My "Big Bang"

Titik ini pasti pernah dialami oleh semua manusia. Titik ini membawa mereka pada kesedihan yang dalam, keterpurukan seringkali menghantui mereka, bahkan beberapa ada yang berpikir bahwa hidupnya tidak berharga. Titik ini memaksa manusia berpikir negatif tentang dirinya.

Titik ini bernama titik terendah dalam hidup manusia. Aku pribadi menyebutnya dengan "Big Bang".

Apakah aku ini sampah?
Apa seharusnya aku tidak dilahirkan?
Apa gunanya lagi aku hidup?
Apa mereka bahkan peduli jika aku tidak lagi ada di dunia?

Pergolakan batin seperti itu yang seringkali menghantui manusia setiap malam. Sebelum manusia terlelap, air mata selalu menemani tidur mereka. Isakan tertahan adalah lagu pengantar tidur yang begitu membekas di benak mereka. Suara keras bentakan, cacian, makian, serta keegoisan selalu saja tanpa henti menghancurkan tiap senti harapan manusia.

Apakah itu semua ujian hidup yang harus manusia jalani?
Ya, tentu saja aku mengerti.
Bahwa semua itu adalah cobaan dari-Nya.
Aku mengerti betul bagaimana perasaan itu.
Karena... aku pernah mengalaminya.

Kala itu, seingatku aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Samar-samar tak bisa ku ingat detail kejadiannya. Namun ingatan itu terasa seperti baru ku alami kemarin.

Aku menangis. Terisak diantara pertengkaran orangtuaku. Karena saat itu aku masih kecil, jadi aku sungguh tidak mengerti kenapa orang dewasa sering bertengkar. Otak kecilku terus bertanya: Sebenarnya apa yang mereka pertengakarkan? Dan kenapa harus saling menyakiti perasaan satu sama lain dengan adu argumen yang bahkan sedikitpun tak ku mengerti maksudnya. Aku lelah dengan debat mereka yang tak pernah berujung damai.

Kenapa mereka begitu?

Apa aku tak lebih penting dari percekcokan mereka?

Apa mereka sedikitpun tak memikirkan perasaanku?

Batinku sesak. Hatiku hancur. Terasa menusuk-nusuk hingga ulu hati, setiap kali mereka saling mencaci di depanku. Aku lelah terus meratapi sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu mengapa aku menjadi sehancur ini.

"Pa— Ma— sudah.." lirihku di sela-sela isak tangis yang kian memilukan.

Tenggorokanku tercekat. Rasanya seperti ada sesuatu tak kasat mata tersangkut di tenggorokanku dan tak mampu ku telan. Kelu. Namun ego mereka tetap mereka junjung tinggi. Makian kian keras terdengar. Sekali lagi, hujaman rasa sakit dalam batinku kian memuncak. Aku menangis semakin keras.

Entahlah, rasanya sakit sekali. Sekujur tubuhku gemetar hebat. Rasa takut ekstrim menyerang jantungku. Tuhan, tolong aku!

"Sini, udah cup nggak boleh nangis. Setelah Papa ngurus semuanya. Kamu harus ikut Papa. Ya?" ujar Ayah seraya menyambar tangan mungilku.

"Nggak bisa. Kamu harus ikut Mama." Ibu menarik tanganku yang lain.

Tangisku tak terbendung lagi.

"Sekarang pilih. Kamu lebih pilih Papa atau Mamamu?" tanya Ayah padaku.

Ayah memberiku pilihan yang tak masuk akal. Dalam otak kecilku, aku berpikir keras. Namun masih saja tak ku mengerti keadaan apa ini. Pilihan yang sulit. Aku harus jawab apa?

"Nggak mau. Nggak mau dua-duanya!" kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutku.

Aku berlari menjauh. Keluar rumah, terus berlari. Mememui nenekku yang tinggal di
rumah sebelah. Dan sesi diam telah ku jalani. Aku terbiasa diam membisu dan lebih memilih meringkuk dalam duniaku sendiri.

Suatu sore, kami bertiga duduk bersama. Entah ada angin mana, tiba-tiba aku melontarkan satu pernyataan yang cukup mencengangkan bagi orang dewasa seperti mereka.

"Aku pilih Papa sama Mama. Jangan bertengkar lagi ya, Pa, Ma. Ayo salaman dulu, tanda damai." ujarku seraya menyatukan kedua tangan mereka.

Ayah dan Ibu sekilas tersenyum.

"Nah gitu dong."

Keesokan harinya, pertengkaran kembali tak terelakkan. Mereka mengulanginya lagi, setelah berdamai.

Jadi, siapa yang anak kecil di sini?
Aku atau mereka?

***

Beberapa tahun telah berlalu, dan sekarang aku adalah seorang guru. Aku banyak berubah. Aku menjadi semakin kuat sekarang. Kuat hati, kuat jiwa. Dari segala yang berniat menghalangi jalanku menuju puncak kesuksesan.

Aku mulai belajar bagaimana cara memahami manusia lain dari murid-muridku yang terkasih. Mengenal perasaan takut yang tak jelas, menjadi lebih berani daripada dulu. Semua karena anak-anak itu, murid-muridku. Mereka seakan mengajariku bagaimana menghilangkan rasa sakit dalam hidupku. Mereka membantuku melupakan semua hitam dalam ingatanku. Ya, setidaknya untuk sementara.

Keluargaku masih tetap utuh. Walau tetap saja diwarnai dengan perselisihan. Sekarang aku mengerti. Bahwa ketika dua orang yang berpasangan terlalu saling mencintai satu sama lain, sebanyak apapun mereka berselisih, namun mereka tetap tidak ingin berpisah. Dan semua itu karena apa? Karena mereka punya aku. Mereka bertahan demi buah hatinya.

Namun, bukan berarti aku ingin mengikuti jejak perjalanan cinta mereka. Bisa aku katakan bahwa aku hanya terinspirasi dengan bagaimana mereka kuat bertahan.

Suatu ketika, aku ingin memberikan hadiah kecil untuk menghibur murid-muridku, karena mereka kalah dalam satu perlombaan.

Dan satu kalimat yang tak akan pernah hilang dari ingatanku yang masih segar, keluar deras bagai keran air, dari mulut wanita yang melahirkanku 24 tahun yang lalu.

"Buat apa kok kamu malah repot-repot kasih barang sepele kayak gitu ke orang lain? Kamu bahkan nggak pernah kasih Mama apa-apa! Sudah cepet sekarang kamu bersih-bersih dan cuci piring sebelum kamu berangkat!" maki Ibu suatu sore ketika aku tengah sibuk berkutat dengan buku-buku dan lusinan pensil yang aku bungkus rapi dengan koran.

"Kenapa sih kamu itu nggak bisa kayak anak-anak temen Mama? Yang apa-apa nggak perlu disuruh dan diperintah, sudah tahu tugasnya dirumah untuk bantu perkerjaan rumah orangtuanya. Sedangkan kamu? Masih nunggu diperintah, kalo nggak diperintah nggak jalan. Kayak robot!"

Tidakkah wanita itu menyadari, apa yang telah aku berikan padanya?
Terlepas dari materi, aku telah berusaha sangat keras untuk mencapai impianku menjadi seorang guru. Dan impian itu sedikit demi sedikit mendekati nyata. Tidakkah wanita itu melihat perjuangan anak perempuannya? Tidakkah ia bangga pada anaknya? Yang telah memberinya suatu kehormatan seorang ibu. Tidakkah ia bangga mempunyai anak yang sukses dan kini menjadi tenaga pendidik? Jika demikian adanya, lalu apa gunanya wanita itu melahirkanku? Satu pertanyaan yang tak bisa ku sampaikan padanya.

Aku lebih memilih diam. Aku tidak suka berdebat dengan wanita itu. Yang selamanya tidak akan pernah bisa memahami pemikiran darah dagingnya sendiri. Wanita itu lebih bangga dan memuji-muji anak orang lain, terlebih membandingkan aku dengan anak orang lain. Tidakkah wanita itu tahu bahwa setiap anak terlahir berbeda? Mereka punya keunikan masing-masing. Yang tak bisa seenaknya dijadikan bahan perbandingan dan dilecehkan secara psikologis seperti itu.

Sekali lagi, aku hanya diam.

Yang harus ku lakukan adalah hal yang sudah biasa aku lakukan, yakni mengobati luka batinku. Perlahan-lahan. Lagi dan lagi. Entah sampai berapa juta goresan luka yang akan mereka berdua toreh, aku sudah tak peduli lagi. Yang ku butuhkan hanyalah diriku sendiri. Sejauh apapun impianku, akan terus ku kejar demi anak-anakku kelak. Karena aku tidak ingin mereka mengalami hal serupa seperti yang telah aku alami saat dulu dan sekarang.

***

Ditulis Oleh : Dymar Mahafa
#OneDayOnePostBatch2
#TantanganMbakRaidaODOP

Komentar

  1. Terimakasih untuk berbagi kisah yang luar biasa ini mba... sangat menyentuh dan inspirasi sekali, huwaaaaa... baper tingkat tinggi sayah :((

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih kembali Mom.. semoga sebagai ortu,bisa memberi teladan yang baik untuk generasi berikutnya. 😊

      Hapus
  2. Balasan
    1. terimakasih mbak Wid, sudah berkenan mampir dan baca. ☺

      Hapus
  3. Hiksss.... Mungkin aku ga sekuat mbak dymar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. 😃 ah nggak juga kok mbak, aku nggak sekuat itu... 😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori