiasa memberi sumber kemanfaaatan bagi makhluk hidup, penghasil udara bersih dan penampung CO2.

Tanpa pernah tahu satu realita tentang tragedi kapak raksasa serta raung bising gergaji mesin yang kapan saja bisa mengancam keberadaanku, kehidupanku, bahkan kehidupan teman-temanku sesama pohon.

Siapa sebenarnya ide dibalik tragedi mengerikan ini? Tentu saja tak bisa ku temukan satu jawaban yang ingin ku dengar di dalam kepalaku yang naif lagi buta aksara.



Sekali lagi, aku-yang-naif itu kini menamparku.

Aku tak sudi menjadi sebatang pohon, yang hanya dirampas manfaatnya lalu dilupakan, yang hanya berdiri diam tanpa bisa melawan ketika manusia dengan kuasa mencanangkan ide gilanya, berulang kali melantangkan “Tebang!”, tanpa menanam bibit-bibitku yang baru.

Aku ingin menjelma menjadi ide itu sediri, namun dalam warna yang lain. Ide gila dibalik tragedi gergaji mesin itu harus segera dijebloskan ke dalam panti rehabilitasi kejiwaan, mereka perlu dirawat intensif di sana, setidaknya dalam jangka waktu yang lama.

Sudah waktunya bagi ide yang telah menewaskan berjuta-juta jantung kehidupan, merasakan akibatnya.

Lihatlah di sana, bencana, bencana, dan bencana, tak kunjung ada titik terang, sekumpulan manusia berpijak dengan gusar di satu benua, mereka telah lama menahan derita, hanya karena cetusan ide gila sok kuasa.

Biar saja, biar para pengide itu tahu rasa, biar mereka tidak sekedar menjadikan ide sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi, merampas hak-hak perseorangan, menjadi individu tamak, jumawa, lagi hilang akal.

Ide sejatinya ada demi kemanfaatan bersama, kebaikan sesama, alam dan seluruh isi di dalamnya.



Saat usiaku tak lagi setengah dewasa, mataku terbuka, kali ini nyalang.

Ku telan bulat-bulat pahit getir ampas kengerian tanpa bisa memuntahkan kata-kata.

Bahasa seolah sudah tak bisa mendefinisi makna fakta, betapa isi tak banyak dianggap penting dari sekerat cangkang pembungkus yang mengkilap, namun keras.

Alih-alih melindungi isi, cangkang keras itu justru seolah menutupi bongkah-bongkah inti sari, menghalangi terkuaknya kebenaran yang terkandung di dalamnya.

Menjadikan definisi aku menjadi dia, dia menjadi kita, kau menjadi mereka, dan mereka menjadi bukan siapa-siapa.



Jauh dan lama aku berkelana, berjalan berbondong-bondong bersama kawan-kawan lama.

Walau jalan itu ramai akan cerita, masih bisa aku rasakan tenang dan bahagia.

Namun ada masanya, ketika satu demi satu dari mereka berbelok ke gang-gang yang lain, mereka memilih jalan tembus yang berbeda, di tengah-tengah perjalanan meninggalkanku mematung seorang diri dalam rambu-rambu yang entah apa, tidak bisa aku baca; sebaris pilihan hidup yang dingin lagi menyayat.

Dua atau tiga dari mereka berlomba saling menjatuhkan yang lain, menyeret salah satu yang lain untuk masuk dalam lingkaran sesat, sedangkan mereka sendiri berasyik masyuk di depan cermin berbingkai emas, mematut-matutkan diri dalam balutan jubah keangkuhan, bermahkotakan keserakahan, berkoar ingin menjadi penguasa dunia manusia dan alam semesta.

Apa yang mereka inginkan?

Sekarung rempah-rempah? Berton-ton garam? Atau petak-petak kebun emas hijau yang luasnya ratusan bahkan ribuan hektar itu? Aku rasa tidak. Percayalah, mereka lebih serakah ketimbang penguasa kolonial.

Di mana mereka menyembunyikan akal? Sudah berat sebelah akal mereka itu. Otak mereka pergi meninggalkan rangka tengkoraknya, membusuk dimakan belatung.

Pikiran yang hanya dipenuhi dengan nafsu harta benda, reputasi selangit hingga gila akan jabatan. Bahkan semua itu belum cukup, tentu saja mereka meminta lebih. Tidak pernah ada kata syukur dalam kamusnya. Sudah seharusnya mereka mengganti kamus lama mereka dengan kamus yang baru.

Menjadi manusia memang merepotkan, menjalin hubungan dengan sesama manusia jauh lebih mengerikan, sampai-sampai berbincang khusyuk dengan pohon-pohon sekalipun tidak dibenarkan, karena mereka akan menganggap bahwa hal itu merupakan suatu kegilaan. Nyaris menganggap bahwa orang yang mau melakukannya sudah pasti orang itu adalah orang dengan tingkat kewarasan yang rendah. Apalagi yang suka menari dan bermain bersama angin, meneriaki ombak laut dan bernyanyi bersama pipit-pipit kecil, dianggap apa orang-orang ini? Manusia dengan khayalan tingkat tinggi? Atau manusia yang berusaha bersahabat dengan alam? Atau menganggapnya seperti Deni si manusia ikan?

Terserah saja, lagipula siapa yang peduli?

Manusia-manusia di sini hanya peduli tentang seberapa kaya dirinya hari ini, daripada memikirkan tentang seberapa kaya alamnya hari ini. Mereka lebih tertarik dengan seberapa luas dan tinggi gedung apartemen tempat mereka tinggal, daripada repot-repot memikirkan luas lahan habitat para satwa dan ragam flora yang mana telah digusur paksa oleh ulah para pembesar dengan ide arsitektur megah seperti gedung-gedung pencakar langit dengan tembok beton yang dingin itu. Dengan pemikiran bahwa suatu hari nanti ular piton akan berniat menyewa salah satu kamar di gedung itu dengan biaya sewa yang melejit. Apa mereka masih bisa disebut ‘normal’? Mereka pikir ular piton sudi tinggal di tempat seperti itu? Tentu saja mereka tidak mengerti, dan tidak akan pernah mau mengerti, perasaan dari seekor ular piton yang merindu alam liar. Mengapa mereka tidak bisa mengerti perasaan seekor ular piton padahal mereka sendiri berjiwa ke-ular-piton-an?

Coba pikir, siapa sebenarnya yang tingkat kewarasannya rendah sekarang?

Seenaknya sendiri melekatkan label ‘normal’ pada orang-orang yang sebenarnya ‘abnormal’, dan sebaliknya, melekatkan label ‘abnormal’ kepada orang-orang yang dianggap ‘normal’ secara umum.

Tidak tahukah bahwa setiap individu berhak merasa ‘normal’ dengan caranya masing-masing?

Sekali lagi kau dan aku ada dan hidup berdampingan di dalam kungkung anggapan para manusia. Sadarlah, kalian semua setiap hari sibuk berputar dalam lingkaran sesat penutur syak wasangka. Serupa hamster kecil yang jika ia berhenti berlari sedetik saja dalam roda putar mainannya, maka apa yang terjadi setelahnya? Ku rasa tidak perlu lagi ku jelaskan apa yang terjadi dengan hamster kecil itu. Jauh lebih baik jika dari awal hamster kecil itu memutuskan untuk tidak masuk begitu saja dalam lingkaran roda putar mainan.

Aku menganggapmu sebagai manusia normal dengan segudang kegilaan yang merugikan, sedangkan kau menganggapku sudah gila sejak awal dengan dalih bahwa aku ini pasti sudah tidak ‘normal’ karena aku tidak berperilaku sama sepertimu, enggan mematuhi tutur busukmu, dan enggan menuruti teladan perilakumu yang dari awal memang sudah berbau anyir itu. Terlampau busuk, hingga indera penciumanku mati rasa. Aku bukan bonekamu, asal kau tahu.

Baiklah, tapi sekali lagi aku bisa apa? Bukankah aku ini hanya serupa laut yang bebas kau jarah dan kau cuci otak dengan ide-ide sok kuasamu itu? Bukankah aku ini hanya serupa batang pohon yang bebas kau rampas manfaatnya kemudian menyingkirkanku dalam sekali tebas kala lisanmu tiba-tiba menurunkan satu perintah?

Aku yang kemudian akan terlupakan begitu saja, tanpa tanda jasa apa-apa. Habis manis, sepah dibuang. Lantas, kau anggap apa jasa-jasa pengabdianku selama ini?

Dan setelah semua kengerian yang terjadi, apa kau masih merasa percaya diri dengan menganggap dirimu sendiri ‘normal’ dengan topeng kuasamu itu?

Begitukah, Yang Mulia Agung Yang Maha Segala-galanya?

Aku yakin Tuhan pasti merasa tersinggung sekarang ini. Tuhan tidak suka jika aku memanggilmu dengan gelar itu.


***
Oleh: Dymar Mahafa



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori