Kanvas Klise Pertamaku
Aku masih ingat kanvas pertamaku.
Yaitu buku gambar istimewa harga seribu.
Gores pensil yang tertoreh di atasnya adalah lukisan klise tentang sawah dan gunung kembar dengan matahari yang suka mengintip di tengahnya.
Tunggu, seingatku juga ada jalan dengan perspektif di antara ladang persawahan.
Jalan itu selalu digambarkan dalam dua versi, terkadang beraspal, terkadang juga masih berupa jalan makadam yang terjal.
Suka-suka si pelukis ingin memilih versi yang mana, atau siapa peduli jika kami meniadakan jalan itu.
Tidakkah kau juga mengingat pola gambar klise yang itu?
Aku tak bermaksud membahas tentang mengapa guru seni rupa jaman dulu selalu mengajarkan anak didiknya untuk menggambar dengan tema yang nyaris selalu sama; silakan menggambar bebas.
Atau tentang mengapa sebagai anak didik, kami selalu membuat keputusan yang seragam, ketika jam pelajaran seni rupa tiba; menggambar bebas.
Walau kemudian kami, sebagai anak didik yang lugu dan sama sekali belum terpanggil ke hal-hal berbau seni, tak pernah bosan dengan melulu menggambar tiga, ah tidak, empat kombinasi panorama alam yang klise itu; gunung kembar, matahari yang mengintip, ladang sawah disusul jalan perspektif yang panjang membentuk bangun segitiga sama kaki.
Bahkan dari lukisan klise itu tercipta sebuah lagu anak-anak yang berjudul "Naik-naik ke Puncak Gunung", atau malah sebaliknya lukisan itu adalah terapan dari inspirasi deret lirik lagu tersebut?
Siapa peduli.
Panorama alam yang beliau, guru kami, ajarkan merupakan cerminan dari keadaan lingkungan alam pada jamannya.
Alam yang masih asli, hijau, asri, angin masih liar bermain dengan daun-daun yang menari.
Tidakkah kau rindu alam yang demikian?
Dulu waktu aku masih sering memakan buah seri, masih banyak aku jumpai ladang persawahan yang melingkupi.
Walau aku bukan pemanjat ulung, masih sempat aku rasakan sejuknya berteduh di bawah naung pohon seri.
Surga dunia bagi kami, anak-anak bau kencur yang masih ingusan.
Sepuluh tahun berlalu, bagai jemari yang menyibak lembaran buku.
Secepat itu wajah alamku berubah.
Aku termangu, lidahku kelu.
Ke mana perginya pohon-pohon seri?
Ke mana gerangan hamparan hijau ladang-ladang persawahan?
Sudah tak serupa lagi dengan lirik lagu "Naik-naik ke Puncak Gunung".
Pemandangan gunung tertutup gedung pencakar langit, mentari tak lagi gemar mengintip, di kiri dan kanan tak lagi ku lihat banyak pohon cemara.
Segalanya berubah; aku berubah, kau berubah, kalian semua sudah berubah, namun mengapa alamku juga ikut berubah?
Tak heran jika Generasi-Z jarang sekali yang bercita-cita menjadi juru tanam.
Pernah mendengar anak tahun 2018 berkeinginan menjadi petani?
Langka dan jarang sekali, bahkan ah itu hanya ilusi, dan kau pasti sudah tuli.
Mereka jauh lebih tertarik memilih profesi yang elit dan lebih berkelas.
Seperti politisi, astronot, direktur industri, kontraktor, arsitek dan profesi serupa yang masih berhubungan erat dengan gedung beton tinggi.
Tunggu, apa aku tadi menyebut arsitek?
Tak berhak ku daratkan caci maki dari sudut pandang subjektif, tapi sangat disayangkan sekali jika dari ide seorang arsitek; dengan rancang bangunan yang menjulang tinggi, dampaknya bisa sebegitu besar hingga menyentuh lini profesi para tani.
Mampu meluluh-lantakkan lahan para juru tanam, membuat para petani kehilangan tempat mencari sesuap nasi.
Angka panen raya terjun bebas, inflasi menguasai pasar perdagangan bebas.
Baiklah cukup, abaikan saja racauku.
Aku mulai terdengar sok tahu.
Memang tak bisa ku pungkiri bahwa sejatinya segala profesi layak mendapatkan apresiasi.
Aku hanya tak ingin menjadi seorang apati.
Yang gagal berempati dengan kacaunya alamku yang asri.
Aku hanya ingin alamku kembali seperti dulu lagi.
Tak masalah jika aku mati bosan dengan permintaan guru seni rupaku untuk menggambar pemandangan yang sama berulang kali.
Aku hanya ingin menghirup aroma angin musim semi, menikmati nyanyi kenari, mengayunkan kaki di atas riak-riak yang mengalir dari motor irigasi.
Profesi petani rasa-rasanya sudah tak terlalu berpengaruh lagi sekarang ini.
Padahal disadari atau tidak, orang-orang mungkin memang sengaja melupakan dari mana datangnya sumber bahan pangan yang mereka makan setiap hari.
Walau memang sumber pangan tak hanya dari ladang dan perkebunan, bisa juga datang dari perairan.
Kabar 'baik'nya lagi, laut pun sudah tereksploitasi sedemikian ngeri.
Baiklah, teknologi.
Untung sekali teknologi telah memasuki ranah profesi para petani, walau masih ada beberapa yang gagap teknologi.
Namun sekali lagi, yang sangat ingin aku garis bawahi di sini adalah dengan media apa para juru tanam itu mengais rejeki, jika lahan persawahan pun tertutupi gedung beton yang menjulang tinggi?
Apa peran teknologi jika sudah begini, hingga hakikatnya menjadi kurang fungsi?
Sudah semakin sempit tanah lapang di atas bumi pertiwi abad ini.
Mungkin di lain pulau masih berhektar-hektar luasnya untuk ditanami, namun sekali lagi penebangan liar tanpa reboisasi telah dinobatkan sebagai rutinitas yang berbudi.
Konservasi, ya, konservasi.
Bisa jadi itu satu-satunya solusi.
Agar alamku yang asri bisa kembali seperti dulu lagi.
Walau aku menyadari, segala sesuatunya tak mungkin sama seperti sedia kala, dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun lagi.
Pertanyaan terkait konservasi: siapa yang sudi mempelopori?
Sekali lagi sikap apati yang menjadi penghalang diri.
Bolehkah aku penasaran bagaimana rupa alamku, ah tidak, alam kita sepuluh tahun lagi?
Apa yang mampu kita titipkan pada generasi setelah milenial?
Semuanya tergantung dari tabiat negeri hari ini, tergantung dari tabiat para penghuninya pagi ini.
Baiklah, abaikan saja rasa penasaranku.
***
Oleh: Dymar Mahafa
Yaitu buku gambar istimewa harga seribu.
Gores pensil yang tertoreh di atasnya adalah lukisan klise tentang sawah dan gunung kembar dengan matahari yang suka mengintip di tengahnya.
Tunggu, seingatku juga ada jalan dengan perspektif di antara ladang persawahan.
Jalan itu selalu digambarkan dalam dua versi, terkadang beraspal, terkadang juga masih berupa jalan makadam yang terjal.
Suka-suka si pelukis ingin memilih versi yang mana, atau siapa peduli jika kami meniadakan jalan itu.
Tidakkah kau juga mengingat pola gambar klise yang itu?
Aku tak bermaksud membahas tentang mengapa guru seni rupa jaman dulu selalu mengajarkan anak didiknya untuk menggambar dengan tema yang nyaris selalu sama; silakan menggambar bebas.
Atau tentang mengapa sebagai anak didik, kami selalu membuat keputusan yang seragam, ketika jam pelajaran seni rupa tiba; menggambar bebas.
Walau kemudian kami, sebagai anak didik yang lugu dan sama sekali belum terpanggil ke hal-hal berbau seni, tak pernah bosan dengan melulu menggambar tiga, ah tidak, empat kombinasi panorama alam yang klise itu; gunung kembar, matahari yang mengintip, ladang sawah disusul jalan perspektif yang panjang membentuk bangun segitiga sama kaki.
Bahkan dari lukisan klise itu tercipta sebuah lagu anak-anak yang berjudul "Naik-naik ke Puncak Gunung", atau malah sebaliknya lukisan itu adalah terapan dari inspirasi deret lirik lagu tersebut?
Siapa peduli.
Panorama alam yang beliau, guru kami, ajarkan merupakan cerminan dari keadaan lingkungan alam pada jamannya.
Alam yang masih asli, hijau, asri, angin masih liar bermain dengan daun-daun yang menari.
Tidakkah kau rindu alam yang demikian?
Dulu waktu aku masih sering memakan buah seri, masih banyak aku jumpai ladang persawahan yang melingkupi.
Walau aku bukan pemanjat ulung, masih sempat aku rasakan sejuknya berteduh di bawah naung pohon seri.
Surga dunia bagi kami, anak-anak bau kencur yang masih ingusan.
Sepuluh tahun berlalu, bagai jemari yang menyibak lembaran buku.
Secepat itu wajah alamku berubah.
Aku termangu, lidahku kelu.
Ke mana perginya pohon-pohon seri?
Ke mana gerangan hamparan hijau ladang-ladang persawahan?
Sudah tak serupa lagi dengan lirik lagu "Naik-naik ke Puncak Gunung".
Pemandangan gunung tertutup gedung pencakar langit, mentari tak lagi gemar mengintip, di kiri dan kanan tak lagi ku lihat banyak pohon cemara.
Segalanya berubah; aku berubah, kau berubah, kalian semua sudah berubah, namun mengapa alamku juga ikut berubah?
Tak heran jika Generasi-Z jarang sekali yang bercita-cita menjadi juru tanam.
Pernah mendengar anak tahun 2018 berkeinginan menjadi petani?
Langka dan jarang sekali, bahkan ah itu hanya ilusi, dan kau pasti sudah tuli.
Mereka jauh lebih tertarik memilih profesi yang elit dan lebih berkelas.
Seperti politisi, astronot, direktur industri, kontraktor, arsitek dan profesi serupa yang masih berhubungan erat dengan gedung beton tinggi.
Tunggu, apa aku tadi menyebut arsitek?
Tak berhak ku daratkan caci maki dari sudut pandang subjektif, tapi sangat disayangkan sekali jika dari ide seorang arsitek; dengan rancang bangunan yang menjulang tinggi, dampaknya bisa sebegitu besar hingga menyentuh lini profesi para tani.
Mampu meluluh-lantakkan lahan para juru tanam, membuat para petani kehilangan tempat mencari sesuap nasi.
Angka panen raya terjun bebas, inflasi menguasai pasar perdagangan bebas.
Baiklah cukup, abaikan saja racauku.
Aku mulai terdengar sok tahu.
Memang tak bisa ku pungkiri bahwa sejatinya segala profesi layak mendapatkan apresiasi.
Aku hanya tak ingin menjadi seorang apati.
Yang gagal berempati dengan kacaunya alamku yang asri.
Aku hanya ingin alamku kembali seperti dulu lagi.
Tak masalah jika aku mati bosan dengan permintaan guru seni rupaku untuk menggambar pemandangan yang sama berulang kali.
Aku hanya ingin menghirup aroma angin musim semi, menikmati nyanyi kenari, mengayunkan kaki di atas riak-riak yang mengalir dari motor irigasi.
Profesi petani rasa-rasanya sudah tak terlalu berpengaruh lagi sekarang ini.
Padahal disadari atau tidak, orang-orang mungkin memang sengaja melupakan dari mana datangnya sumber bahan pangan yang mereka makan setiap hari.
Walau memang sumber pangan tak hanya dari ladang dan perkebunan, bisa juga datang dari perairan.
Kabar 'baik'nya lagi, laut pun sudah tereksploitasi sedemikian ngeri.
Baiklah, teknologi.
Untung sekali teknologi telah memasuki ranah profesi para petani, walau masih ada beberapa yang gagap teknologi.
Namun sekali lagi, yang sangat ingin aku garis bawahi di sini adalah dengan media apa para juru tanam itu mengais rejeki, jika lahan persawahan pun tertutupi gedung beton yang menjulang tinggi?
Apa peran teknologi jika sudah begini, hingga hakikatnya menjadi kurang fungsi?
Sudah semakin sempit tanah lapang di atas bumi pertiwi abad ini.
Mungkin di lain pulau masih berhektar-hektar luasnya untuk ditanami, namun sekali lagi penebangan liar tanpa reboisasi telah dinobatkan sebagai rutinitas yang berbudi.
Konservasi, ya, konservasi.
Bisa jadi itu satu-satunya solusi.
Agar alamku yang asri bisa kembali seperti dulu lagi.
Walau aku menyadari, segala sesuatunya tak mungkin sama seperti sedia kala, dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun lagi.
Pertanyaan terkait konservasi: siapa yang sudi mempelopori?
Sekali lagi sikap apati yang menjadi penghalang diri.
Bolehkah aku penasaran bagaimana rupa alamku, ah tidak, alam kita sepuluh tahun lagi?
Apa yang mampu kita titipkan pada generasi setelah milenial?
Semuanya tergantung dari tabiat negeri hari ini, tergantung dari tabiat para penghuninya pagi ini.
Baiklah, abaikan saja rasa penasaranku.
***
Oleh: Dymar Mahafa
Huh, sampai lupa napas bacanya. Keren. Dalem nih maknanya��
BalasHapusBenar, akan seperti apa alam kelak, bila kini pun telahlah memprihatinkan��
Napas dulu kak😂
HapusTerima kasih sudah mampir baca...
😊
iyaaa kaaak. duuh sedih bgttt. sawah2 masa kecil uda ilang 😢😢😢
BalasHapusNah, kan?
HapusAku rindu sama sawah2 itu... 😥
Sekarang mereka berubah jadi perumahan elit.
Aku juga sama kak,
BalasHapusSenang ada yg bisa mengutarakan isi fikiran tentang perubahan alam ini dengan bahasa yg menakjubkan.
Dalam tanpa menggurui,
Semoga kedepannya, orang2 juga akan sadar pentingnya alam bagi kehidupan..
Aku penggemarmu mulai sekarang
Hehehe
🤣 alhamdulillah kalo begitu kak... amin. Nggak hanya sadar tentang pentingnya alam, tapi juga bergerak buat melakukan perubahan menuju perbaikan.
HapusSuatu kehormatan bisa menjadi penggemarmu.. 😍
Terima kasih 😊
emangmemprihatinkan sih tp itulah kenyataannya
BalasHapusYap. Begitulah adanya.
HapusKenyataan memang selalu pasang muka garang. Nyakitin banget. 😥
Terima kasih kak sudah berkenan baca. 😊
emangmemprihatinkan sih tp itulah kenyataannya
BalasHapusindah! kata yang tepat untuk tulisan ini!
BalasHapuswww.innaistantina.com
Terima kasih banyak. 😊
HapusSemoga bisa menginspirasi.
Lukisan fenomal, sd rata rata pakai gambar itu
BalasHapusIya. 👍🤣
HapusKarena hemat waktu kak biar cepet selesai nglukisnya..
Terima kasih sudah berkenan membaca coretan ini.. 😊
Kebun sawah sudah jarang. Kasihan para petani. Mau membayangkan alam ini sepuluh tahun lagi, aah, ngeri.
BalasHapusIya kak, ngeri banget. Jangan dibayangin deh. Bikin merinding.
HapusTerima kasih kak atas kunjungannya. 😊