Wajah di Balik Impian

Waktu aku masih suka bermain ayunan dan jungkat-jungkit, aku bermimpi
Ingin menjadi apa saja yang spontan terucap dari mulut mungilku
Dengan naif, ku sebutkan sederet cita-cita muluk
Dan aku dapati satu pujian dari guruku
Beliau berdoa bahwa cita-citaku bisa terwujud suatu hari nanti

Seiring waktu berlalu, banyak sekali perubahan yang aku ciptakan
Aku berbenah dari impianku sendiri
Aku putuskan untuk memilih salah satu
Tentu dengan harapan muluk aku meminta Tuhan memenuhi keinginanku

Baiklah, tinggalkan diriku yang naif itu
Isi kepala idealisku kini sudah ku buang ke tempat pembuangan akhir

Di tengah carut marut kehidupan dewasaku, tamparan kehidupan nyaris setiap hari ku terima
Bahwa meraih impian tak seperti membalik telapak tangan
Tak seperti pergi buang hajat, atau mampir ke mesin pengisi bahan bakar

Ah, tidak, mengisi bahan bakar pun juga perlu mengantri dan bersabar
Apalagi jika sudah capai-capai berdiri tapi tangki belum juga terisi
Maaf bensin sudah habis, seru si karyawati

Kecewa, marah, kesal, lalu apa lagi?
Ingin memaki?
Sejatinya impian tak bisa dibeli, pun dipesan seperti food delivery

Jutaan manusia yang serupa lukisan semut-semut alit yang terlihat dari atas satelit
Yang makin hari hidupnya makin terjepit
Kepala mereka tak serupa Bhineka Tunggal Ika

Mungkin mereka memang satu, namun jutaan pemikiran mereka tak mungkin bisa berpadu menjadi esa
Ide-ide idealis yang mereka tanam melalui benih yang mereka namai cita-cita, telah merubah pola pikir menjadi ambisi dan provokasi

Alam bawah sadar mereka menjerit
Mengidamkan impian itu dirakit di atas altar singgahsana
Bahkan memaksa Tuhan memenuhi segala ambisi yang dengan segala kenaifannya menggerogoti urat nadi

Menjadikan mereka zombi, buta intuisi, lagi kufur, dan berbangga diri
Kemudian menuntut dan mengadili Tuhan sepuas hati, ketika mimpi itu gagal dicapai
Berdalih bahwa Tuhan telah salah memberi, padahal sejatinya Tuhan Maha Mengasihi

Menurutmu berapa jumlah populasi manusia di bumi pertiwi abad ini?
Logika sudah tak mampu mengalahkan intuisi serta ambisi
Jaman sudah maju, namun pemikiran diri masih setinggi rumput teki
Berjuta-juta manusia berjubal berebut kursi
Berlomba saling dorong satu dengan yang lain, bahkan berpedoman pada semboyan hukum alam; memangsa atau dimangsa, menyakiti atau disakiti.

Ya, memang terdengar kejam
Kau pikir di mana kakimu berpijak?
Di atas awan-awan? Terbang bebas di langit luas?
Jangan mimpi!

Angan-anganmu terlampau tinggi, wahai muda mudi
Cita dan angan sejatinya harus seimbang dengan batas realita hidup
Bumi ini kian sempit, saking banyaknya penghuni
Lahan pun dijual dan dibeli
Kau pikir mau kau taruh di mana ambisi kurang pikirmu tadi?

Cita-cita memang berbudi, ia luhur
Namun sekali lagi, harus didampingi dengan rasa syukur
Baca situasi, kembangkan ilmu dan teknologi, bangun interaksi, ikut dalam sosialisasi
Jangan terus saja berdiam diri, terisolasi dari porak-poranda negeri, menutup akses pintu sukses, dan malah menulis puisi tanpa arti

Negeri tak butuh pujangga yang pandai berpuisi
Tapi beri ia pemuda pemudi yang bisa mengguncang negeri dan punya dedikasi

Wahai anak-anak negeri, syukuri
Walau benang angan belum tercapai, bangkit
Singsingkan lengan untuk negeri, ukir karya tanpa henti, hingga tiba saatnya nanti kau 'kan temukan dirimu sendiri dalam balut wajah asli

Berbanggalah dengan topengmu hari ini
Beri kami sebuah arti mengabdi
Sebuah bakti tanpa mengharap kembali




***
Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori