Airport Proposal #6 (potongan01)
#6
L I E
(potongan01)
Kediri, 29 Agustus 2017
Mereka berdua duduk berdampingan di salah satu bangku
kabin penumpang pesawat terbang. Eliane tampak sering mengumbar senyum pada
laki-laki di sebelahnya. Janta pun demikian, menggenggam tangan kanan Eliane
seolah seperti takut melepaskannya. Mereka berdua terlihat seperti sepasang
kekasih yang baru saja melangsungkan pernikahan. Begitu mesra. Tanpa ragu
mengumbar kemesraan di depan umum.
“Kamu baik-baik aja, kan?” Janta mengelus lembut jemari
tangan kanan Eliane. Sapuan jemarinya turun tepat di atas benda keemasan yang
melingkari jari manis Eliane. Benda itu tampak seperti sebuah cincin
pernikahan.
“Iya. Aku masih kuat kok.” Eliane tersenyum. Ia membalas
tatapan hangat laki-laki di sampingnya.
“Kalau mual bilang, ya.” Janta menggenggam tangan Eliane
lebih rapat. Eliane hanya menanggapinya dengan gumaman tak jelas. Janta tak
melihatnya saat Eliane mengangguk. Namun ketika Eliane merebahkan kepalanya di
lengan kiri Janta, tersungging segaris senyuman di wajahnya. Manis sekali
senyum itu, jika Eliane bisa melihatnya.
“Tidur aja. Nanti aku bangunin kalau udah sampai.” Janta
berbisik lembut. Sekali lagi hanya terdengar gumaman dari Eliane. Sepertinya
Janta menduga kalau Eliane sudah memejamkan matanya, siap terlelap selama
perjalanan udara. Eliane meletakkan tangan kirinya di atas perut. Di dalamnya
tengah terkandung buah cinta mereka berdua.
Sungguh, hanya sesederhana ini yang Eliane harapkan. Hidup
bersama orang terkasih, menjalani kehidupan normal sebagai calon ibu. Semua itu
selalu mampu membuatnya merinding bahagia. Eliane begitu bahagia sekarang. Hingga
kata-kata tak mampu mendefinisikan apa yang saat ini ia rasakan. Eliane
berharap Janta juga demikian. Sama bahagianya dengan dirinya. Ia ingin
selamanya seperti ini. Selamanya berada di sisi Janta, sampai maut memisahkan.
Sepertinya waktu terasa lebih cepat berjalan. Perlahan Janta
mengguncang tubuh Eliane.
“Na, bangun. Udah sampai nih.” suara Janta terdengar
aneh di telinga Eliane. Namun Eliane mengabaikannya. Ia masih berusaha
mengumpulkan nyawa dalam tidurnya untuk segera bangun. Matanya berusaha membuka,
namun sulit sekali rasanya.
“Na, bangun.” kini Eliane mengernyit. Suara Janta
berubah menjadi lebih feminine. Seperti suara perempuan. Eliane membuka matanya
perlahan. Kesadarannya perlahan pulih.
“Na, sadar. Bangun, Na.” suara itu serasa menggema dalam
kepalanya. Muncul, tenggelam, lalu hilang, kemudian muncul kembali. Seperti suara
pantul yang timbul tenggelam.
“Yana?” mata Eliane terbuka sepenuhnya. Ia mendengar
suara seorang wanita memanggil namanya. Namun entah siapa itu. Ia belum bisa
menangkap wajah wanita itu karena pandangan matanya masih kabur. Lensa matanya
perlahan mulai terfokus.
“Vi,” suara Eliane terdengar serak. “Ini di mana?”
pandangannya menyapu ruangan serba putih itu.
“Alhamdulillah.” Vieri menyerukan syukur yang teramat
sangat. “Syukurlah kamu udah sadar, Na. Semalem kamu nggak sadarkan diri. Kemarin
sore kamu tiba-tiba pingsan di kafe. Inget nggak?”
“Pingsan?” suaranya masih sangat lemah. Eliane seperti
mengingat-ingat sesuatu. “Kafe apa?”
“Iya, kamu kemarin sore pingsan mendadak waktu kita mau
pulang dari Brengos kafe. Dan aku dibantu sama Mas Lima buat antar kamu ke
klinik ini. Itu lho si mas-mas waiter ganteng.
Kamu nggak inget kalo pingsan?” Vieri merubah posisi duduknya di pinggiran tempat
tidur Eliane.
Eliane menggeleng. “Rion mana, Vi?” tiba-tiba Eliane
bertanya.
Vieri tampak bingung. Ia tidak mengerti apa yang tengah
dibicarakan sahabatnya itu. “Rion siapa, Na? Kamu ngelindur, ya?”
“Nggak, semalem aku kan lagi ada di pesawat terbang
berdua sama Rion. Kita rencana mau bulan madu ke Eropa. Dan aku tidur selama
perjalanan udara. Trus Rion janji mau bangunin aku kalau ud…” Eliane berhenti. Seketika
ia menyadari satu hal seraya membekap mulutnya sendiri. “Ampun Tuhan Yesus.”
Vieri memandang sayu mata sahabatnya, “Kamu mimpi lagi
tentang cowok itu?”
Eliane mengangguk. Batinnya mencelos. Ia bahkan tak lagi
mampu membedakan antara kenyataan dengan mimpi. Reflek, ia meraba sekitar
perutnya. Masih datar seperti adanya. Tidak membesar seperti dalam mimpi.
Tiba-tiba Vieri menyemburkan tawa setelah mendengar
suara-suara aneh yang keluar dari dalam perut Eliane. “Kamu laper?”
Eliane membalasnya dengan cengiran, disusul anggukan.
# # #
Komentar
Posting Komentar