You are REAL - 6

Berkisah tentang Real serasa tak ada habis-habisnya penaku menari. Aku berharap kalian segera bosan dan jenuh membaca kisah ini, sehingga aku bisa mengunci kisah ini di tempat lain. Namun seringkali harapan tak sesuai dengan realita. Kalian tetap saja menanti-nantikan kelanjutannya. Bukan aku terlalu percaya diri atau sudah merasa jadi penulis kondang profesional. Tapi jika aku boleh mengajukan satu pertanyaan, sebenarnya apa sih yang kalian sukai dari kisah klise kusut ini?

Real.

Sosoknya begitu rupawan. Menarik hati siapapun yang memandangnya.

Real.

Berwibawa sekaligus penuh pesona saat pertama kali kalian bertemu dengannya.

Semua itu adalah kesan yang akan kalian rasakan diawal pertemuan. Dan memang itu yang dulu aku rasakan. Pasti ada saja yang membuatku tersipu bila ada dekat dengannya. Itu jauh sebelum aku terlibat perbincangan dengan Real.

Rangkaian kejadian enam bulan yang lalu, kembali memenuhi pikiranku. Ini terjadi sebelum aku mengenal sosok Real. Dan kejadian ini juga merupakan satu tanda awal bahwa Tuhan adalah Maha Perencana Yang Baik.

Hari itu tepat satu bulan aku bekerja sebagai pembina ekstra di SMP Negeri Ringinrawa. Dan sekaligus sudah dua hari ini aku menikmati usiaku yang baru. Dua puluh empat tahun. Usia yang sudah bisa dibilang matang untuk dinikahkan. Sampai detik ini, belum juga jodoh Tuhan sampai di tanganku. Namun aku percaya bahwa Tuhan sudah mempersiapkan jodoh untuk tiap-tiap hamba-Nya. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk meragukan janji itu.

Lalu, di suatu siang, tiba-tiba ada sesuatu yang mengejutkan. Dan sekaligus akan mempengaruhi baik buruknya nasibku beberapa bulan ke depan.

Hari itu Kamis. Kepala Sekolah menelepon.

Ada apa, ya? 

Mengernyit, segera ku tekan tombol hijau. "Halo? Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam. Mbak Dara?"

"Nggih, Pak?"

"Siang ini Mbak Dara tolong ke sekolah, nggih? Bisa?"

"Nggih, Pak. Bisa. Jam pinten mangke?"

"Kalau 2 jam lagi gimana? Sekarang jam 10, berarti nanti sekitar jam 12. Begitu, bisa?"

"Nggih, Pak. Saget. Ngapunten, wonten perihal menopo, Pak?"

"Yaa wes pokoknya ada, penting. Saya pengen membicarakan sesuatu. Gitu saja ya, Mbak. Saya tunggu nanti jam 12."

"Oh inggih, Pak."

"Suwun..."

Klik!

Pak Ariono ingin membicarakan sesuatu denganku? Dan lagi, penting? Tentang apa? Berbagai pikiran negatif seketika menyeruak dalam benakku.

Ada apa ya Big Boss nyuruh ke sekolah?

Apa mungkin ada masalah?

Apa kinerjaku kurang sesuai?

Apa aku nggak memenuhi syarat untuk menjadi pegawai di sana?

Atau...

Jangan-jangan...

Aku akan di— p-pe... cat? 

Ah, tidak, tidak! Dara, jangan ngomong sembarangan! Positive thinking Dara, positive thinking!

***

Selama perjalanan, pikiranku tertuju pada kejadian tepat dua belas bulan yang lalu. Tak terasa sudah satu tahun.

Ketika itu bulan September. Masih segar ingatanku tentang detail kejadian kala itu.

"Mbak Dara, saya ingin bicara empat mata saja dengan Mbak. Silahkan duduk." Bu Ana, Kepala Sekolah SDN Ciptomangun, memanggilku ke ruangannya.

Aku duduk. Sama sekali tak ada firasat buruk terbersit di benakku ketika itu. Aku tetap tenang. Atau terlalu naifkah sikapku? Sehingga kurang bisa bersikap peka dalam menanggapi situasi semacam ini.

"Begini Mbak, kemarin saya habis rapat dengan para jajaran KS seluruh Kecamatan. Keputusan terbaru hasil rapat, mengatakan bahwa sekolah-sekolah untuk sementara waktu ini tidak boleh menerima pegawai baru ataupun GTT terlebih dulu. Apalagi untuk GTT Bahasa Inggris. Karena ada kebijakan baru bahwa seiring dengan akan dijalankannya Kurikulum 2013, otomatis nanti mata pelajaran Bahasa Inggris akan dihapus untuk SD. Dan lagi, karena masih diberlakukannya moratorium, maka pihak pemerintah daerah sementara melarang adanya pegawai baru yang direkrut secara intern."

Jeda sejenak, sebelum Bu Ana kembali menjelaskan.

"Nah, mumpung belum terlanjur, Mbak Dara di sini kan masih satu bulan. Daripada nanti terlanjur lama menetap di sini dan tidak ada masa depan, dalam arti karena memang tidak akan ada pengangkatan PN untuk GTT Bahasa Inggris di SD, untuk itu saya sarankan Mbak Dara coba untuk melamar di sekolah-sekolah lain, jenjang SMP atau SMA sederajat.

Sebelumnya saya mohon maaf sekali. Karena saya sangat menyayangkan. Kalau terlanjur lama mengabdi, tapi tidak ada masa depan pasti, kan sama saja saya menghambat karir panjenengan. Sebagai atasan, saya berharap Mbak Dara bisa mendapat tempat yang lebih baik. Dalam artian punya prospek bagus untuk jangka waktu jauh ke depan.

Begitu yang bisa saya sampaikan. Dan sekali lagi saya mohon maaf karena dulu saya pernah memberi janji kepada Mbak Dara bahwa setelah 6 bulan nama Mbak otomatis akan terdaftar sebagai pegawai tetap, namun ternyata belum bisa terwujud."

Hening. Aku diam, masih menyimak. Sementara Bu Ana mengakiri penjelasannya. Butuh waktu bagiku, karena cukup rumit kepalaku mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh atasanku itu. Dari semua penjelasan panjang lebar dan sedikit berputar-putar itu, intinya hanya satu.

Aku dipecat!

Aku menghela napas dalam hati. Aku tahu bahwa sebentar lagi aku akan diusir dari sekolah ini. Karena baru saja atasanku menyuruhku untuk hengkang dari sini secara halus. Dengan bahasa birokrasi yang cukup rumit dan berbelit.

Beberapa bulan kemudian, aku mengetahui bahwa alasan sebenarnya aku diberhentikan bekerja sebagai GTT bukanlah hanya karena kebijakan moratorium, namun ada satu lagi alasan lain yang memaksa Kepala Sekolah SD itu untuk "membuang"ku dari sana. Karena 3 bulan setelah aku dipecat, seorang GTT baru telah direkrut untuk menggantikanku mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris.

Entah apa alasan sebenarnya dibalik misteri pemecatan itu. Ada kemungkinan karena skandal kekerasan guru atau karena sebab lain yang lebih buruk sampai memaksa seorang Kepala Sekolah menyingkirkan orang baru sepertiku. Karena sepertinya aku telah difitnah, kemudian buktinya telah sengaja disabotase dengan sempurna.

Aku berhak berburuk sangka akan segala kemungkinan terburuk. Karena bisa jadi itu adalah faktor inti yang menyebabkanku dipecat. Aku sadar betul akan posisiku. Aku bukanlah siapa-siapa di sana. Pangkat dan jabatan apa yang aku sandang? Tidak ada.

Aku hanyalah sebuah robot yang bisa kapan saja disingkirkan ketika sudah tidak bisa difungsikan sesuai kebutuhan. Aku hanyalah seekor semut yang bisa kapan saja dimusnahkan dengan sekali sentilan. Ibarat tumbal untuk persembahan ritual.

Namun, bukan berarti aku memendam dendam atas kejadian itu. Aku punya satu pemikiran yang lebih sehat. Mungkin tempatku memang bukan di sana. Tuhan sudah mempersiapkan tempat yang jauh lebih baik setelah ini. Takdirku akan jauh lebih indah setelah ini.

Aku selalu berdoa dalam renung. Dan doa-doa itu akhirnya didengar juga oleh-Nya. Semesta berpihak padaku. Dewi fortuna tersenyum menyapaku. Tangan-tangan Tuhan saling beruluran sehingga bisa membawaku ke tempat kerja yang baru, SMP Negeri Ringinrawa yang terletak di pusat kota.

Sejak kejadian itu, aku punya sedikit trauma akan panggilan Kepala Sekolah. Seperti yang tengah aku jalani siang ini.

Tepat pukul 12 aku tiba di sekolah. Sesuai janji, aku langsung menuju Tata Usaha. Menunggu atasanku yang masih ada rapat di ruang sebelah.

"Silahkan duduk." kata Pak Ariono setelah aku memasuki ruang Kepala Sekolah.

Aku duduk. Canggung. Gugup. Seakan aku tengah berhadapan dengan aparat kepolisian di ruang pemeriksaan.

"Jadi begini," Pak Ariono memulai.

Aku menelan ludah, fokus menyimak seraya jantung ini tak mau berhenti menabuh gong raksasa.

Apa sesuatu yang aku takutkan akan kembali terulang?

***

Catatan kaki:
1. Nggih / Inggih = iya
2. Pinten = berapa
3. Mangke = nanti
4. Saged = bisa
5. Ngapunten = mohon maaf
6. Wonten = ada
7. Menopo = apa
8. Wes = sudah (Jawa Ngoko)
9. Suwun = makasih
10. Panjenengan = anda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Lara dan Alam Lain

Dia Dan Alegori