A.A.D.C #07

Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic?

#7

Dua tahun yang lalu…

“Eh, Ra. Lihat tu! Cowok itu lumayan keren juga ya ternyata.” bisik Siska histeris dari pinggir lapangan basket.

“Yang mana sih?” Sera celingukan mencari sosok pemuda keren yang dimaksud sahabatnya itu.

“Itu! Nomor punggung delapan.” Siska menunjuk menggunakan dagunya.

“Oh, yang itu. Ah, biasa aja. Gak keren-keren amat.” kata Sera datar. Ia kembali membenamkan dirinya pada buku dipangkuannya.

Siska melirik sekilas ke arah Sera. Ia menggeleng pelan melihat sahabatnya kembali sibuk dengan sebuah benda mati. Ia lebih suka menonton pertandingan basket yang sedang berlangsung di lapangan sekolah mereka saat ini. Lebih tepatnya, bukan jalannya pertandingan yang menjadi daya tariknya. Namun seorang pemuda bernomor punggung delapanlah yang menarik perhatiannya.

Pandangannya tidak lepas pada seluruh gerak-gerik pemuda itu. Pandangan memuja yang berlebihan. Matanya berbinar cerah. Ia seakan menganggap pemuda itu adalah suatu makhluk ciptaan Tuhan satu-satunya yang paling indah.

Hingga pertandingan selesai, pandangan mata Siska tetap tidak lepas mengikuti kemana sang pemuda pergi. Sedangkan Sera sama sekali tidak tertarik dengan basket. Ia hanya memenuhi permintaan sahabatnya untuk menemani Siska menonton pertandingan basket dari pinggir lapangan.

“Ra, Ra! Anterin kesana yuk.” Siska menarik-narik lengan Sera seraya bergegas berdiri.

“Hm? Kemana sih?” Sera tidak sempat menutup buku yang tengah dibacanya. Ia pasrah saat Siska menarik-nariknya sambil terus berjalan.

“Itu, kesitu tuh. Fotoin aku sama Ardi.” Siska menunjuk-nunjuk satu kerumunan dimana pemuda bernomor punggung delapan tadi sedang melayani para penonton perempuan yang ingin berfoto dengannya. Mereka bergantian berfoto dengan pose alay masing-masing.

Sudah bisa ditebak bahwa sosial media sebentar lagi akan penuh dengan foto-foto unggahan mereka. Sampai pada giliran Siska, Sera yang mengambil foto mereka berdua menggunakan ponsel Siska. Setelah Siska mengucapkan terima kasih, sang pemuda berjalan memunggungi mereka.

Sekilas Sera membaca nama di balik punggung kaos basket yang dipakai sang pemuda.

Leonardi.

Dilihat dari warna kaosnya, pemuda itu adalah anggota tim basket dari sekolah lawan, pikir Sera.

“Apa sih hebatnya dia itu sampai-sampai para cewek-cewek di sekolah kita pada minta foto bareng?” Sera berbicara lebih kepada dirinya sendiri. Ia menggumam lirih. Nada bicaranya terdengar sinis.

“Ya ampun, kamu belum tahu? Dia itu gak cuma jago main basket. Rangkingnya juga tinggi lho di kelas. Katanya sih dia pernah ikut kompetisi MIPA tingkat provinsi dan dapet juara 2. Gak cuma atletis tapi juga brilian. Gimana? Ardi keren kan?” terang Siska dengan berapi-api. Ia terus mengelu-elukan Ardi seolah-olah Ardi itu adalah seorang artis papan atas yang sedang naik daun.

Sera hanya diam sebagai respon. Ia tidak begitu tertarik dengan cerita tentang Ardi atau siapapun itu.

“Oh, iya. Ntar pulang sekolah aku mau ke perpus Kota. Mau ngembaliin buku ini. Jadi ikut nggak?” tanya Sera seraya mengacungkan buku berjudul ‘Bumi Manusia’ karya Pramoedya A.T.

“Kayaknya aku nggak jadi ikut deh, Ra. Pulang sekolah aku ada les. Maklum Mama pengen aku belajar giat buat persiapan UN. Gimana nih? Gak apa-apa kan kamu sendiri?” kata Siska dengan sangat menyesal.

“Oke, no problem. Tapi, lain kali kita pergi bareng lho.” kata Sera.

“Pasti. Aku berhutang satu sama kamu, Ra. Makasih lho udah ditemenin nonton basket tadi.” kata Siska riang sambil mengacung-acungkan ponselnya. Ia tersenyum senang.

“Nonton basket apa nonton pemainnya?” goda Sera. Seketika mereka berdua tergelak.

# # #

Semua orang terlihat sangat tenang membaca buku di bangku berderet yang panjang di ruangan itu. Perpustakaan Kota pada siang hari itu cukup ramai pengunjung. Sera bergegas menuju meja petugas. Ia hendak mengembalikan buku yang sudah seminggu lebih dipinjamnya. Sera mengantri sejenak karena si petugas perpustakaan saat ini sedang melayani pengunjung lain.

“Pak, saya cari buku yang judulnya ‘Bumi Manusia’ pengarangnya Pramoedya Ananta Toer. Apa masih ada bukunya?” tanya seorang pengunjung laki-laki. Ia memakai pakaian bebas rapi. Namun sepintas ia terlihat seperti siswa SMP, sama dengan Sera. Sang petugas terlihat sedang sibuk mencari di database komputer untuk mengecek ketersediaan buku itu.

“Mohon maaf, Dek. Buku itu masih berstatus dipinjam dan belum kembali.” kata sang petugas.

“Ini Pak, saya yang meminjam ‘Bumi Manusia’.” kata Sera dari samping si pemuda. Petugas menerima buku itu untuk diproses.

Sementara menunggu, Sera dan si pemuda menunggu dalam diam. Namun detik berikutnya dengan waktu yang hampir bersamaan, Sera menoleh untuk melihat siapa pemuda di sampingnya. Dan begitu pula sebaliknya, si pemuda juga menoleh ke arah Sera. Mereka berdua ragu-ragu saling tunjuk.

“Leo… Leonardi?”

“Kamu kan… yang tadi…?”

Mereka berdua terkesiap karena mengatakan sesuatu secara bersamaan. Sera tidak menyangka akan bertemu dengan sang pemain basket bernomor punggung delapan itu di sini. Di perpustakaan. Ia heran, jarang sekali ada anak yang suka olahraga sekaligus hobi membaca. Yah, entahlah. Bagi Sera itu tidak penting. Ia lebih suka mengurus urusannya sendiri.

“Aku sebenarnya tadi mengincar buku ini, sewaktu di sekolahmu tadi. Aku sudah lama ingin membacanya. Karya sastra lama yang langka. Kamu suka baca karyanya Pram?”

“Aku sih bukan tipe pemilih kalau soal buku. Aku baca semua buku. Menurutku semua buku menarik.” jawab Sera singkat, padat, jelas.

“Wah, bagus itu. Ngomong-ngomong aku Ardi. Kamu?”

“Sera.” jawabnya seraya menjabat tangan Ardi.

“Silahkan Dek, kartunya. Terima kasih sudah bersedia mengembalikan buku tepat waktu.” sang petugas kembali memberikan Kartu Pelajar kepada Sera.

“Adek jadi pinjam buku ini?” tanya si petugas kepada Ardi. Ardi pun mengangguk. Ia menyodorkan Kartu Pelajar miliknya kepada si petugas.

“Kalau begitu, aku duluan ya.” kata Sera kepada Ardi. Ardi hanya balas tersenyum dan anggukan singkat.

Sera menunggu mobil angkutan umum di depan gedung perpustakaan. Ia biasa pulang pergi naik kendaraan umum, karena memang di usianya saat ini belum diperbolehkan mengendarai motor. Belum cukup umur untuk punya SIM, begitu kata Ayahnya.

“Lho? Belum pulang?” sapa seseorang. Sera menoleh ke arah sumber suara.

“Eh, Ardi. Iya nih, masih nungguin angkot lewat.”

“Angkot kok ditungguin,” Ardi tergelak. “Jurusan mana?” lanjutnya kemudian. Sera menyebutkan daerah tujuan angkot yang hendak ia tumpangi.

“Oh, situ. Kalau gitu bareng aku aja. Kita searah. Yok!” ajak Ardi. Ia menunjuk sebuah motor di pelataran parkir sebelah gedung.

“Naik motor?!” Sera memekik pelan. “Kamu kan belum punya SIM.” Lanjutnya seraya menatap ngeri pada Ardi.

“Tenang aja. Gak bakal kena polisi kok. Aku biasa lewat jalan tikus. Buat jaga-jaga aku juga bawa SIM-nya kakakku.” Ardi meringis. Sera baru sadar kalau Ardi sedari tadi memakai pakaian bebas. Rupanya dia sudah punya persiapan matang untuk melanggar peraturan lalu lintas, begitu pikirnya.

“Ng-nggak usah deh, Di.” kali ini Sera yang meringis. Ia ngeri membayangkan nanti jika tertangkap polisi waktu di jalan. “Lagipula aku gak bawa helm, kan? Bisa gawat kalau ketahuan polisi.” Jelas Sera. Ia menolak halus tawaran Ardi.

“Tenang.” dalam sekejab muncul sebuah helm dari dalam bagasi motornya. Ia mengeluarkannya bak pesulap yang tengah mengeluarkan kelinci dari dalam beaver hat.

“Nih.” Ardi menyodorkan helm itu pada Sera.

“Beneran nih aman?” Sera masih ragu-ragu.

“Aman.” Ardi mengangguk yakin.

Detik berikutnya, Sera sudah berada di jalan raya dengan Ardi yang sedang menyetir di depannya. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol sambil sesekali bercanda ringan. Dari situ Sera tahu bahwa Ardi adalah murid pindahan dari luar kota. Ia pindah kemari karena ayahnya yang dipindahtugaskan. Sera merasa nyambung saat berbincang ringan dengan Ardi. Seperti ada sesuatu yang ‘klik’ di antara mereka.

Sera mengucapkan terima kasih sesampainya di depan rumah. Ia menyerahkan kembali helm milik Ardi. Kemudian, Ardi pamit. Ia kembali melajukan motornya.

Tanpa mereka berdua ketahui, sepasang mata menatap tajam tengah mengawasi mereka. Mata itu menatap benci pada Sera. Pemilik mata itu adalah Siska.

[ Akhir dari part #7 ]

~Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic?~

Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain