Postingan

Kalau Saja...

"Kalau saja waktu itu, aku nggak ketemu dia lagi, mungkin semuanya nggak bakal seperti ini, Ra," kilahmu dua tahun silam di hadapanku hingga air mata ini tak kuasa bersembunyi lebih lama lagi. Omong kosong. Persetan denganmu. Aku sudah muak. Sudah setahun berlalu dan semenjak kita memutuskan ikatan benang merah itu, tak lagi beredar kabar di timeline sosial mediaku tentangmu. Tidak, aku tidak memblokirmu. Tidak, kamu pun demikian. Kamu tidak memblokirku. Lantas bagaimana aku tahu bahkan setelah aku menghapus akun lamaku untuk kemudian membuat akun yang baru? Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu tidak memblokir pertemanan kita di dunia maya? "Mbak, jadi gini, daripada Mbak menghapus akun instagram itu, mending aku aja yang urus. Gimana? Aku ada usaha join -an sama temanku. Sayang, kan, kalau dihanguskan akunnya. Follower -mu, kan, udah seribu lebih," celoteh Dinda, adik bungsuku suatu hari. Ya, jadi begitulah ceritanya bagaimana aku masih bisa mengintip kehidupa

Lentera Cinta Azzahra

Desember minggu ketiga. Seingatku hari itu Sabtu, kalau tidak salah. Hari di mana tiba-tiba sahabat karibku semasa kecil datang bertamu ke rumah. “Wim, tolonglah. Aku memohon ke kamu. Aku mohon banget,” katanya mengiba sembari berlutut di hadapanku. Wajah Yoga tertunduk. Aku meraih kedua pundaknya yang gempal. “Yog, bangun, jangan seperti ini,” pintaku. Ada yang aneh dengan Yoga hari itu. Tidak biasanya Yoga memohon sampai berlutut begitu. “Wim, aku rela menyerahkan apapun, asalkan kamu mau memenuhi permintaanku barusan,” ulang Yoga. Bulir air mata yang jatuh dari mata lelahnya menambah lengkap rasa ibaku padanya. “Yog, kenapa sih kamu menyodoriku sesuatu yang sudah pernah kamu pakai? Apa rumahku ini terlihat seperti gudang barang-barang bekas?” tegasku. Aku memang sahabat dekatnya dan sudah banyak sekali tahun yang kami lalui bersama dalam suka maupun duka. Tetapi, dia juga harus menyadari bahwa perasaan orang lain tidak bisa seenaknya ditukarkan dengan apapun yang i

Lara dan Alam Lain

Dia kembali mengundang Lara malam itu; untuk duduk bersama menyesap secangkir air mata hangat. Juga mengalir bersamanya setetes nila dari bejana jiwanya yang sekarat. Cangkir, karpet, dinding, meja-kursi, semua lenyap bersama  pekatnya s ekitar yang berubah menjadi permadani biji kopi tanpa gravitasi. "Apakah ini Andromeda?" tanyanya. "Tidak. Bukan. Ini alam lain," desah Lara. Tempat yang tak asing di mana ia pernah singgah s esekali; untuk menyapa satu dua peony yang mekar. Mahkotanya merekah hingga tiba-tiba daun-daun itu satu demi satu tersesat bersama pusara puting beliung. Melenyapkan segala keindahan, segala kemuskilan. "Yang tumbuh akan hilang lalu berganti," ujar Lara sebagai pemandu perjalanan. Kehidupan ini pun persis. Tak mesti jadi kontemplasi s oal apa atau siapa yang tumbuh, yang hilang dan yang berganti. Karena sebagian percaya bahwa cerita tentang hidup setelah mati tak ubahnya babak fiksi dengan akhir yang menyedihkan. Lan

Ada yang Pandai Berucap

Ada yang pandai berucap, tetapi kosong dalam berbuat. Ada yang begitu bijak membagi petuah kepada rekan, tetapi diri sendiri luput dari siraman. Lidah memang lembut, tetapi laksana belati; keras menusuk kala menyebut. Menyebut saudaranya pendosa, masuk neraka, kenapa pula? Lisanmu memang tak punya kepala, tetapi nuranimu kau buang entah ke mana. Astaga... Karenanya jangan lengah dengan sesamamu yang tampak lembut di permukaan. Siapa tahu dia sudah siapkan belati dari belakang. "Kejutan!" Lalu adamu menjadi tiada. Semoga engkau dan sesamamu segera diberi kesempatan merasakan sakit serupa mereka; para papa. Supaya lidah lisanmu tak menjadi bumerang bagi piawaimu. Bahasa diciptakan untuk memberi makan hati, bukan untuk menyakiti. Namun entahlah jika engkau tak sejalan dengan ini. Ketidaktahuan lisan dalam jemawanya petuah untuk rekan, adalah karena dirinya sedang tidak berada di level kepedihan yang sama dengan mereka yang dihakimi. Sudut pandang si tukang cerama

Jangan Tanya

Jangan kau tanya tetes air mata ke berapa Yang jatuh dari langit-langit matanya; yang lindap berisi sesal kemarin lusa. Atau irisan tanya  akan bagaimana lebam sukmanya; membiru sebelum purnama sempat sempurna. Cukuplah tanya mengapa dia;            dengan tangan terbuka Mengizinkan Lara atau si Muram Durja tinggal satu atap Di dalam bingkai matanya yang lelap. Kediri, 16 Oktober 2019. 21:22 WIB

Anggap Semuanya Hanya Rekaan

Anggap semua yang kuceritakan hanya sebatas kisah rekaan Fiksi tentang si anu dan si ana yang hidup bahagia selama-lamanya adalah dongeng sebelum tidur Anggap saja ceritaku melantur Kau pun tahu, "Tak ada hidup sebahagia dan selama itu" Kecuali di surga Siapa yang tahu apa yang terjadi dengan surga Setelah sangkakala Setelah kebangkitan Setelah persaksian Setelah persakitan, siksaan Siapa ingin tinggal di surga? Retoris! Siapa penghuni neraka jika semua ingin ke surga? Tunggu, lantas akan menjadi apa dunia  setelah semesta binasa? Rahasia Aku pun tak berhak ingin tahu Tak penting membahas soal siapa atau apa "Mengapa tercipta surga dan neraka?" sama halnya dengan "Mengapa tercipta aku, kau dan mereka?" Kebenaran itu disimpan rapat Siapa berhak menyingkap? Tak terpikirkan tanya itu karena lisanmu sibuk berdebat soal siapa atau apa yang berhak duduki singgasana Adakah untungnya bagi seorang hamba jika  akhirnya  penentu segala kuasa

Dia Dan Alegori

Pagi kembali mengundang mimpi ke laut. Sebelum matahari pertama dan buku jemari sempat menghangat Yang di dalamnya ada ruangan kosong semacam tabung kaca segi lima Tempat dia dan alegori tukar belati Saling menusukkan dengki ke arteri Sementara dendam gelar ironi Dikirimkan pasukan ombak dan taifun     Semua yang bicara adalah pembohong Omong kosong apalagi yang dikata mulut kepada hati. Mengiris lembaran kemarin Yang coba lari dari sembrani. Laut, bagaimana mimpi bisa melambung, bila kepala tak lagi mendengar sabda nurani? Ada yg layu dari garis tawa Yang dilekatkan di paras lupa dalam gulungan kitab ulama Kepada tuna wisma - dia berdoa Tunjuki kami tempat bernaung Sebelum habis masa berkabung Hingga puing mendirikan istana Tanpa sidik jari Kediri, 20 September 2019. 13:22 WIB

Pagi Masih Datang Bersama Mimpi

Pagi masih datang bersama mimpi Yang meninggalkan bekas genangan Kepada sesal yang sekarang dingin tenggelam dalam kenang Menandai gerimis masih enggan pergi Walau setelahnya menyisakan ampas kopi Tak ubahnya debu sisa kremasi Tentang puluhan rembulan dan mimpi buruk Di antara keheningan dan remang Satu-satunya lilin di sudut ruang perlahan lebur. Menandai remuk bayangnya menuntut. Berkacak pinggang Jamais Vu , maukah pagi kehilangan ingatan? Mimpi berharap tak lagi muncul Deja Vu Supaya bunga Desember lekas layu Dan rembulan menemukan tambatan Kediri, 15 September 2019. 06:35 WIB