A.A.D.C #12
Ada Apa Dengan si Cyber-a-holic?
#12
Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Sera membalas komentar di
statusnya. Namun masih belum ada balasan dari LA Badboy. Sera penasaran
sebenarnya siapa pemilik akun itu. Ia sudah mengorek segala informasi tentang
si pemilik akun asing itu. Namun ia masih saja tidak bisa menemukan sesuatu
yang mengindikasikan bahwa si pemilik akun adalah orang yang ia kenal. Sera
mencoba mencari kemungkinan kalau-kalau LA Badboy itu punya mutual friend dengannya.
Namun, semua kemungkinan itu nihil. Tidak ada satupun teman yang sama di daftar
pertemanan si pemilik akun asing itu.
Sera melihat kembali sebaris balasannya di bawah komentar di
statusnya. Ia membacanya berulang-ulang. Hanya untuk memastikan kalau apa yang
ia tulis masih masuk dalam taraf normal dan sopan.
LA Badboy:
Sera W.? Sera
Widayogi kah ini?
SERA W.:
Maaf, ini siapa?
Kok tau nama lengkapku?
Sera menekan tombol reload untuk memuat ulang halaman
itu. Tapi tetap saja tidak ada notifikasi yang muncul. Artinya si pemilik akun
tengah offline saat ini. Atau mungkin ini hanya sekedar komentar iseng?
pikir Sera. Ia mengedikkan bahu seraya meletakkan smartphone-nya di atas meja.
Dunia cyber memang terkadang membingungkan. Dan seringkali tidak masuk akal.
Namun, itu semua jauh lebih baik jika dibandingkan dengan dunia nyata Sera yang
ia rasa begitu memuakkan.
Sera membaringkan kepalanya tanpa bantal. Ia menangkupkan lengan
menutupi matanya. Suara pertengkaran orangtuanya samar-samar terdengar. Ayahnya
semakin keras berteriak. Ibunya pun semakin gencar membentak. Ada apa
sebenarnya dengan suasanan di rumah ini? Sera lelah. Hatinya sakit setiap kali
mendengar mereka bertengkar.
Tapi, memangnya ia bisa apa? Apa yang bisa ia lakukan untuk
memperbaiki semuanya? Apa yang bisa ia lakukan untuk membuat segalanya menjadi
lebih baik? Apa yang setidaknya bisa ia lakukan untuk melerai mereka berdua? Ia
terus mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan itu di otaknya. Namun,
jawabannya nihil. Tidak ada. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Karena semua yang
ia lakukan hanya akan memperburuk keadaan.
Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah diam. Diam dan
menunggu waktu yang akan menjawab semuanya. Ia hanya perlu memejamkan mata.
Hanya dengan begitu semuanya akan kembali seperti semula ketika ia membuka
matanya esok hari. Berharap jika apa yang terjadi hari ini hanyalah mimpi. Ya,
hanya mimpi. Mimpi buruk yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Hanya itu
yang Sera harapkan. Tidak lebih.
Namun, rupanya Tuhan tidak mendengar permohonannya saat ini.
Sera mendengar suara benda pecah belah yang terbanting. Diikuti dengan suara
keras pintu ruang tamu yang dibanting menutup. Sayup-sayup Sera mendengar
ibunya menangis. Meski begitu, Sera tetap bergeming. Ia tetap memejamkan
matanya erat. Berpura-pura tidur. Air mata mengalir turun ke sisi wajahnya.
Membasahi lengan yang berada di wajahnya. Sera menangis dalam diam.
“Ibu, aku butuh uang untuk membeli buku.” kata Sera keesokan
paginya. Ia dan ibunya tengah duduk berhadapan di ruang makan.
“Minggu lalu kamu beli buku, sekarang buku lagi?! Buat apa beli
banyak buku kalau akhirnya nilaimu tetap di bawah rata-rata, hah?” bentak
ibunya.
“Ini buku yang beda dari minggu lalu. Aku membutuhkannya
untuk..”
“Untuk apa lagi?! Untuk membuat penuh lemarimu, begitu?
Nilai-nilaimu saja masih tetap jelek, gimana ibu percaya kalau kamu akan
gunakan uang itu untuk membeli buku. Jangan banyak alasan! Sudah, jangan minta
ke Ibu. Minta sana ke Ayahmu!” bentak sang ibu sekali lagi seraya pergi
menjinjing tas kantornya. Meninggalkan Sera yang tengah mematung sendirian di
mejanya.
Sera tertunduk.
Sekali lagi, ia menangis dalam diam. Rasanya begitu sakit. Sakit
hingga menusuk ulu hatinya. Perkataan ibunya begitu menyakitkan. Selama ini ia
sudah berusaha belajar mati-matian. Namun apa hasilnya? Nilai-nilainya tetap
jatuh. Semuanya di bawah rata-rata. Ia benar-benar tidak bisa fokus karena
setiap hari selalu saja mendengar orangtuanya bertengkar. Bagaimana ia bisa
belajar dan menyerap materi dengan benar jika keadaan rumahnya sediri tidak
beres? Ia selalu berakhir sendirian. Menangis dalam diam sambil meringkuk di
bawah selimut tebalnya setiap malam. Jika saja kakaknya ada di sini, maka ia
tidak harus merasa kesepian.
Sekarang ia harus bagaimana? Ia tidak bisa mengganti buku milik
perpustakaan yang tidak sengaja ia hilangkan. Semua ini memang salahnya. Kenapa
ia bisa begitu ceroboh? Sekarang ini ia butuh solusi serta saran dari
orang-orang terdekatnya. Keluarga? Kata itu bahkan terasa menyakitkan ketika
diucapkan. Saat ia membutuhkan, semuanya serasa semakin menjauhinya. Kakaknya
tidak ada di sini. Orangtuanya bahkan tidak mau mendengarkan penjelasannya.
Mereka hanya memikirkan egonya masing-masing. Cukup, Sera sudah muak dengan
istilah ‘keluarga’. Baginya, istilah itu sudah lama raib dari kamus
kehidupannya. Apa lagi yang ia punya sekarang? Sahabat? Bahkan Sera benci
mengungkitnya.
Meskipun harga buku itu tidak sebanding dengan uang sakunya
setiap hari, tapi ia harus tetap mengganti buku yang hilang itu. Sera tidak
ingin dicap sebagai murid yang tidak punya rasa tanggung jawab. Ia akan
berusaha menyisihkan uang sakunya setiap hari hingga terkumpul cukup uang untuk
mengganti buku itu. Karena percuma saja meminta uang kepada ayahnya. Hanya akan
menambah beban sakit hatinya. Sera sudah bisa menebak jawaban yang keluar
adalah jawaban yang kurang lebih sama dengan ibunya.
“Ayah sedang sibuk. Minta ke Ibumu ya.” begitu jawaban ayahnya
di satu pesan singkat yang baru saja ia terima.
Di saat seperti ini pun, kakaknya tidak menjawab panggilan
teleponnya. Mungkin Mbak Rasti lagi sibuk ngerjain skripsinya jadi nggak
bisa ditinggal, begitu pikirnya. Sera mencoba untuk berpikir positif. Tidak
ada gunanya untuk menerka-nerka kemungkinan terburuk. Karena semua itu
melelahkan.
Satu buku yang hilang atau rusak, dengan mudah bisa diganti
dengan uang. Namun bisakah uang mengganti satu hati yang rusak dan hilang arah?
Kehilangan uang, bisa dicari lagi dengan bekerja keras. Namun kehilangan hati?
Dimana lagi tempat untuk mencari? Sekeras apapun usaha untuk mencari, tetap
tidak akan berhasil menemukan hati yang hilang dan tersesat.
Sebenarnya, dimana letak hati nurani para orangtua di jaman ini?
Mereka sudah banyak menyesatkan hati anak-anaknya tanpa belas kasih. Sedikitpun
tidak.
Dengan malas, Sera meraih kembali ponsel di meja belajarnya. Ia
mengetikkan sesuatu di beranda akun facebook miliknya. Sebait status, baru saja
ia posting.
“Bagi manusia, ibu adalah sosok pertama penyebab segala hal.
Tempat pertama penyebab senyuman, tempat pertama penyebab jatuhnya air mata,
serta tempat pertama penyebab luka. Goresan itu (senyuman, air mata dan luka)
akan selalu membekas dalam batin setiap manusia. Terutama yang terakhir.”
[ akhir dari part #12 ]
~Ada Apa Dengan si
Cyber-a-holic?~
Oleh: Dymar Mahafa
Sera...kasihan sekalli
BalasHapusKasihan kasihan kasihan
BalasHapusSera seperti sebatang kara
BalasHapus