You are REAL - 12

Hening.

Di ruang penuh buku ini hanya ada aku dan dia. Siapa lagi?

Real.

Itu sudah menjadi kebiasaannya setiap pukul sebelas siang. Ia selalu duduk terpekur membisu di sudut meja perpustakaan pada jam istirahatnya. Untuk sejenak menenangkan diri dari penatnya beban pikiran pengerjaan data dapodik sekolah. Ia tidak akan buka suara jika tidak ditanya.

Tak berselang lama, Kepala Sekolah memasuki ruang perpustakaan. Pak Ariono menyalamiku dan Real, sebelum duduk di bangku agak tengah dari meja lebar perpustakaan. Aku duduk di meja kerjaku, di samping pintu masuk. Jadi posisi duduk kami berdua berada pada satu garis lurus dengan Pak Ariono di tengah. Seakan menjadi benteng diantara kami.

"Mbak Dara," Pak Ariono memulai.

Aku sudah hafal tabiat beliau. Jika kemari, pasti ada sesuatu hal penting yang perlu dibahas. Mengingat ruangan ini ada di gedung bagian utara pojok belakang, jadi Kepala Sekolah tak mungkin berpayah-payah jalan ke sini jika tidak ada hal yang begitu krusial.

"Nggih, Pak?" jawabku siaga.

"Gimana pelatihan Mbak Dara dengan Mas Hamid? Sudah sampai mana bimbingan Digital Library-nya?"

Sekilas ku lihat, Real juga tengah menyimak. Ia tidak lagi sibuk dengan ponsel pintarnya. Mungkin agaknya sungkan dengan Big Boss.

"Sejauh ini sudah sampai penginputan buku koleksi perpus dan penginputan member perpus, Pak." jelasku.

"Gimana? Lancar?"

"Iya, Pak. Tapi, nuwun sewu, ini ada saran dari Pak Hamid. Supaya input anggota perpus bisa dilakukan lebih cepat, saya membutuhkan file data lengkap siswa, guru dan karyawan di sini dalam bentuk excel, Pak. Apakah boleh?"

"Oh, itu. Bisa. Semua file-nya ada di Mbak Dina, di Waka. Iya, Mas Real? Data lengkap siswa-guru-karyawan masih tersimpan, ya, di Waka?"

"Oh, ada, Pak. Masih."

"Ini, tolong, Mbak Dara di-copy-kan file-nya, ya. Mbak Dara, langsung saja ini minta data lewat Mas Real juga bisa."

"Oh, nggih, Pak." jawabku dan Real hampir bersamaan.

Kemudian Pak Ariono pun berlalu.

Tinggal kami berdua lagi di ruangan ini. Aku dan laki-laki itu. Siapa lagi?

Real.

Berdua duduk saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Mengenai data itu, apakah jika kalian jadi aku, kalian akan langsung buka suara dan bertanya basi-basi pada orang ini? Baiklah, jika itu yang sudah biasa kalian lakukan. Aku tak menghakimi. Silahkan saja, itu hak kalian.

Tapi, maaf saja, aku tidak seterbuka itu. Apalagi untuk sekedar berbasa-basi dengan lawan jenis. Aku lebih memilih diam. Toh, nantinya aku masih bisa meminta data itu dari pegawai lain, siapa tadi namanya? Mbak Dina? Ya, siapapun itu yang jelas meminta data darinya terasa lebih bijak, karena dia seorang wanita.

Dan nantinya, aku tidak harus berurusan dengan rumor yang macam-macam. Karena gosip tentang 'kedekatan' ku dengan Real, sudah menyebar setidaknya hampir ke separuh penghuni kantor. Di satu sisi, entahlah apakah aku harus senang atau merasa terancam. Namun, di sisi lain aku merasa sedikit risih.

Aku tidak suka jika nantinya gosip itu akan berubah menjadi omongan miring yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dan pada akhirnya mengancam ketidakberlangsungan masa kerjaku di sekolah ini. Aku masih anak bawang, pegawai daun muda, masih baru. Ingat, kan? Jadi aku tak berani banyak tingkah.

Mungkin kalian berpikir bahwa aku terlalu berlebihan, terlalu memendam kekhawatiran yang tak beralasan. Namun tahukah kalian, aku serba repot. Serba salah. Aku harus melawan rasa antisosialku sekaligus mengendalikan rasa gugup dihadapan laki-laki itu. Belum lagi menghilangkan getar-getar aneh dan gejala kesemutan yang mengerumuni hati serta pikiranku, setiap kali aku berada dekat dengannya. Tak tahukah betapa sulitnya mengatasi semua itu dalam satu waktu? Coba saja jika kalian merasa ini mudah.

"Mbak Dara ada flashdisk?"

Aku terkesiap. Gelagapan aku menanggapi pertanyaannya. Tak ku sangka dia akan memecah keheningan secara mendadak. Kenapa tiba-tiba dia buka suara? Tidak tahukah jika rasa gugupku semakin tak terkendali?

"Ada, Mas." jawabku, berusaha terdengar biasa saja. Mati-matian aku menahan getar aneh itu. Cupid jelek! Berani sekali kau kembali berulah. Awas ya!

"Keburu dipakai nggak datanya?" tanyanya kemudian.

"Oh, enggak kok, Mas. Nggak keburu." jawabku biasa saja. Padahal di dalam sini, gemuruh detak jantung kian mendera, tak mau reda.

"Kalo nggak keburu, saya ada flashdisk di Waka. Besok saya copy-kan sekalian." kata Real. Seperti biasa, nada bicaranya terkesan mengatur, tegas dan lugas. Langsung ke intinya. Aku hanya mengiyakan perkataannya, seraya mengucapkan terima kasih.

Lalu, hening.

Tak ada lagi suara diantara kami berdua. Hingga akhirnya aku menyibukkan diri dengan buku-buku, sementara dia tetap diam di sana. Duduk bertemankan ponsel.

Lihat sendiri, kan? Lagi-lagi Tuhan mendekatkan kami, aku dan dia. Siapa lagi?

Real.

Rentetan kebetulan, ketidaksengajaan, serta sepak terjang si Cupid jelek itu, kembali mengukir hari-hariku di sini. Khususnya di ruangan penuh buku di sekolah ini. Sekolah almamater yang dulu pernah membesarkan namaku dalam ajang perlombaan seni lukis. Kini waktuku mengabdikan diri, sebagai tanda bakti atas kecintaanku pada sekolah ini. Bisa bekerja di sini adalah satu kehormatan tersendiri.

Ngomong-ngomong, kejadian tadi itu adalah saat pertama kalinya aku dan dia bertukar lisan, pertama kalinya kami mengobrol.

Berdua! Empat mata saja.

Apa aku boleh membanggakan momen langka ini? Sudah, tak perlu dijawab.

Suaranya. Suara Real. Dari dekat terdengar sangat berbeda. Aku menyukai warna suaranya. Jenis suara laki-laki tipe tribble dengan kombinasi bass yang pas. Begitu khas, namun tetap terkesan maskulin. Ternyata dia bisa ngomong juga, ya. Aku pikir dia akan membisu selamanya.

Dari situ terlintas satu kesimpulan dalam otakku bahwa kita sebenarnya serupa. Mirip. Hanya di beberapa aspek saja, tidak sepenuhnya sama. Yang jelas kita adalah dua spesies yang sama-sama pendiam, tak banyak buang aksara.

Real.

Dia memang pendiam, namun terkadang bisa juga banyak bicara. Nada bicaranya terkesan angkuh, saat kalian belum lama mengenalnya. Dia suka tertawa lepas, namun dengan tetap menjaga etiket santun. Tidak sampai berlebihan. Dan aku selalu suka dengan warna suara tawanya yang khas itu.

Baiklah, biarkan misteri tetap rapi pada tempatnya. Abaikan jika kisah ini akan semakin klise dan kusut nantinya. Persiapkan diri kalian untuk hal terburuk yang akan terjadi. Masih banyak sekali potongan-potongan misteri serta arti kebetulan yang belum terkuak tentang dia. Siapa lagi?

Real.

Ah, sudah. Apa kalian masih belum merasa bosan dengan kumpulan benang merah yang kusut ini?

You sure?

***

Author : Dymar Mahafa

#OneDayOnePostBatch2

Komentar

  1. Hhii... Kpn nyambungnya klo sama2 diem..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, iya tuh mbak Ci. Saya sebagai author-nya juga turut prihatin. (lho?) 😅😃

      makasih mbak Ciani sudah mampir..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain