You are REAL - 13

Pagi itu, sebuah kebetulan yang lain kembali menyapaku. Bukan menyapa, lebih tepat jika aku sebut mengejek, memporak-porandakan pertahanan kekukuhanku akan petuah orangtuaku. Siapa lagi yang bisa melakukannya? Memangnya karena siapa lagi? Aku yakin kalian sudah hafal benar.

Real.

Kemeja batik dominan merah lembut dengan ornamen lukisan abstrak yang khas. Batik yang biasa ia kenakan setiap hari kamis. PTT seperti kami, belum mendapat jatah seragam batik khas sekolah. Jadi untuk hari-hari kamis, jumat dan sabtu kami mengenakan batik bebas.

Aku dan dia seringkali mengenakan batik yang serupa di hari yang sama. Contohnya seperti hari itu. Hari kamis. Kami mengenakan batik dengan motif dan warna yang serupa. Kombinasi merah lembut yang mengarah ke warna merah jambu.

Sekali lagi karena kebetulan.

Kebetulan itu terus berlanjut hingga aku hafal koleksi pakaian dinas yang ia kenakan ke sekolah setiap harinya.

Namun, seiring waktu berlalu, kebetulan yang lain saling tumpang tindih. Menyela, seolah ingin juga ikut andil melengkapi kisah klise kusut ini.

Hari itu juga kebetulan adalah hari Kamis. Kebetulan kami tidak mengenakan batik yang sama. Pagi itu, satu kebetulan yang lain mengejekku. Aku dan dia berpapasan di koridor lantai dua. Kebetulan, hari itu adalah jadwal ujian percobaan anak-anak kelas sembilan, ujian Try Out.

Dari ujung tangga lantai atas itu sudah bisa ku lihat sosoknya yang berjalan menuju tangga turunan. Saat itu pukul 06:55. Ujian TO akan dimulai dalam lima menit.

Bagaimana penampilannya pagi itu? Batik merah jambu, bawahan hitam, pantofel warna senada, jam tangan sporty warna hitam melingkar di pergelangan kiri, ditambah earphone putih menyumpal kedua telinganya pagi itu. Secara keseluruhan dia sangat fasionable. Pandai bersolek, memantaskan penampilan. Dan lagi, dia tetap saja tampan.

Aku berpura-pura tak melihatnya. Ku buang pandanganku ke arah lain. Dia berjalan perlahan ke arahku, kemudian berhenti seraya melepas earphone. Aku pun juga ikut menghentikan langkah sejenak. Menunggu sepatah kata yang terucap dari mulutnya.

"Saya nitip kunci dua ruangan ini ya, Bu Dara." segerombol kunci ia pilah, untuk kemudian ia lepaskan dari kawanannya.

Aku hanya mengiyakan. Tak ku ucap sepatah kata lagi setelahnya.

"Nanti tolong Bu Dara bukakan kalau pengawas server sudah datang." tambahnya seraya menyerahkan kunci pertama.

Lagi-lagi aku hanya mengiyakan, seraya ku sambut kunci pertama darinya.

"Ini kunci ruang empat, ya, Pak?" tanyaku. Ku beranikan menatap matanya. Dan setelahnya, aku menyesal.

Tik tok. Oh, ya ampun, detak jantungku. Getar-getar aneh itu kembali menyerangku. Aku rasa setelah ini aku tak akan bisa bernapas dengan benar.

"Hm, iya sepertinya." jawabnya seraya tertawa lemah. Dia sendiri juga tidak hafal yang mana. Maklum, kuncinya banyak sekali.

Satu detik.

Sepasang mata yang indah.

Real menyerahkan kunci kedua. Tak sulit bagiku untuk menentukan yang mana kunci ruang empat. Karena di sepanjang koridor ini hanya ada dua ruang yang dipakai untuk ujian. Jadi, jika bukan kunci pertama, sudah pasti kunci kedua yang cocok.

Tiga detik.

Matanya begitu jernih. Argh, sial!

"Nanti tolong kuncinya Bu Dara bawa dulu saja, kalau sudah selesai nanti saya ke sini lagi. Ini sudah saya nyalakan semua servernya."

Lima detik.

Aku sungguh tidak fokus dengan apa yang dia katakan. Masa bodoh. Langsung ku iyakan saja. Aku terlalu sibuk menyelami retinanya. Apa aku sedang melihat oase air laut di matanya? Kenapa rasanya begitu menyejukkan. Oh, mataku. Sudah cukup, hentikan!

Tujuh detik. Dia melepas kontak mata.

Real berlalu. Tak lagi ku toleh ke belakang. Aku mencoba kembali bernapas. Napasku naik turun seperti telah bermil-mil jauhnya aku berlari. Ku hirup oksigen banyak-banyak, membuangnya perlahan. Terus ku ulangi hingga aku kembali tenang.

Sungguh satu pagi yang menyenangkan. Real. Lagi-lagi dia. Selalu saja begitu.

Aku berjalan menuju ruang ujian yang masih tertutup rapat. Pak Wahyu, selaku pengawas ruangan telah berdiri di balkon, menunggu dengan map merah ditangannya.

Bunyi klik dua kali, dan pintu ruang empat terbuka. Tapi, ah sial!

Kenapa yang ini tidak bisa?

Kuncinya macet. Tidak bisa dilepas.

***

Terdengar langkah kaki dan bayangan seseorang di ambang pintu, memasuki ruangan.

"Permisi Bu, mau pinjam sebentar."

REAL! 

Kaget aku. Segera ku beringsut minggir. Real ingin mengecek komputer server ruangan ini. Entah apa yang ingin dia pastikan, yang jelas getar-getar aneh itu kembali muncul. Menyiksaku.

Jantungku. Detaknya kian memburu. Tak bisa tenang. Aku berusaha keras mengabaikannya namun percuma saja. Apalagi dia ada tepat di sebelahku saat itu. Di sebelahku! Iya, siapa lagi?

Real.

Tak berani ku perhatikan apa yang tengah ia kerjakan di depan monitor server. Aku berpura-pura sibuk dengan ponselku. Berusaha keras mengabaikan debar aneh ini. Napasku mulai tak stabil. Gejala apa lagi kali ini? Aku masih normal, kan?

Dari sudut mataku, bisa ku lihat lengan kanannya yang tengah menggerak-gerakkan mouse. Lengan laki-laki. Lengan Real!

Hari itu ia mengenakan batik berlengan pendek. Sehingga aku bisa melihat pemandangan yang indah dan menyenangkan. Ampuni hamba-Mu, Tuhan. Lengannya gempal, namun tidak gemuk juga tidak terlalu kurus. Proporsional. Tidak berotot, namun terkesan kekar. Kulitnya bersih. Sepertinya dia pandai merawat diri.

Tiga menit berlalu.

Angin sejuk terasa, begitu mendamaikan.

Tiga menit tiga puluh detik.

"Sudah, Bu. Permisi." Real tersenyum sopan seraya berdiri.

Satu sudut otakku mengirimkan satu pesan. Aku teringat sesuatu.

"Pak Real, kuncinya tadi..."

"Oh, iya, mana?"

"Itu, Pak.. kok nggak bisa dicabut ya?"

Ya ampun, canggungnya aku.

Real berjalan menuju pintu. Aku mengikuti di belakangnya. Sebetulnya aku ingin tahu apa yang dia lakukan dengan kuncinya. Namun, tak bisa. Entahlah, posisi sedang tidak menguntungkan saja saat itu.

Lima detik, dan kunci itu sudah ada di genggaman tangannya.

"Lho, itu tadi gimana caranya, Pak?" gumamku lirih, nyaris tak terdengar.

"Ya?"

Sudah ku duga ia tak mendengarnya.

"Mas Real, —" Bu Ani, ketua TO, memanggil. Tepat ketika aku hendak buka suara. Mengulangi apa yang aku katakan. Ah, sudahlah. Tak penting juga lagipula. Untung saja dia tidak mendengarnya.

Lalu, Real pun berlalu.

***

TO sesi kedua. Memasuki menit ke lima puluh, dia kembali masuk ke ruangan. Siapa lagi?

REAL!

Kali ini dia tidak sendiri. Pak Ari yang jaga di ruang lima juga ikut mengecek ke sini.

Tanpa kata permisi, ia langsung saja meng-handle mouse. Spontan, aku kaget. Aku sama sekali tidak siap. Ku coba untuk tetap tenang, dan memperhatikan apa yang ia kerjakan.

"Nanti rekap nilainya disimpan di C ya, Bu Dara." Real mengambil alih mouse yang sebelumnya ku pegang.

"Oh, sekarang di C ya, Pak, menyimpannya?"

Belum selesai rasa heranku, karena biasanya data nilai ujian disimpan di direktori D atau E, Real meralat.

"Eh, kok C. Di E maksud saya." Tik tok, dia salah ucap. Apa mungkin karena gugup berada di dekatku? Jangan bermimpi, Dara. Fiuh, imajinasiku seringkali menyesatkan.

Real membuat folder beserta sub sub folder di dalamnya. Aku tetap diam duduk di kursi server. Melihat Real bekerja, lagi-lagi jantungku memberontak. Seakan juga ikut bekerja, bereaksi berlebihan tanpa aba-aba.

Lengan kiri Real. Bisa ku lihat secara nyata. Jarak kami hanya setipis kertas. Kenapa aku bodoh sekali, malah membeku di sini.

"Pak Ari, tolong njenengan lanjut nggih. Punya saya sendiri belum soalnya." ucap Real seraya berlari keluar.

Dasar. Sok sibuk sekali dia itu. Siapa lagi?

Real.

Atau...

Bukan karena kesibukannya itu. Bisa jadi itu hanya alasannya saja agar dia bisa segera menyingkir dari ruangan ini. Lebih tepatnya menghindariku. Karena tidak tahan dengan getar-getar aneh yang mendera. Begitukah? Tok-tok, hello?

Memangnya dia sepertimu? Jangan terlalu banyak berkhayal, Dara! 

Kebetulan. Kebetulan. Kebetulan.

Lagi-lagi kebetulan. Serasa ingin meledak jantungku dibuatnya. Tak pernah habis dikejutkan dengan sederet kebetulan.

Real.

Arti namamu, haruskah ku ganti juga dengan kebetulan? Sebuah kebetulan yang selangkah demi selangkah menjadi nyata. Ataukah fana? Ilusi cinta yang membutakan semata?

Yang mana yang harus aku percaya?

***

Author : Dymar Mahafa

#OneDayOnePostBatch2

Komentar

  1. Ya ampunnn dingin bgt real Itu ya. sementara hati dymar eh dara uda jedag jedug

    BalasHapus
    Balasan
    1. plis mbak, ini fiksi lho... 😃

      tengkyu mbak Dean, sdh sempatkan baca.. 😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain