Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Coretan Antah Berantah

"Never Flat" Hari ini hari terakhir Ramadhan di tahun ayam api 2017. Entah apa yang 'merasuki' pikiran Anak Baru Gede ini. Mungkin karena efek terlalu kekinian yang melebihi batas maksimal. Beberapa hari ini anak itu sering salah mengartikan suatu istilah atau pengertian dari penyebutan suatu istilah. "Never Flat." Tiba-tiba adik perempuan semata wayang menyeletuk. Dengan logat ala British yang dilebih-lebihkan. Tapi pelafalannya betul. Seketika itu gue tergelak. "Apanya yang Never Flat?" tanya gue sembari mengoperasikan smartphone . "Bukan apa-apa. Mbak jangan kudet deh. Hari gini nggak tau Never Flat." kata dia sambil meneruskan permainan Who Wants To Be A Millionaire di laptop gue. "Emang apa artinya?" gue udah curiga pasti bentar lagi jawabannya nggak beres. "Never Flat itu nama jajan itu, lho. Ih, masa nggak tau sih." See? I told you, she is —err... she has different sense. (Read: absurd) Lihat

Pena EfekTif ( baca: Efek Fiktif ) Ramadhan

"Efektifitas Menulis di Bulan Ramadhan." Ketika membaca sebaris judul di atas, apa yang pertama ada di benak para pembaca sekalian? Kisah-kisah islami? Atau, Cerita diary ala santri ponpes? Atau, Sepenggal tulisan curcol seorang penulis galau di Bulan Suci? Bukan maksud apa-apa, hanya sekedar intermezo saja. Karena nantinya tulisan ini akan cenderung mengarah ke poin yang ketiga. Curcol. Ya. Satu diksi yang tak akan pernah ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecuali KBBI edisi revisi dan secara khusus diterbitkan oleh penerbit yang dikepalai orang nyentrik (baca: alay). CurCol atau Curhat Colongan, merupakan hasil revisi atau perbaikan dari kata serap sebelumnya. Yakni, CurHat (Curahan Hati). Heran. Bahasa nyentrik (baca: alay) memang agak sadis serta berkepribadian ganda. Mirip psikopat bebal nan terkutuk. Mengapa demikian? Karena dia secara tiba-tiba mudah berubah, suka main potong, memutilasi dan sambung sana-sini. Alhasil seperti kata CurCol tersebut.

You are REAL - 21 (end)

"Mbak Dara?" tiba-tiba Real muncul di belakangku. Reflek, ku putar badanku menghadapnya. Pagi yang dingin. Angin bulan Desember begitu menusuk sekujur urat nadi. Darahku serasa turut beku. Mungkin sekarang efeknya sudah merembet ke ulu hati dan cerebellum. Keseimbanganku hilang. Menguap, melayang jauh terseret angin beku bulan Desember. Ragaku mati rasa. Pikiranku berkelana entah kemana. Tak tentu arah, pun tak tentu tujuan. Batinku menjerit meminta pertolongan. Namun leherku serasa dicekik tangan-tangan tak kasat mata. Hingga air mataku nyaris merembesi sudut-sudut mataku. Ku tatap raut wajahnya sekilas. Hatiku tercabik. Pedih. Sakit. Lidahku kelu. Pita suaraku tercekik. Sulit sekali rasanya hanya untuk mengucap satu patah kata saja. Aku membisu. Hatiku hampa. Real. Laki-laki itu. Laki-laki yang tak terbaca. Perpaduan yang aneh antara misterius, angkuh, pendiam, idealis, ego selangit sekaligus halus budi. Janggal. Otakku berdenging. Seakan bergulung-gulung lembar