Sepenggal Pagi yang Tak Biasa
Aku bernapas, sejuk partikel embun
Mengisi dinding-dinding sunyi dalam dada
Mencoba meresapi ritual mukadimah fajar dan dini
Bunyi merdu paruh-paruh mungil makhluk bersayap tertangkap pendengaran
Seperti biasa, seperti rutinitas yang tak ada beda
Seperti biasa, seperti hari-hari biasa, seperti hari-hari lusa
Damai, seperti pagi-pagi yang biasa
Aku menghela, masih saja aku kagum
Berdiri di hadapan, kokoh tegak makhluk tinggi menjulang
Kabut embun masih tak bosan menggodai sulur-sulurnya
Membasahi helai-helai bagian teduhnya yang hijau
Walau demikian kabut tak mampu menutupi kecantikan laku halus yang terpancar dalam dirinya
Kepalaku selalu angkuh mendongak
Seolah menantangnya adu kuat
Namun ia senantiasa merunduk
Seolah merangkulku dalam kerendahan hatinya yang bersahaja
Rasanya diriku tenggelam dalam damai bersamanya
Maksud hati membalas kemurahan hatinya
Namun satu demi satu aksaraku menghilang
Sebaris lisan coba ku tuturkan
Curah rasa syukurku padanya
Namun tak ada suara, tak kuasa aksara mewakili curah rasa
Bibir ini terkunci rapat entah mengapa
Ia bukan insan seperti aku, seperti engkau-engkau semua
Namun sejatinya, diri insan bersemayam dalam jiwanya
Bahkan dirinya lebih insan dari insan yang sesungguhnya
Biar ku katakan padamu selagi pendengaranmu belum tuli
Biar ku tunjukkan padamu selagi penglihatanmu belum buta
Biar ku jabarkan padamu selagi bibirku masih sanggup berucap
Seperti kasih yang tak menuntut balas
Ia memberi tanpa meminta
Udara bersih, juga pangan hasil jerih payah dirinya bebas engkau nikmati semuanya
Ia memberikannya dengan suka rela
Semua itu kau pikir dari mana mulanya?
Tidakkah lisanmu ingin mengucap syukur karenanya?
Seperti penjaga yang setia
Ia berdiri serta tumbuh
Merentangkan lengan-lengan cabangnya yang menganak sungai
Payung agung peneduh raga semua makhluk Sang Pencipta
Yang kasat maupun tak kasat mata
Namun apa
Habis manis sepah dibuang
Seringkali manusia lupa
Berucap "terima kasih" atau sejenisnya
Laku angkuh membutakan mata hati, menulikan telinga nurani
Seakan dirinya hanyalah objek
Yang bisa diperlakukan semena-mena
Di antara bising mesin pengerat raksasa
Batinku nelangsa
Raganya tersayat, pekak telinga
Ku dengar ia merintih, begitu memilukan
"Lindungi aku! Tolong!"
Entah mengapa aku tak mampu berbuat apa-apa
Kakiku serasa beku, membatu
Sementara lengking bising mesin pengerat kian buas merajalela
Aku kembali bernapas, menghela rasa bersalah
Mencoba mengabaikan sesak, benci, amarah
Namun percuma, tak ada guna
Mungkin keinginanku terlalu muluk
Siapa lagi yang sudi memberi udara bersih? Siapa?
Payung teduh menjelma lapang kekosongan
Terik sang surya mencubit-cubit kulit ari
Tak ada lagi nyanyi merdu makhluk mungil bersayap itu
Partikel embun melolong, membias ditelan kabutnya sendiri
Merindu lembar-lembar hijau penawar sendu
Sementara aku, membatu seperti patung
Hanya dirinya yang tetap tinggal saat semua menjauh pergi
Baiklah, semuanya boleh pergi
Kalian bebas berbuat sesuka hati
Karena kini semua tentang dirinya hanyalah tinggal memori
Payung teduh yang baik hati
Aku bernapas, bulir partikel serbuk kayu
Mengisi dinding-dinding hampa dalam dada
Tak lagi bisa ku resapi ritual mukadimah fajar dan dini
Pekak telinga semakin menjadi
Lengking bising mesin pengerat telah terpatri dalam benak memori
Bagai simfoni janggal, merusak indra pendengar
Tak lagi seperti biasa, rutinitas yang sama sekali berbeda
Tak lagi seperti biasa, hari-hari lusa yang penuh melodi seketika hambar
Lebih memilih mengakhiri bait simfoni yang belum usai
Meninggalkanku bersama benang kusut tak terurai bernama kejanggalan
Tak ada lagi yang sama
Sepenggal pagi yang tak biasa
Kediri, 22 Maret 2018. 10:22
Oleh: Dymar Mahafa
Mengisi dinding-dinding sunyi dalam dada
Mencoba meresapi ritual mukadimah fajar dan dini
Bunyi merdu paruh-paruh mungil makhluk bersayap tertangkap pendengaran
Seperti biasa, seperti rutinitas yang tak ada beda
Seperti biasa, seperti hari-hari biasa, seperti hari-hari lusa
Damai, seperti pagi-pagi yang biasa
Aku menghela, masih saja aku kagum
Berdiri di hadapan, kokoh tegak makhluk tinggi menjulang
Kabut embun masih tak bosan menggodai sulur-sulurnya
Membasahi helai-helai bagian teduhnya yang hijau
Walau demikian kabut tak mampu menutupi kecantikan laku halus yang terpancar dalam dirinya
Kepalaku selalu angkuh mendongak
Seolah menantangnya adu kuat
Namun ia senantiasa merunduk
Seolah merangkulku dalam kerendahan hatinya yang bersahaja
Rasanya diriku tenggelam dalam damai bersamanya
Maksud hati membalas kemurahan hatinya
Namun satu demi satu aksaraku menghilang
Sebaris lisan coba ku tuturkan
Curah rasa syukurku padanya
Namun tak ada suara, tak kuasa aksara mewakili curah rasa
Bibir ini terkunci rapat entah mengapa
Ia bukan insan seperti aku, seperti engkau-engkau semua
Namun sejatinya, diri insan bersemayam dalam jiwanya
Bahkan dirinya lebih insan dari insan yang sesungguhnya
Biar ku katakan padamu selagi pendengaranmu belum tuli
Biar ku tunjukkan padamu selagi penglihatanmu belum buta
Biar ku jabarkan padamu selagi bibirku masih sanggup berucap
Seperti kasih yang tak menuntut balas
Ia memberi tanpa meminta
Udara bersih, juga pangan hasil jerih payah dirinya bebas engkau nikmati semuanya
Ia memberikannya dengan suka rela
Semua itu kau pikir dari mana mulanya?
Tidakkah lisanmu ingin mengucap syukur karenanya?
Seperti penjaga yang setia
Ia berdiri serta tumbuh
Merentangkan lengan-lengan cabangnya yang menganak sungai
Payung agung peneduh raga semua makhluk Sang Pencipta
Yang kasat maupun tak kasat mata
Namun apa
Habis manis sepah dibuang
Seringkali manusia lupa
Berucap "terima kasih" atau sejenisnya
Laku angkuh membutakan mata hati, menulikan telinga nurani
Seakan dirinya hanyalah objek
Yang bisa diperlakukan semena-mena
Di antara bising mesin pengerat raksasa
Batinku nelangsa
Raganya tersayat, pekak telinga
Ku dengar ia merintih, begitu memilukan
"Lindungi aku! Tolong!"
Entah mengapa aku tak mampu berbuat apa-apa
Kakiku serasa beku, membatu
Sementara lengking bising mesin pengerat kian buas merajalela
Aku kembali bernapas, menghela rasa bersalah
Mencoba mengabaikan sesak, benci, amarah
Namun percuma, tak ada guna
Mungkin keinginanku terlalu muluk
Siapa lagi yang sudi memberi udara bersih? Siapa?
Payung teduh menjelma lapang kekosongan
Terik sang surya mencubit-cubit kulit ari
Tak ada lagi nyanyi merdu makhluk mungil bersayap itu
Partikel embun melolong, membias ditelan kabutnya sendiri
Merindu lembar-lembar hijau penawar sendu
Sementara aku, membatu seperti patung
Hanya dirinya yang tetap tinggal saat semua menjauh pergi
Baiklah, semuanya boleh pergi
Kalian bebas berbuat sesuka hati
Karena kini semua tentang dirinya hanyalah tinggal memori
Payung teduh yang baik hati
Aku bernapas, bulir partikel serbuk kayu
Mengisi dinding-dinding hampa dalam dada
Tak lagi bisa ku resapi ritual mukadimah fajar dan dini
Pekak telinga semakin menjadi
Lengking bising mesin pengerat telah terpatri dalam benak memori
Bagai simfoni janggal, merusak indra pendengar
Tak lagi seperti biasa, rutinitas yang sama sekali berbeda
Tak lagi seperti biasa, hari-hari lusa yang penuh melodi seketika hambar
Lebih memilih mengakhiri bait simfoni yang belum usai
Meninggalkanku bersama benang kusut tak terurai bernama kejanggalan
Tak ada lagi yang sama
Sepenggal pagi yang tak biasa
Kediri, 22 Maret 2018. 10:22
Oleh: Dymar Mahafa
Komentar
Posting Komentar