You are REAL - 3
Satu kejadian konyol kembali mewarnai hari-hariku di sekolah. Hari jumat keramat. Hari itu adalah hari terakhir ujian try-out berbasis komputer. Mata pelajarannya Ilmu Alam.
Diawali dengan suatu pagi yang membahagiakan. Bagiku, tentu saja. Aku menjabat tangannya pagi ini. Tangan siapa lagi? Tangan Real.
Hanya sekilas, namun terasa. Terasa apa maksudnya? Terasa kelembutannya. Duh, tangannya saja lembut, apalagi aspek-aspek yang lain. Tunggu, aku himbau kepada kalian untuk tetap berpikiran positif. Maksudku dengan aspek lain adalah perilaku dan sifatnya serta caranya memperlakukan wanita bisa jadi juga halus, lembut.
Bukan hanya kita berdua yang ada di depan kelas lantai dua. Tapi juga ada guru-guru yang lain, yakni yang bertugas sebagai pengawas ruangan. Jadi kalian tidak bisa menghakimi orang ketiga adalah kalian. Ups, setan.
Sesi satu dan dua bisa aku lewati dengan lancar. Tanpa kendala yang berarti. Sedangkan sesi terakhir, yakni sesi ketiga, akan dilanjutkan setelah ibadah jumat. Karena jarak rumah-sekolah cukup dekat, aku pun pulang untuk ishoma.
***
Siang hari pun juga adalah momen yang membekas di benakku. Karena, sekali lagi takdir serasa mengaduk perasaanku. Mengobrak-abrik kewarasan otakku. Menjangkiti hati dan perasaanku. Penyakit merah jambu; cinta.
Real datang setelah aku naik ke lantai dua. Bisa ku lihat dia dari atas sini, memarkir vixion hitamnya. Sambil lalu, sempat ia mendongak. Sosokku tertangkap matanya.
Jantungku. Tak karuan. Sungguh. Bahkan saat ia berjalan menghampiriku di koridor lantai dua, ku alihkan perhatianku. Pura-pura tak ku hiraukan dirinya. Aku malu!
"Tadi nggak pulang, Mbak Dara?" pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya, memecah keheningan.
"Pulang, Mas. Ini barusan kembali ke sini." jawabku seraya tertawa lemah.
Bisa ku tangkap ekspresi wajahnya yang sedikit gugup, namun dengan sempurna ia tutupi.
"Emm.. ruang berapa, Mbak?" tanyanya seraya memilah segepok kunci.
"Ruang empat." jawabku seraya ku tunjuk pintu ruangan tepat di belakangku.
Aku tetap berada di luar setelah Real membuka pintu. Karena hanya ada kami berdua di sini. Aku tak ingin tersebar rumor yang tidak-tidak nantinya.
Real sibuk menyalakan server dan beberapa sambungan listrik. Aku melongok dari luar.
"Nanti sesi tiganya dimulai jam berapa, Mas?"
"Setengah dua." jawabnya. "Pengawas ruangannya belum ada yang datang kok, Bu."
"Oh."
Lalu, hening kembali. Aku benci jika dia memanggilku "Bu" saat sedang berdua. Kesannya sok formal sekali, padahal cara bicaranya saja terkesan santai.
Setelah dia keluar ruangan, baru aku masuk ke dalam. Aku mengecek segalanya. Dari dalam sini, bisa ku lihat Real masih di koridor luar. Entah mungkin untuk sekedar menungguiku kalau-kalau aku membutuhkan bantuannya terkait komputer. Atau mungkin itu hanya imajinasiku saja. Terserahlah, aku tak peduli.
Sesi tiga belum dimulai, tapi sudah ada kendala di sini. Salah satu laptop siswi, terbalik tampilan layarnya. Aduh, sebagai pengendali hati, ups, maksudku server, aku masih sangat kurang dalam hal-hal semacam itu. Lebih tepatnya aku sudah lupa tentang beberapa pengetahuan IT yang telah aku dapatkan di bangku SMK dulu.
Keadaan genting. Aku harus segera minta bantuan kepada teknisi ruangan yang notabene lebih berhak menangani masalah teknis serta kendala terkait. Kebetulan hari ini Real yang bertugas sebagai teknisi di ruangan ini.
Bukan maksud untuk modus atau mencari-cari alasan supaya bisa bertemu dengannya. Segera aku hubungi dia melalui panggilan WhatsApp. Karena, di awal dia sudah berpesan: "Kalo ada apa-apa, langsung WA saya aja, Mbak."
Oke, sudah aku hubungi. Dan tidak tersambung. Ku dial sekali lagi. Tersambung, namun tak diangkat. Aku menghimbau kepada para siswi yang terjangkit kendala serupa untuk menunggu sebentar.
Telepon masih tersambung, namun tidak kunjung dijawab. Tiba-tiba Real sudah ada di depan pintu. Terengah. Atau tidak, ya? Entah, aku tak begitu ingat.
"Ada apa, Bu Dara?"
"Ini Pak, ada yang layarnya terbalik tampilannya." kataku, agak panik.
Real kelihatan bingung. Langsung ku persilahkan untuk mengecek.
Saat dia melihatnya langsung, terlihat sekali kalau dia terkejut. Ekspresinya lucu sekali. Masih jelas ku ingat.
"Kenapa Pak Real? Kok kelihatannya takut sekali." goda Bu Dwi, pengawas ruangan. Seisi kelas sontak tertawa.
Segera Real menangani laptop yang bermasalah tersebut. Siswi terkait terlibat perbincangan dengannya.
"Nggak tau, Pak. Ini sudah begini dari tadi." jawab siswi tersebut.
Real ragu-ragu. Aku bisa memahami dari bahasa tubuhnya bahwa ini pertama kalinya dia menemui kendala seperti itu.
"Wah ini, layar kebalik, kok ya pas BAB-nya ini." celetuk salah seorang siswa laki-laki menekankan kata "ini" diakhir kalimat.
Di layar yang terbalik itu, terpampang uraian soal nomor satu. Menampilkan satu gambar yang membuat seisi kelas sontak berubah menjadi lautan gelak tawa.
"Alat reproduksi wanita." timpal salah seorang yang lain.
Real pun tak ketinggalan. Ia mendenguskan tawa lemah melihat tingkah polah siswa siswi kelas 9.
Real masih mencari cara. Ia pura-pura mengutak-atik panel-panel yang ada. Hanya untuk mengulur waktu. Bahkan ia sampai membalik fisik laptop, karena kurang nyaman mengoperasikan panel dengan tampilan terbalik.
Gengsinya tinggi sekali. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Tapi di saat genting seperti ini seharusnya dia segera menghubungi teknisi yang lain yang lebih mengerti, jika memang sudah mentok tidak paham, agar penanganan bisa dilakukan lebih cepat.
Satu menit terbuang, masih ku biarkan ia begitu. Namun ujian tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Waktu terbuang sama dengan merugikan siswa.
Segera ku buka google pada smartphone di tanganku. Aku cari informasi terkait problema layar terbalik tersebut. Dan ketemu! Hanya dalam hitungan detik. Entah kenapa hal ini tak terpikir olehku di awal. Jika tahu begini, maka aku tak perlu memanggil Real ke sini. Namun, prosedur tepatlah prosedur. Harus diikuti sesuai aturan ujian yang sudah disepakati.
Tanpa pikir panjang, segera ku tunjukkan informasi itu pada Real.
"Coba ini, Pak Re." ku sodorkan ponsel ke arahnya. "Ctrl, Alt, panah." imbuhku.
Real tidak fokus pada ponselku, ia segera menerapkannya segera setelah aku mengucapkan tombol pintasan untuk mengembalikan layar ke posisi semula.
Setelah selesai, dia berdiri mengecek laptop yang lain dari deret belakang. Keringat membasahi pelipisnya. Ia menghela napas serta sedikit terengah. Cuaca begitu panas, ditambah dengan rasa panik yang tiba-tiba menyerang. Entah kenapa aku bisa memahami keadaannya hanya dengan sekali lihat. Bukan karena apa-apa. Mungkin ini yang disebut kecerdasan emosi sosial.
"Saya kembali ke bawah dulu, Bu." kata Real setelah memastikan semuanya normal.
"Oh, iya, Pak. Terimakasih." kataku agak sungkan.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Aku mengumpat dalam hati berulang kali. Ah, bodohnya aku!
***
(bersambung...)
Diawali dengan suatu pagi yang membahagiakan. Bagiku, tentu saja. Aku menjabat tangannya pagi ini. Tangan siapa lagi? Tangan Real.
Hanya sekilas, namun terasa. Terasa apa maksudnya? Terasa kelembutannya. Duh, tangannya saja lembut, apalagi aspek-aspek yang lain. Tunggu, aku himbau kepada kalian untuk tetap berpikiran positif. Maksudku dengan aspek lain adalah perilaku dan sifatnya serta caranya memperlakukan wanita bisa jadi juga halus, lembut.
Bukan hanya kita berdua yang ada di depan kelas lantai dua. Tapi juga ada guru-guru yang lain, yakni yang bertugas sebagai pengawas ruangan. Jadi kalian tidak bisa menghakimi orang ketiga adalah kalian. Ups, setan.
Sesi satu dan dua bisa aku lewati dengan lancar. Tanpa kendala yang berarti. Sedangkan sesi terakhir, yakni sesi ketiga, akan dilanjutkan setelah ibadah jumat. Karena jarak rumah-sekolah cukup dekat, aku pun pulang untuk ishoma.
***
Siang hari pun juga adalah momen yang membekas di benakku. Karena, sekali lagi takdir serasa mengaduk perasaanku. Mengobrak-abrik kewarasan otakku. Menjangkiti hati dan perasaanku. Penyakit merah jambu; cinta.
Real datang setelah aku naik ke lantai dua. Bisa ku lihat dia dari atas sini, memarkir vixion hitamnya. Sambil lalu, sempat ia mendongak. Sosokku tertangkap matanya.
Jantungku. Tak karuan. Sungguh. Bahkan saat ia berjalan menghampiriku di koridor lantai dua, ku alihkan perhatianku. Pura-pura tak ku hiraukan dirinya. Aku malu!
"Tadi nggak pulang, Mbak Dara?" pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya, memecah keheningan.
"Pulang, Mas. Ini barusan kembali ke sini." jawabku seraya tertawa lemah.
Bisa ku tangkap ekspresi wajahnya yang sedikit gugup, namun dengan sempurna ia tutupi.
"Emm.. ruang berapa, Mbak?" tanyanya seraya memilah segepok kunci.
"Ruang empat." jawabku seraya ku tunjuk pintu ruangan tepat di belakangku.
Aku tetap berada di luar setelah Real membuka pintu. Karena hanya ada kami berdua di sini. Aku tak ingin tersebar rumor yang tidak-tidak nantinya.
Real sibuk menyalakan server dan beberapa sambungan listrik. Aku melongok dari luar.
"Nanti sesi tiganya dimulai jam berapa, Mas?"
"Setengah dua." jawabnya. "Pengawas ruangannya belum ada yang datang kok, Bu."
"Oh."
Lalu, hening kembali. Aku benci jika dia memanggilku "Bu" saat sedang berdua. Kesannya sok formal sekali, padahal cara bicaranya saja terkesan santai.
Setelah dia keluar ruangan, baru aku masuk ke dalam. Aku mengecek segalanya. Dari dalam sini, bisa ku lihat Real masih di koridor luar. Entah mungkin untuk sekedar menungguiku kalau-kalau aku membutuhkan bantuannya terkait komputer. Atau mungkin itu hanya imajinasiku saja. Terserahlah, aku tak peduli.
Sesi tiga belum dimulai, tapi sudah ada kendala di sini. Salah satu laptop siswi, terbalik tampilan layarnya. Aduh, sebagai pengendali hati, ups, maksudku server, aku masih sangat kurang dalam hal-hal semacam itu. Lebih tepatnya aku sudah lupa tentang beberapa pengetahuan IT yang telah aku dapatkan di bangku SMK dulu.
Keadaan genting. Aku harus segera minta bantuan kepada teknisi ruangan yang notabene lebih berhak menangani masalah teknis serta kendala terkait. Kebetulan hari ini Real yang bertugas sebagai teknisi di ruangan ini.
Bukan maksud untuk modus atau mencari-cari alasan supaya bisa bertemu dengannya. Segera aku hubungi dia melalui panggilan WhatsApp. Karena, di awal dia sudah berpesan: "Kalo ada apa-apa, langsung WA saya aja, Mbak."
Oke, sudah aku hubungi. Dan tidak tersambung. Ku dial sekali lagi. Tersambung, namun tak diangkat. Aku menghimbau kepada para siswi yang terjangkit kendala serupa untuk menunggu sebentar.
Telepon masih tersambung, namun tidak kunjung dijawab. Tiba-tiba Real sudah ada di depan pintu. Terengah. Atau tidak, ya? Entah, aku tak begitu ingat.
"Ada apa, Bu Dara?"
"Ini Pak, ada yang layarnya terbalik tampilannya." kataku, agak panik.
Real kelihatan bingung. Langsung ku persilahkan untuk mengecek.
Saat dia melihatnya langsung, terlihat sekali kalau dia terkejut. Ekspresinya lucu sekali. Masih jelas ku ingat.
"Kenapa Pak Real? Kok kelihatannya takut sekali." goda Bu Dwi, pengawas ruangan. Seisi kelas sontak tertawa.
Segera Real menangani laptop yang bermasalah tersebut. Siswi terkait terlibat perbincangan dengannya.
"Nggak tau, Pak. Ini sudah begini dari tadi." jawab siswi tersebut.
Real ragu-ragu. Aku bisa memahami dari bahasa tubuhnya bahwa ini pertama kalinya dia menemui kendala seperti itu.
"Wah ini, layar kebalik, kok ya pas BAB-nya ini." celetuk salah seorang siswa laki-laki menekankan kata "ini" diakhir kalimat.
Di layar yang terbalik itu, terpampang uraian soal nomor satu. Menampilkan satu gambar yang membuat seisi kelas sontak berubah menjadi lautan gelak tawa.
"Alat reproduksi wanita." timpal salah seorang yang lain.
Real pun tak ketinggalan. Ia mendenguskan tawa lemah melihat tingkah polah siswa siswi kelas 9.
Real masih mencari cara. Ia pura-pura mengutak-atik panel-panel yang ada. Hanya untuk mengulur waktu. Bahkan ia sampai membalik fisik laptop, karena kurang nyaman mengoperasikan panel dengan tampilan terbalik.
Gengsinya tinggi sekali. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Tapi di saat genting seperti ini seharusnya dia segera menghubungi teknisi yang lain yang lebih mengerti, jika memang sudah mentok tidak paham, agar penanganan bisa dilakukan lebih cepat.
Satu menit terbuang, masih ku biarkan ia begitu. Namun ujian tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Waktu terbuang sama dengan merugikan siswa.
Segera ku buka google pada smartphone di tanganku. Aku cari informasi terkait problema layar terbalik tersebut. Dan ketemu! Hanya dalam hitungan detik. Entah kenapa hal ini tak terpikir olehku di awal. Jika tahu begini, maka aku tak perlu memanggil Real ke sini. Namun, prosedur tepatlah prosedur. Harus diikuti sesuai aturan ujian yang sudah disepakati.
Tanpa pikir panjang, segera ku tunjukkan informasi itu pada Real.
"Coba ini, Pak Re." ku sodorkan ponsel ke arahnya. "Ctrl, Alt, panah." imbuhku.
Real tidak fokus pada ponselku, ia segera menerapkannya segera setelah aku mengucapkan tombol pintasan untuk mengembalikan layar ke posisi semula.
Setelah selesai, dia berdiri mengecek laptop yang lain dari deret belakang. Keringat membasahi pelipisnya. Ia menghela napas serta sedikit terengah. Cuaca begitu panas, ditambah dengan rasa panik yang tiba-tiba menyerang. Entah kenapa aku bisa memahami keadaannya hanya dengan sekali lihat. Bukan karena apa-apa. Mungkin ini yang disebut kecerdasan emosi sosial.
"Saya kembali ke bawah dulu, Bu." kata Real setelah memastikan semuanya normal.
"Oh, iya, Pak. Terimakasih." kataku agak sungkan.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Aku mengumpat dalam hati berulang kali. Ah, bodohnya aku!
***
(bersambung...)
Asyiik nih..
BalasHapusBaca sebelumnya dah
terimakasih mbak Wid. selamat datang kembali. selamat membaca.. 😃👼
BalasHapus