Semanggi Daun Empat
Renta rasa tak bernama terselip di antara detik-detik yang terus berdetak
Seolah meninggalkanku meringkuk bersama kesunyian
Angan penuh sesak akan andai dan tanya tanpa jawaban
Sebersit kesedihan atas nama kerinduan membunuhku perlahan
Entah sudah sekian purnama
Entah sudah berapa puluh kali sang surya muncul dan tenggelam
Siang yang hambar atau malam yang penuh air mata
Entah sudah berapa kali namamu terdaras dalam doa
Aku marah, anganku yang serakah
Gelisahku yang berkejaran
Tanda tanyaku yang terlampau besar
Air mata tak ubahnya hujan deras semalaman
Apa kau nyata, atau hanya ilusi semata
Raga tak ubahnya rumah kosong yang diperjual-belikan
Alih-alih menginginkan pemilik yang pantas, ia perlahan rapuh dalam penantian panjang
Hingga jadilah ia si buruk rupa
Yang tua, tak terawat dan catnya mengelupas
Masih pantaskah ia berharap
Masihkah ia diinginkan
Masihkah ia berharga
Akankah calon pemilik menyukainya
Sudikah calon pemilik merawatnya kelak
Hingga ia bukan lagi rumah yang kosong
Hingga ia menjadi rumah penuh suka cita
Hingga semanggi daun empat tumbuh subur di kakinya
Masih tak dapat ku percaya
Kaulah semanggi daun empat
Begitu sulit menemukanmu
Angin utara telah membawamu tersesat entah kemana
Gelenyar apa yang telah singgah dalam ruang kosong berwarna merah muda
Abstrak tak bertuan, menjelma sebagai belati di sela sayap lemah tak berdaya
Melumpuhkan indera, mencabik sukma
Seperti ada yang hilang dan tak lengkap
Aku tahu, angin utara tak menyesatkanmu
Ia hanya membawamu ke tempat singgah
Dimana kau bebas, dimana tanganmu terulur untuk impian
Ia mengantarmu dalam perjalanan panjang yang melelahkan
Sebelum akhirnya ia membawamu kembali pulang
Pergilah, doaku menyertaimu selalu
Kediri, 31 Maret 2018. 11:12
Oleh: Dymar Mahafa
Seolah meninggalkanku meringkuk bersama kesunyian
Angan penuh sesak akan andai dan tanya tanpa jawaban
Sebersit kesedihan atas nama kerinduan membunuhku perlahan
Entah sudah sekian purnama
Entah sudah berapa puluh kali sang surya muncul dan tenggelam
Siang yang hambar atau malam yang penuh air mata
Entah sudah berapa kali namamu terdaras dalam doa
Aku marah, anganku yang serakah
Gelisahku yang berkejaran
Tanda tanyaku yang terlampau besar
Air mata tak ubahnya hujan deras semalaman
Apa kau nyata, atau hanya ilusi semata
Raga tak ubahnya rumah kosong yang diperjual-belikan
Alih-alih menginginkan pemilik yang pantas, ia perlahan rapuh dalam penantian panjang
Hingga jadilah ia si buruk rupa
Yang tua, tak terawat dan catnya mengelupas
Masih pantaskah ia berharap
Masihkah ia diinginkan
Masihkah ia berharga
Akankah calon pemilik menyukainya
Sudikah calon pemilik merawatnya kelak
Hingga ia bukan lagi rumah yang kosong
Hingga ia menjadi rumah penuh suka cita
Hingga semanggi daun empat tumbuh subur di kakinya
Masih tak dapat ku percaya
Kaulah semanggi daun empat
Begitu sulit menemukanmu
Angin utara telah membawamu tersesat entah kemana
Gelenyar apa yang telah singgah dalam ruang kosong berwarna merah muda
Abstrak tak bertuan, menjelma sebagai belati di sela sayap lemah tak berdaya
Melumpuhkan indera, mencabik sukma
Seperti ada yang hilang dan tak lengkap
Aku tahu, angin utara tak menyesatkanmu
Ia hanya membawamu ke tempat singgah
Dimana kau bebas, dimana tanganmu terulur untuk impian
Ia mengantarmu dalam perjalanan panjang yang melelahkan
Sebelum akhirnya ia membawamu kembali pulang
Pergilah, doaku menyertaimu selalu
Kediri, 31 Maret 2018. 11:12
Oleh: Dymar Mahafa
Komentar
Posting Komentar