You are REAL - 14

Getar aneh menyebalkan. Deret kebetulan yang mendebarkan. Semua itu terjadi begitu nyata di depan kedua mataku. Entah kenapa aku tak bisa berhenti merekamnya. Tapi yang pasti aku masih belum bisa meyakininya. Meyakini kebetulan ini. Yah, kita sebut saja seperti itu. Aku kurang suka dengan istilah 'takdir'. Lebih tepatnya, belum. Aku belum berniat untuk membubuhkan diksi itu ke dalam kisah kusut ini.

Real.

Sosok yang begitu memikat, sekaligus juga membingungkan. Terkadang tak bisa ku mengerti jalan pikirannya. Meski begitu, entah kenapa aku berusaha keras untuk memahami setiap detail perilaku angkuhnya itu.

Real.

Dia baik, ramah dan menyenangkan. Pandai bergaul, cerdas serta punya rupa yang sempurna. Tampan. Tinggi badannya nyaris sama denganku. Hanya saja terkadang aku merasa bahwa dia seinchi lebih pendek dariku. Apalagi jika aku mengenakan pantofel hak enam senti. Terlihat jelas bahwa aku yang lebih tinggi.

Samar-samar ku ingat bulan apa waktu itu. Sekitar bulan Oktober kah? Atau September? Entahlah. Aku tak begitu jelas mengingatnya.

Ah, tidak, tidak. Waktu itu bulan Desember. Ya, aku ingat. Lebih tepatnya, hari sabtu. Hari naas untuk kaum single abadi. Jomlo.

"Mau pulang, Bu Dara?" sapa Real ketika kami kebetulan ada di area parkir. Seperti biasa, senyum khasnya tak mau ketinggalan.

Aku mengiyakan. Lirih sekali suaraku saat itu. Rasanya nyaris tak mau keluar. Tercekat. Terdengar aneh. Mengimbangi rasa gugup karena sapaannya yang tiba-tiba itu membuat jantungku bekerja lebih keras dari biasanya.

Dia memarkir motor salah seorang guru yang baru saja ia pakai entah kemana. Kemudian setelah menyapaku dengan senyum mautnya itu, dia berlalu. Kesan angkuh dan acuh, mendominasi setelahnya.

Dua langkah.

Ku toleh sosoknya. Hanya punggung yang bisa terlihat dari tempatku berdiri.

Lima langkah.

Aku hendak memundurkan motorku, ketika tiba-tiba dia berbalik.

"Oh, iya! Modem saya yang di Bu Dara kemarin lusa itu, sudah selesai belum? Mau dipake soalnya. Buat persiapan UNBK." katanya. Kesan tegas dan ramah kembali ia munculkan.

Modem itu padahal milik sekolah. Dengan angkuhnya ia sebut itu sebagai modemnya?

"Oh, iya!" aku menempelkan telapak kiriku di dahi. "Maaf, Mas. Saya lupa. Besok saya kembalikan." kataku dengan sungkan. Aku memang benar-benar lupa saat itu. Oke, sengaja lupa.

Sial. Reflekku buruk sekali. Aku memanggil dia dengan sebutan apa tadi? Mas? Seharusnya kan 'Pak'! Karena dia memanggilku dengan 'Bu'.

Ya, ampun, Dara!

Ah, aku sungguh menyesal. Tak habis-habisnya aku merutuki ucapanku.

Salah satu hal yang membingungkanku sekaligus membuatku heran adalah ini. Cara dia memanggilku, yang terkadang tidak aku sukai.

Dia itu kaku sekali.

Memang benar sih jika di lingkup sekolah kita dianjurkan untuk memanggil dengan sebutan Pak dan Bu. Tanpa terkecuali. Namun itu hanya dilakukan ketika kita ada di depan siswa. Selebihnya, tidak bisakah dia sedikit lebih santai dengan memanggilku 'Mbak' saja, jika sedang tidak di depan siswa, ketimbang panggilan 'Bu'? Tidak bisakah begitu?

Tidak. Tentu saja tidak. Jangan pernah sekalipun kalian berharap demikian pada manusia itu. Karena dia akan tetap memanggilku dengan sebutan 'Bu' di sekolah ini. Tak peduli apakah kami sedang di depan siswa, di depan para guru dan staff, ataupun ketika kami sedang berdua saja. Dia tak akan pernah mengubah panggilannya padaku. Karena apa? Tahu sendiri kan dia siapa? Siapa lagi?

Real.

Begitulah sifatnya. Kurang luwes. Kesannya seperti aku ini sudah jauh lebih tua darinya. Padahal kita ini seumuran. Rasanya tidak adil. Karena dia memanggil Bu Ratri dan Bu Lita dengan sebutan 'Mbak'. Padahal beliau-beliau itu sudah jauh lebih tua darinya, bahkan usia beliau-beliau sudah berbeda kepala dengan usianya. Sementara aku yang masih muda, dipanggilnya 'Bu'.

Bukan Real namanya jika sikapnya tidak menyebalkan. Sok formal. Sok berlagak sopan. Memang benar sih jika dia adalah laki-laki yang sangat sopan serta santun. Saking sopannya, sungguh, terkadang ingin rasanya aku— ah, sudahlah, tak penting. Geregetan sekali aku dibuatnya.

Real jelek!

"Oh, nggak apa-apa kok, nggak keburu juga perlunya. Masih sekitar dua minggu lagi." jelas Real seraya menunjukkan keramah-tamahan.

"Oh, iya, Pak. Saya lupa mau ngembalikan waktu kemaren-kemaren itu. Maaf—"

Belum sempat aku menyelesaikan kata maafku, dia langsung berlalu begitu saja setelah melempar senyum mautnya yang biasa.

REAAALLL...!

Lihat sendiri, kan? Siapa yang tidak geregetan setelahnya? Jangan salahkan jika nantinya aku membuat satu boneka voodo dengan ukiran namanya. Argh! Manusia es jelek! Sok cool, sok keren, sok penting! Dasar!

Real jelek!

Hari sabtuku dengannya. Sabtu yang menyenangkan. Ya, betapa lemahnya diriku. Bahkan setelah perlakuannya yang menyebalkan itu, masih saja aku menganggapnya tampan dan menyenangkan.

Sabtu pertamaku dengannya. Siapa lagi?

Real.

Apa kalian pikir aku sedang bermimpi? Tidak, ini bukan mimpi. Bukan pula imajinasi. Ini realita. Dan Real adalah satu sosok nyata yang pernah ada. Dia spesies langka yang patut dilestarikan. Dan sialnya, hanya aku yang bersikukuh membangunkan suaka margareal untuknya. Dimana aku membangunnya? Di hati ini, tentu saja. Semua ini karena siapa? Siapa lagi?

Real. Lagi-lagi dia.

Apa kalian tidak bosan dengan namanya?

***

Author : Dymar Mahafa

#OneDayOnePostBatch2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori