You are REAL - 9

Selasa, 14 Maret.

Pulang kerja, kira-kira sekitar pukul 13.55, aku bertemu dengannya. Tidak bisa dikatakan pertemuan secara terang-terangan sih. Eits, bukan juga pertemuan gelap-gelapan. Ah, sudahlah terserah apa itu sebutannya.

Toyota putih milik sekolah. Dia ada di dalam sana, mengemudi. Memutar balik mobil itu untuk kemudian memarkirkannya ke garasi sekolah.

Dimana aku? Tepat di sisi seberang tempat parkir motor. Awalnya aku tidak tahu pengemudi mobil itu adalah Real.

Aku acuh-acuh saja, seraya merapikan isi tasku sebelum beranjak menstater si vario hitam. Mobil putih di belakangku sibuk bergeser. Sedikit demi sedikit. Membenahi posisi agar mudah diputar balik.

Aku menunggu. Tetap diam di tempatku. Seraya membenahi posisi motorku agar bisa keluar dari jejeran kendaraan roda dua yang terparkir di kanan-kiriku.

Masih ku acuh dengan siapa sebenarnya pengemudi di dalam mobil.

Dan tiba-tiba...

"Mas Real, aku ikut naik dong." seru Bu Hindwi seraya menghampiri motornya sendiri, yang terparkir agak jauh dari motorku.

Seketika itu, aku terkesima. Err, rasa-rasanya diksiku mulai agak berlebihan. Yah, lebih tepat jika ini disebut dengan kagum.

Real. Real. Real.

Lagi-lagi Real.

Real lagi, Real lagi.

Oh, hidupku. Kenapa selalu saja nama itu yang menyapa hari-hariku?

Namanya juga kerja di satu atap, ya pasti tiap hari ketemu dong. Mungkin demikian yang tengah ada di benak kalian.

Namun, tidak. Aku dan dia berbeda bagian, beda divisi. Dan ruangan kami pun ada di gedung yang saling berseberangan. Aku di sebelah barat belakang, dia di seberang timur agak depan. Namun jika ditarik garis lurus, maka ruangan kami akan saling berselurusan.

Hemat kata, jika kalian tidak keberatan, tak bisakah kita sepakati bersama bahwa seluruh rangkaian kejadian ini disebut takdir ?

Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kali ini merupakan satu takdir baik ataukah sebuah petaka?

***

Rabu, 15 Maret.

Hari ini aku jenuh. Lelah dengan suara bising perpustakaan, karena sedang dialih fungsikan sementara untuk kelas darurat. Aku memutuskan untuk keluar ruangan, mencari udara segar.

Aku duduk di depan bangku ruang perpustakaan yang bersebelahan dengan ruang UKS. Di situ terasa begitu sejuk. Angin semilir, menemaniku mengetik cerita-cerita tentang dia. Siapa lagi? Rial Trisnoto.

Real.

Cerita yang tengah aku ketik penuh dengan namanya. Tak terasa aku terlalu asyik mengetik sehingga lupa sekitar.

Sekelebat langkah sepatu pria, berjalan di depanku. Melewatiku dengan langkah perlahan. Ku hentikan sejenak jemariku menari di tombol-tombol layar sentuh ponsel pintar di tanganku. Dari sudut mata, sekilas ku pastikan siapa gerangan. Mungkin salah satu guru yang kebetulan lewat, pikirku.

Demi Tuhan! Kaget aku.

REAL!!

Real tersenyum sopan seraya berjalan menuju ruang perpustakaan. Aku gelagapan mengimbangi keramahannya. Segera aku tutup ponselku, yang nyata-nyata menampilkan deretan paragraf kisah klise kusut tentangnya. Bisa mati aku, kalau sampai ketahuan.

Ku amati gerak-geriknya. Sesekali ia melongok ke dalam perpustakaan. Sepertinya dia tengah mencari seseorang. Beberapa detik berlalu, terlihat jelas bahwa dia tidak menemukan orang yang dia cari.

"Di dalam ada siapa, Mbak Dara?" tanyanya.

"Oh, itu... ada Bu—" aku kesulitan menyebutkan nama guru yang tengah mengajar di dalam.

Sial! Otakku tiba-tiba buntu jika ada di depannya. Berhenti bekerja. Melambat seketika.

Masih tak bisa ku ingat nama guru itu. Padahal tiga tahun aku diajar tata boga oleh beliau. Dan sekarang beliau mengampu mapel Bahasa Jawa.

Syukurlah, malaikat membantuku. Beliau kebetulan berjalan kembali ke perpustakaan. Tepat di belakang Real. Aku menunjuk kikuk. Secara otomatis Real mengikuti arah pandanganku.

"Oh, Bu Diah to?" Real tertawa sopan. Itu memang sudah menjadi gaya khasnya. Dia memang suka tertawa. Bahkan mudah sekali tertawa. Dan anehnya, aku suka dengan suara tawanya yang khas itu.

"Ada apa Mas Re? Masuk saja ndak apa-apa. Monggo." Bu Diah hanya tersenyum, kemudian berlalu.

Tepat saat Real beranjak pergi, ku beranikan diri untuk bertanya.

"Cari siapa, Mas Real?" syukurlah intonasiku biasa-biasa saja. Tak ada warna gugup di sana.

"Pak Anwar." jawabnya setelah beberapa saat berpikir seraya melihat berkas yang ia bawa.

"Di ruang guru?" tanyaku setengah menyarankan.

"Nggak ada." ia mendenguskan senyum. "Sudah saya cari di semua ruang, ndak ada semua." katanya ramah.

Aku hanya ber-oh ria seraya tersenyum tipis.

"Mari, Mbak." Real berlalu.

Sudut mataku mengikuti langkahnya hingga menghilang di belokan koridor. Kembali aku berkutat dengan key-touch ponselku. Melanjutkan kisah-kisah tentangnya yang nanggung tadi.

Sekitar dua menit kemudian, Real kembali berjalan ke arahku. Ia melewatiku seraya kembali tersenyum santun.

"Ada, Mas?"

"Nggak ada." jawab Real sambil lalu, serta kembali tertawa ramah.

Tak ku sangka. Namun selalu saja secara kebetulan, tiba-tiba, tanpa ku meminta, seakan Tuhan terus saja mendekatkan kami berdua. Seakan Tuhan memerintahku untuk mengenalnya lebih jauh.

Apapun itu, aku bersyukur. Aku senang bisa terlibat perbincangan singkat dengannya. Walau yang tadi itu tidak bisa disebut berbincang. Apapun istilahnya, aku tetap bahagia. Ternyata bahagia memang hanya sesederhana itu.

Terlintas satu kalimat yang pernah ku baca atau ku dengar entah dimana, yang berkata bahwa yang namanya kebetulan itu tidak ada di dunia ini. Yang ada adalah setiap detail kejadian yang kita alami telah ada yang mengatur. Semua telah tercatat di sana. Tersusun rapi. Sistematis. Lengkap. Tinggal bagaimana manusianya saja, mau percaya atau membantah takdirnya sendiri.

***

Kamis, 16 Maret.

Pagi ini, seperti biasa aku mencari udara segar di luar ruang perpustakaan. Ku nikmati cahaya mentari pagi yang menenangkan. Burung pipit kecil tengah asyik menyantap sarapan yang kebetulan ia temukan di lantai tak jauh dari tempatku duduk. Aku mengamati tingkah polah burung itu sejenak. Menancapkan paruh kecilnya untuk mengais remah-remah biskuit yang tergeletak di lantai. Ku arahkan kameraku untuk menangkap momen langka itu. Makhluk kecil itu tertangkap kameraku sebelum ia kemudian terbang entah kemana. Ku amati hasil jepretanku. Tak buruk. Lumayan, jika tidak mau dikatakan kurang pro.

Di sela-sela keasyikanku mengoperasikan ponsel pintar itu, tak sengaja aku kemudian mendongak untuk melihat sekitar. Karena terlihat dari sudut mataku, seseorang lewat. Berjalan di sepanjang koridor yang lurus melintang di hadapanku. Suara gemerincing kunci yang membuatku terkesiap. Tebakanku tak pernah meleset.

Dan benar saja. Orang itu adalah Real. Mengenakan kemeja batik hijau motif lukisan bunga abstrak merah, batik khas sekolah. Ia berjalan santai, seraya menenteng segerombol kunci.

Real tersenyum santun. Seperti yang biasa ia lakukan saat bertegur sapa dengan siapapun di sekolah. Aku balas dengan keramahan yang sama. Kemudian ia berlalu menuju tangga lantai dua, yang tepat berada di hadapanku. Aku amati sekilas hingga ia menghilang di ujung tangga.

Ku buang napas. Kemudian ku hirup cepat-cepat. Bahkan bernapas pun tak bisa ku lakukan dengan benar saat dia tiba-tiba muncul tepat di depanku. Dengan senyum dan kharismanya itu, otakku jauh dari kata waras. Aku benci diriku yang seperti ini. Tak seharusnya aku menjadi manusia lemah seperti ini.

Selama kurang lebih tiga tahun terakhir, telah ku bentengi hatiku dari segala sesuatu yang mengancam. Salah satunya, cinta.

Rasa yang tak pernah bisa ku mengerti dengan akal sehatku. Jujur saja, aku adalah tipe gadis yang sangat sulit jatuh cinta. Bisa dibilang bahwa aku sengaja menjaga jarak dengan hal absrak itu. Namun, aku masih gadis normal yang menyukai laki-laki. Untungnya demikian.

Namun, kali ini entah kenapa lain ceritanya. Aku sudah banyak berubah. Benteng yang aku bangun dengan ratusan gembok kini sedikit demi sedikit terkikis nyaris runtuh. Mungkin diriku mulai sadar akan siklus hidup manusia yang disebut pernikahan. Walau siklus itu sifatnya tidak begitu krusial, namun yang namanya tuntunan agama, mau bagaimana lagi?

Animo masyarakat yang mungkin hingga saat ini masih gencar menebar rumor. Menggunjing, menyinggung tentang istilah perawan tua. Dan lagi pertanyaan-pertanyaan serupa yang seringkali terdengar menyebalkan, tentang kapan aku menikah. Saran-saran serta desakan para tentangga desa yang menyuruhku untuk menyegerakan yang memang sudah seharusnya disegerakan. Apa lagi? Menikah.

Namun, aku bergeming. Sisi lain dari diriku berpikir keras tentang hal itu, sebagian sisi yang lain acuh.

Apa sih bagusnya menikah cepat-cepat? Aku sungguh tak mengerti jalan pikiran orang-orang tua di jaman ini. Apa setelah menikah, akan bisa menjamin kehidupan seseorang bahagia ke depannya? Begitu sembrono orang-orang itu berkata tentang masa depan. Mengomentari setiap jengkal kehidupan orang lain. Tak adakah sedikit nurani di sana? Perasaanku bukan mesin. Yang bisa seenak hati mereka nyala-matikan. Bahkan mesin pun bisa rusak jika terus-menerus diperlakukan tidak semestinya.

Jujur aku bingung. Real, apakah dia memang benar akan menjadi nyata turut andil di masa depanku kelak? Ataukah dia hanya sekedar menjadi nyata di sela-sela bayang-bayang ketakutanku akan kehidupan berumah tangga?

Ingin ku menghindar. Melarikan diri sejauh yang aku bisa. Menghindari petaka yang alih-alih dibungkus dalam kotak takdir yang indah berpita merah jambu ini. Berkilauan, menusuk mataku. Membutakan.

Hentikan! Tolong hentikan! Aku sudah muak dengan semua kegilaan si Cupid brengsek itu!

Argh! 

***

Jumat, 17 Maret.

Dari balik jendela perpustakaan, lagi-lagi, secara kebetulan, aku melihatnya. Siapa lagi?

Real.

Habis dari mana dia?

Real memarkir motornya. Jaket denim melengkapi penampilannya hari itu. Tanpa sadar, mataku terus mengamatinya. Menelusuri tiap detail perilakunya hingga ia menghilang dari jangkauan mata.

Tak penting sekali aku penasaran tentang semua yang dilakukannya. Namun, selalu saja hati tak pernah sejalan dengan pikiran. Rasa penasaran tak terhindarkan. Selalu begitu. Selalu saja membuatku pusing. Lelah didera rasa penasaran yang tak jelas.

Siang hari, saat jam pulang kerja, lagi-lagi, secara kebetulan, dan dalam tempo waktu yang bersamaan, aku dan dia sama-sama keluar ruangan, berjalan menuju tempat parkir.

Lagi-lagi dia tersenyum santun. Otakku, oh kenapa. Jantungku, oh kenapa. Aku tak suka begini. Rasa ini begitu menggangguku.

Menyebalkan!

Untuk kesekian kalinya, takdir mengujiku. Takdir mempermainkan perasaanku. Ketika aku sudah ingin menyerah, menghindar, bahkan mencoba mengacuhkannya, tapi kenapa selalu saja dia terlihat, tertangkap pandangan mataku. Kenapa?

Tak berhenti batinku merutuk. Masih saja ku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin Tuhan katakan padaku melalui rentetan kebetulan ini?

***

Author : Dymar Mahafa

#OneDayOnePostBatch2

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori