Tuntutan Pendidikan Generasi Milenial

Lagi-lagi saya sempat terlibat dalam satu diskusi online bersama teman lama yang dulunya satu kampus, satu jurusan dan satu kelas. Dia adalah salah satu di antara sedikit orang-orang lainnya yang memanggil saya dengan nama panggilan yang sangat jarang sekali (bahkan tidak pernah) dipakai orang-orang untuk memanggil saya (halah, ribet amat kalimatnya!). Connik, itulah penggalan nama yang dia pilih. Jika dihitung, sejauh ini ada 3 orang yang memanggil saya dengan nama panggilan itu. Teman satu kelas sewaktu SMP, guru Bahasa Inggris saya sewaktu SMK, dan terakhir yaitu teman saya yang berikut ini telah saya rangkum opininya mengenai diskusi kami hari itu.

FYI, dia adalah author fanfic yang dulunya (waktu kami masih kuliah) cukup aktif menulis di blog pribadinya dengan nama pena Aideena Kim. Kami berdua pernah kolaborasi. Lebih tepatnya saya yang berinisiatif untuk (iseng-iseng) mengubah cerita fanfic yang ditulisnya menjadi sebendel komik berseri, walau pada akhirnya harus berhenti di part two karena disibukkan dengan skripsi serta ujian-ujian akhir semester.

Kedengarannya hoax banget gitu, ya, kalau saya bisa bikin komik. Supaya bualan di atas terkesan valid dan lebih bisa dipercaya, dengan segala kerendahan hati dan tanpa mengurangi rasa hormat, mari saya tunjukkan buktinya. Hahaha.

Ini dia : komik #It-Is-You-part-2
Dibuat berdasarkan fanfic dengan judul yang sama : fanfic #It-Is-You-part-2

Sedikit bocoran, dia salah satu pendaftar di kampus Nulis Aja Community (NAC) batch 3 ini, lho. Siap-siap nanti kenalan, ya, gaes, sama sobatku yang satu ini. 😉

***

Baiklah, pembahasan kali ini masih tidak jauh dari dunia pendidikan dan masih tentang guru, anak didik dan segala tetek bengeknya.

Pada suatu hari ---hari Minggu kalau tidak salah--- saya mengunggah sepotong status WhatsApp hasil screenshoot yang saya dapatkan dari salah satu akun instagram yang menunjukkan dua bait cuplikan sekilas dari sebuah buku dengan judul "Binorrow" karya Sudarman BK.



Dalam sebaris kutipan yang cukup menohok, di situ dikatakan: "Jika tujuan sekolah untuk mencerdaskan, kenapa mereka hanya menerima murid yang pandai saja?"

Temanku yang kebetulan berprofesi sebagai guru Taman Kanak-kanak ini tergerak hatinya untuk menyumbangkan sebaris dua baris opini.

Seperti yang telah saya rangkum berikut ini:


[10/2 10:57] Dilia Goo Mee:
Numpang komen ya, nik 🙂

Menurutku, tujuan lembaga pendidikan emang udah banyak bergeser dari yang namanya mencerdaskan anak bangsa. Dari beberapa hal yang pernah aku temui, banyak Sekolah Dasar yang hanya mau menerima anak yang udah bisa baca tulis berhitung. Padahal (menurutku), Sekolah Dasar itu belajar hal-hal yang dasar, misalkan membaca.

Beda lagi sama lembaga sekolah untuk anak usia dini.
Sekolah PAUD menjamur, tapi mencerdaskan anak bangsa bukan tujuan utama. Tapi ada tujuan tertentu untuk dapat dana bantuan pemerintah. 😟


[10/2 12:02] Dymarconnik U. Ulfa:
Wah kok gitu, ya, Dil. Sudut pandang baru buatku. Kalimatmu yg terakhir.

Memang sekarang masyarakat ngejar gengsi dan pamor. Buat mencapai itu makanya sekolah-sekolah punya standarnya masing-masing yang kadang kalo dipikir-pikir nggak bisa merangkul semua kalangan.

Dan ironisnya, sejak ada peraturan zona untuk daftar ke semua jenjang sekolah (SD,SMP,SMA/sederajat), masyarakat mulai menyadari kalo semua sekolah sama aja. Intinya gak ada sekolah yang bener-bener jadi faforit sekarang ini semenjak diberlakukan zona.

_________________________________________
Sistem Zona yang dimaksud di sini adalah suatu sistem pendaftaran peserta didik baru yang telah dicanangkan pemerintah dan beberapa tahun terakhir dipakai oleh sekolah-sekolah di Indonesia, dengan tujuan untuk lebih memudahkan jarak jangkau para anak-anak didiknya. Sehingga mereka tidak perlu menempuh jarak yang lumayan jauh untuk bisa mencapai sekolahnya. Kebijakan Zona ini memberi kesempatan dan peluang yang cukup besar bagi para peserta didik untuk mendaftarkan diri mereka di sekolah-sekolah yang dekat dengan domisilinya, sesuai dengan formasi Zona yang telah ditentukan pemerintah setempat.

Misalnya:
Anak yang bertempat tinggal di Desa A, maka secara otomatis berkesempatan mendaftarkan diri di sekolah X, Y, Z yang dekat dengan Desa A tersebut. Dan peluang diterimanya peserta didik, diutamakan yang jarak rumah-sekolahnya paling dekat, kisaran 500 meter dari rumah. Dan dari situ akan ada poin tersendiri dalam perhitungan akhir. Intinya, yang rumahnya paling dekat dengan sekolah tujuan memiliki peluang lebih besar diterima dan lebih diprioritaskan, daripada para pendaftar dari luar kota atau yang tidak termasuk dalam formasi Zona.

Kelemahan dari sistem Zona adalah:

1. Kecemburuan sosial yang mana peluang peserta didik yang tinggal di luar Zona dan memiliki nilai UAN lebih tinggi untuk masuk di sekolah faforit dan bonafide kemungkinannya sangat kecil sekali. Namun, bukan berarti mereka-mereka ini (yang berdomisili di luar kota/ luar Zona) tidak punya kesempatan mendaftar di sekolah yang dimaksud. Pemerintah memberi kuota 10% bagi pendaftar dari luar kota/ luar Zona untuk diterima di sekolah tujuan. Tetapi dengan persaingan yang luar biasa.

2. Pamor sekolah bonafide jadi turun drastis. Pernah ada kejadian di kota Kediri (ini nyata). SMA Negeri 2 Kediri yang mana telah lama menyandang predikat sebagai SMA terfaforit, tahun lalu terpaksa menerima murid dengan NUN di bawah standar yang telah dibuat sekolah tersebut. Karena apa? Karena semenjak diberlakukan Zona, sekolah tersebut kekurangan murid pada saat Penerimaan Peserta Didik Baru tahun lalu. Ironis.

Dan lagi, animo masyarakat yang ironisnya mulai menyadari bahwa tujuan anak-anaknya dikirim ke sekolah bukan lagi sebagai gengsi dan mencari nama saja, karena mau tidak mau perubahan harus diikuti dengan hati yang lapang. Mau tidak mau ya harus menerima di sekolah manapun si anak diterima nantinya. Persetan dengan embel-embel sekolah faforit atau bonafide. 
________________________________________


[10/2 12:11] Dymarconnik U. Ulfa:
Dan masuk SD anak udah harus bisa calistung. Itu seolah-olah membebankan tugas paling berat ke guru TK-nya, ya nggak?

[11/2 05:30] Dilia Goo Mee:
Yang paling berat di anaknya, Nik.
Mereka (dipaksa) menerima pelajaran yang belum kapasitasnya. Meskipun kadang ada juga anak yg memang cerdas, jadi cepat belajar.
Tapi secara keseluruhan anak2 TK diberi pelajaran yang belum semestinya.

[10/2 12:11] Dymarconnik U. Ulfa:
Kadang kalo aku pikir-pikir, sistem pendidikan sekarang ini nggak jelas ke mana arahnya.
Guru-guru sekolah paling dasar (TK dan SD) harus diberi beban seberat itu untuk bertanggung jawab membangun karakter anak-anak. Mereka dituntut sedemikian rupa tapi kesejahteraannya nggak diperhatikan (dalam arti guru-guru tidak tetap/ yang belum PNS).
Profesi guru semacam dibikin permainan politik doang kalau dirasa-rasakan.

Yang untung tetep untung, yang ada di posisi terhimpit ya tetep terhimpit.

[10/2 12:18] Dymarconnik U. Ulfa:
Ditambah lagi generasi ortu jaman sekarang yang makin gencar membudidayakan perceraian. Itu dampaknya besar banget buat perkembangan mental dan karakter anak, lho, sebenernya. Makanya kesalahan bukan seratus persen dari si anak, tapi dari gimana sistem pendidikan di lingkungan masyarakat terkecil (keluarga).

Coba kamu tarik garis lurus, akar dari pola didik yang salah sebenernya bukan melulu dari pemerintah, tapi dari pola pikir individu di dalam keluarga.

Bisa jadi analisaku keliru.

Kalo menurutmu gimana? Soal sistem pendidikan yg diberlakukan sekarang?

[11/2 05:28] Dilia Goo Mee:
Setuju sama pendapatmu yg pola pengasuhan keluarga yg paling penting. Karakter anak paling dominan di bentuk dalam keluarga. Kalau sekolah sih sifatnya hanya membantu.
Apalagi jaman sekarang, kan, ngeri. Banyak perceraian, perselingkuhan, anak udah disuguhi gadget sejak kecil. Hal-hal kayak gitu yg sangat mempengaruhi karakter anak-anak.

[11/2 05:34] Dilia Goo Mee:
Bebannya terlalu besar. Apalagi kalo ortunya kurang pemahaman juga. Malah jadinya anaknya dipaksa (banget), otomatis bisa tertekan anaknya. Terlalu fokus sama calistung, kadang kurang memberikan contoh pendidikan karakter (terabaikan)  🥺😔

[11/2 05:34] Dilia Goo Mee:
Apalagi sekarang musim pemilu. Lagi gencar-gencarnya ini.
Malah aku sudah lihat sendiri, gimana ada orang dari bidang politik mencoba memanfaatkan lembaga pendidikan.

[11/2 07:25] Dymarconnik U. Ulfa:
Contohnya kayak gimana, Dil?
Share di sini, ya.

[11/2 12:10] Dilia Goo Mee:
Ada oknum dari pendukung paslon tertentu. Oknum itu bilangnya ingin membantu guru-guru PAUD untuk kesetaraan.
Ujung-ujungnya tetap kampanye minta dukungan.

Dan anehnya...
guru-gurunya diminta 'urunan' untuk membiayai perjuangan oknum itu, yg katanya memperjuangkan kesetaraan.

Menurutku ganjil aja, berasa dimanfaatkan.
Malah kabar yg beredar bilang, bisa jadi uang urunan para guru itu dipakai untuk dana kampanye 😱


[11/2 12:21] Dymarconnik U. Ulfa:
Waw, kok ngeri, Dil.. 😭

[11/2 12:26] Dilia Goo Mee:
Sebagai anak buah, kami tidak bisa berbuat apa-apa 😟

[11/2 12:28] Dymarconnik U. Ulfa:
Trus kalau mereka terpilih, apa bener bakal diperhatikan kesejahteraan para guru di situ?
Apa cuma tinggal janji?

[11/2 12:43] Dilia Goo Mee:
90% aku gak yakin, Nik. 😑

[11/2 12:44] Dilia Goo Mee:
Kembali ke pembahasan tentang sekolah, Nik.
Di kota, kan, banyak yg menerapkan sistem test untuk masuk SD.
kamu dulu sempat mengalami langsung nggak?

[11/2 12:45] Dymarconnik U. Ulfa:
Belum.. seingetku

[11/2 12:46] Dymarconnik U. Ulfa:
Gimana itu sistem tes masuknya?

[11/2 16:21] Dilia Goo Mee:
Aku pernah tanya tetanggaku,
anaknya mau masuk salah satu SD Islam.
Tesnya suruh baca, baca iqro, surat-surat, dan ada soal berhitung.
itu seingatku.
Setelah tes, nilainya diumumkan.
Aku pernah dengar juga sistem itu diterapkan di salah satu SD Negeri di kota Kediri.

***

Seingat saya dulu waktu saya masih duduk di bangku TK, pelajarannya tidak seberat zaman sekarang. Paling hanya menggambar, main bongkar pasang, menempel, menggunting, menyalin tulisan, dan selebihnya ya bermain saja, dan dalam pelajaran bermain tersebut guru lebih banyak memasukkan konten-konten karakter kepada anak, penanaman budi pekerti yang lebih dominan daripada melulu kecerdasan intelektualnya saja yang ditonjolkan. Sekarang anak TK sudah harus dituntut bisa membaca, menulis dan berhitung. Seolah-olah semua tuntutan itu semacam merampas masa kecil mereka yang memang sudah seharusnya dihabiskan dengan sibuk bermain. Makanya jangan heran kalau generasi sekarang banyak yang bertingkah kurang dewasa, itu karena (bisa jadi) masa kecil mereka kurang bahagia.

Soal pendaftaran masuk sekolah, menurut saya pribadi semua sekolah itu punya visi misi yang kurang lebih sama. Mengenai apakah sekolah itu bagus atau tidak, tergantung dari anak-anak kita. Tak akan ada pengaruhnya walau mereka didaftarkan ke sekolah terbaik, tapi mereka tidak merasa nyaman berada di lingkungan tersebut. Dan sebaliknya, tak jarang juga anak-anak yang bersekolah di sekolah yang biasa-biasa saja malah bisa mengecap buah kesuksesan, karena mereka tekun.

Yaa kembali lagi pada nasib tiap-tiap individu. Garis sukses tiap-tiap orang tidak bisa diminta tetapi sudah digariskan dari sononya. Manusia cuma perlu mempersiapkan yang terbaik untuk menjalani hari-hari mereka di dunia. Termasuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Sedikit cerita dari pengalaman pribadi. Bisa saya petik satu pelajaran berharga ketika saya pada akhirnya memutuskan untuk mendaftarkan adik kandung saya ke sekolah Tsanawiyah. NUN-nya sewaktu SD pada waktu itu belum turun dari pusat, pengumuman kelulusan juga belum ada dan dari sekian sekolah negeri yang dianjurkan oleh kedua orangtua kami, tidak ada yang yakin bahwa adik saya ini bisa masuk ke salah satunya. Karena mengingat kebiasaan belajarnya sewaktu 6 tahun di SD yang bisa dibilang cukup pemalas, dan sangat temperamen. Kalau sudah ngamuk nggak mau belajar, ya sudah. Ortu juga tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi kendala itu. Ortu hanya berharap anak bungsunya itu bisa diterima di salah satu sekolah negeri, tapi juga tidak yakin apakah adik saya mampu mencapai itu, dan lagi ortu tidak ada yang mau ambil pusing dan memikirkan bagaimana alternatif yang terbaik jika misalnya adik saya (andaikata) gagal diterima di sekolah negeri. Ya sudah, akhirnya suatu hari ada yang memberi selebaran brosur dari sekolah Tsanawiyah yang bertempat tak jauh dari domisili kami. Siapa lagi yang pontang-panting mengurus pendaftaran adik, ya kakaknya.

Awalnya ortu ragu, kok memilih bersekolah di Tsanawiyah, apa adik saya mampu dan bisa mengikuti, kan di sana banyak materi agamanya daripada materi umumnya.

Tapi saya punya tujuan lain, yaitu ingin memperbaiki temperamennya yang pemarah dan minim tata krama itu dengan memasukkannya ke Tsanawiyah. Harapan saya nggak muluk, nggak masalah kalau adik saya tidak pandai di sekolahnya asalkan karakternya bisa diperbaiki sedikit demi sedikit. Ya maklum saja, karena adik sudah sejak kecil melihat ortunya bertengkar jadi ya pasti temperamen tadi meniru dari situ. Makanya bertengkar di depan anak itu sebenernya tidak boleh dilakukan. Jangka panjangnya buruk buat perkembangan anak. Oke, lupakan soal ortu saya.

Dan syukur alhamdulillah, puji Tuhan, bahwa sekarang adik saya yang sudah menginjak bangku MTs kelas 9 ini sudah banyak berubah. Sopan santunnya meningkat, tata kramanya tertata, dia bahkan belajar jadi anak yang lebih bertanggung jawab dengan aktif menjadi anggota OSIS, mengikuti kegiatan kemah dan kepramukaan, serta baru-baru ini bergabung dengan komunitas pendaki gunung. Dan sujud syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Baik, adik saya bisa mengejar ketertinggalannya dan berhasil menempati ranking 4 di kelas. Sungguh di luar perkiraan. Seakan tidak percaya bahwa anak yang dulunya tidak bisa dikendalikan, sulit diberi nasihat, dan memiliki perilaku buruk dalam belajar, sering berbuat semaunya sendiri, rasa empatinya yang sangat kurang, gemar membully tapi kalau balik dibully dia tidak terima, sukar berkonsentrasi, kecanduan game di ponsel, malas membaca, bahkan nilai-nilainya tidak bisa dibilang memuaskan, tapi juga tidak terlalu mengecewakan, pas-pasan saja. Sekarang tiba-tiba bisa menduduki ranking 4 di kelas. Bukti bahwa Tuhan mendengar doa-doa saya selama ini. Saya sangat berterima kasih kepada lingkungan Tsanawiyah tersebut. Sekolahnya bisa dibilang kurang layak, karena gedungnya masih pinjam dan bergabung dengan MI, tapi menurut saya sekolah itu adalah yang terbaik karena mampu mendidik adik saya menjadi anak yang berguna dan berkarakter, sekaligus mencerdaskannya tidak hanya secara IQ tapi juga EQ dan SQ. Paket lengkap.

Bahkan sekarang dia punya cita-cita. Apa cita-citanya? Hm, kasih tahu nggak, ya... Hahaha. Mungkin lain waktu ya, gaes. 😉

Intinya, dengan lingkungan yang baik, anak terburuk dan terbodoh sekalipun bisa menjadi baik. Sebaliknya, dengan lingkungan yang buruk, anak terbaik dan terpandai sekalipun bisa berubah menjadi buruk.

Saya yakin teman-teman yang telah membaca tulisan ini mempunyai pendapat yang berbeda. Gimana menurut kalian?

Selamat mendidik. Semoga bermanfaat. 😊


Komentar

  1. Saya setuju. Lingkungan yang baik memang bisa mengubah seseorang menjadi baik. Pun demikian sebaliknya. Seperti sekolahku, aku selalu menekankan pada siswa tentang pentingnya sikap dan karakter yang baik. Dimulai dari hal kecil seperti mau mengakui kesalahan dan meminta maaf, sampai bersikap santun pada orang tua.
    Tapi.. yah.. lingkungan di rumah mereka sepertinya tidak terlalu mengurus hal2 remeh seperti itu. Jadi.. keknya masih terlalu dini untuk berharap dapat melihat hasilnya segera.😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Generasi milenial dan para ortunya itu potret terunik Mbak Sas dalam mengobrak-abrik ranah pendidikan. Seringkali aku prihatin sama anak-anak itu. Mereka nggak mendapat teladan yg baik tapi ironisnya dituntut untuk jadi pribadi yg baik dan berbudi. Ya gimana bisa? Dari sudut pandang manapun udah keliatan nggak masuk akalnya...miris.. 😥

      Hapus
  2. Setuju... Lingkungan yang baik sangat berpengaruh pada baiknya karakter seorang anak. Maka sangat dibutuhkan oleh generasi milenial.
    Dengan adanya tuntutan saat masuk SD anak harus bisa membaca dan menulis, mungkin saat TK anak tetap bisa dikenalkan huruf dan angka dengan cara bermain yang menyenangkan anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Irma, betul. Tuntutan milenial memang makin berat, dan ironisnya masih banyak guru yg mengajar dg cara konvensional / jadul. Dan seringkali memberikan label yg negatif ke anak. Padahal sebetulnya cara didik dan pendekatannya saja yg perlu diupgrade mengikuti arus milenial. Tapi masih banyak guru yg kurang menyadari itu. Ironis.

      Hapus
  3. Setuju... Lingkungan yang baik sangat berpengaruh pada baiknya karakter seorang anak. Maka sangat dibutuhkan oleh generasi milenial.
    Dengan adanya tuntutan saat masuk SD anak harus bisa membaca dan menulis, mungkin saat TK anak tetap bisa dikenalkan huruf dan angka dengan cara bermain yang menyenangkan anak.

    BalasHapus
  4. Saya menyayangkan pendidikan usia dini yang mengharuskan anak didiknya harus bisa calistung 😭

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain