Jalan Buntu, Tembok Kesuksesan
Susah!
Apa yang susah? Menjadi seorang single fighter dalam keluarga itu bukan perkara gampang. Apalagi kalau nggak ada anggota keluarga yang bisa dijadikan panutan atau teladan. Bukan maksud nggak bersyukur diberi orangtua, tapi akan terasa sangat susah mengembangkan apa yang ingin kita capai jika lingkungan keluarga kurang mendukung. Mungkin gue aja yang terlalu hiperbola, atau gimana. Kadang memang kalau lagi sensitif suka tiba-tiba keceplosan curhat, seperti sekarang. Hahaha. (Jangan dengerin)
Apa gue perlu mengawali curhat kali ini dengan frasa Dear Diary? Norak! Jadi mending nggak usah aja.
Anggota keluarga kurang mendukung? Nggak juga sebetulnya, ortu selalu support dengan semua yang pengen gue capai. Ya walau terkadang mereka nggak jarang bikin gue merasa down di saat yang sama. Jadi gimana ya itu namanya, ya mendukung, sekaligus bikin down. Khususnya dari sisi mental. Bisa dibilang kalau ortu gue buta ilmu parenting, sementara gue harus struggling sendirian buat mencapai cita-cita sebagai seorang pendidik/ guru. Terbukti bahwa selama ini sikap dan kelakuan mereka yang sering bikin gue merasa kurang nyaman menjadi diri sendiri. Tuntutan, sering kali tuntutan dan harapan mereka yang terlalu muluk itu membuat gue merasa jadi anak yang kurang berbakti jika apa yang mereka inginkan dari gue, gagal gue wujudkan. (Bingung, nggak, baca kalimat barusan?)
Jadi, udah bisa kebayang, kan, gimana rasanya? Seperti ketika kalian pengen makan es krim, tapi ortu ngelarang dan mereka pengennya lu puasa aja dua hari penuh nggak usah makan apa-apa. Sama aja nyuruh mati, ya, kan?
Kadang gue merasa iri sama mereka yang punya impian jadi seorang A dan kebetulan ortunya juga telah menjadi seorang A. Maksud gue gini, mereka punya impian jadi guru dan kebetulan ortunya juga adalah seorang guru. Mereka punya seseorang yang bisa dijadikan panutan. Sementara gue? Gue nggak punya. Bahkan ironisnya, pola pikir gue sama ortu semacam bertolak belakang. Banget. Mungkin ini ujian gue atau gimana, gue nggak tahu. Mungkin juga Tuhan pengen menunjukkan betapa payahnya diri gue kalau sampai punya niatan buat menyerah sekarang hanya karena sudah diamanahkan pada keluarga yang kurang tepat (baca: salah).
Jujur gue iri sama mereka-mereka yang beruntung banget punya ortu dengan profesi yang sama dengan impian mereka. Seperti mereka terinspirasi gitu dan pengen jadi A karena ortunya juga adalah seorang A. Dan apakah itu artinya gue nggak merasa terinspirasi dengan ortu gue sendiri? Gue sangat terinspirasi, dengan cara pandang yang berbeda. Gue terinspirasi dengan kekurangan yang melekat pada kedua orangtua gue. Kok bisa? Iya, dan ironisnya, gue jadi banyak belajar dari situ.
Dari kecil, ortu sering nggak bisa akur. Cekcok udah hampir jadi makanan 4 sehat 5 sempurna bagi gue. Dan gue anak tunggal pada waktu itu, karena adek baru lahir ketika gue memasuki jenjang SMP. Masih kuat dalam benak, dulu saking jengkelnya mereka satu sama lain, karena kalau udah tengkar nggak ada yang mau ngalah, gue disodori dua pilihan paling sulit di dunia, bahkan Tuhan aja belum pernah membebani gue dengan pertanyaan serupa, semacam "Kamu pilih Mama atau Papa?" Dan mereka akan menentukan pilihan gue, sebelum gue sempat melontarkan pendapat, "Kamu harus ikut Papa." Atau "Nggak, kamu ikut Mama." Udah kayak anak kecil rebutan mainan, ya nggak? Dan apakah gue ini adalah sebuah mainan di tangan mereka? Kadang gue mikir, sebenarnya gue ini amanah dari Tuhan bukan, sih? Mungkin Tuhan udah salah kirim, dan lupa nge-klik opsi unsend.
Itu salah satu kegagalan mereka dalam mengemban amanah sebagai orangtua. Dan apakah gue menyalahkan mereka karena itu? Nggak, gue lebih suka nyalahin Tuhan, kenapa Dia menitipkan gue ke mereka. Oke, gue udah salah bicara. Sorry.
Mungkin gue aja yang belum paham atau gimana, karena memang belum pernah mengarungi bahtera pernikahan, tapi gue penasaran sebenarnya manfaat pertengkaran dalam rumah tangga itu apa sih? Supaya kuat ikatan batinnya? Atau supaya terjalin kedekatan di antara kedua mempelai? Ada yang bilang juga, pertengkaran suami-istri itu adalah bumbu rumah tangga. Bullshit! Sumpah, itu omongan sampah banget. Gue nggak habis pikir apa sih yang orang-orang cari dari pembenaran-pembenaran yang menyesatkan semacam itu? Pernyataan itu tuh udah setara dengan segelas racun tau nggak? Nggak nyadar kali, ya, bahwa quotes-quotes mereka yang aneh itu bisa mempengaruhi seseorang secara psikologis. Bahkan, bikin benak mereka penasaran dan pada akhirnya dipraktekin dalam kehidupan sehari-hari. Miris banget. Kalian nggak tau perasaan anak? Coba bagi yang udah nikah dan hobi cekcok di depan anak, udah pernah nanya ke anak gimana perasaan si anak kalau lihat Bapak-Emaknya tengkar tiap hari? Nggak enak banget jadi anak kalau keadaannya begitu, Pak, Buk. Itulah kenapa banyak anak depresi karena kekurangan kasih sayang dari keluarganya sendiri, dari orangtuanya sendiri. Sama ortunya aja mereka merasa nggak nyaman, apalagi disuruh menjalin hubungan sama orang lain. Merasa takut menikah karena melihat latar belakang ortunya yang begitu itu. Jadi panjang, kan, ini curhatnya. Biarin dah, hari ini gue pengen bagi-bagi jackpot buat kalian (baca: ngumbar aib).
Gue semakin pengen jadi guru dan belajar ilmu parenting sejak dini karena terinspirasi dari mereka berdua. Gue nggak mau jadi seperti ortu (Mama sama Papa), itu janji yang gue buat untuk diri sendiri dan gue pegang teguh sampai sekarang. Gue pengen diingat dan dikenang sebagai ibu yang baik dan menyenangkan bagi anak-anak gue kelak. (Amin)
Di usia yang hampir memasuki angka dua puluh tujuh, gue mengalami yang namanya stuck in the moment with my own decisions. Seperti lagunya Justin Bieber itu, I'm stuck in the moment with you. Gue mengalami momen di mana sebenarnya kalau dikatakan gagal sih nggak juga, dan belum, gue belum gagal, tapi dalam diri gue merasa udah gagal/ pesimis dengan segala usaha yang udah gue tempuh (mati-matian) tapi pencapaian yang sangat diinginkan belum juga membuahkan hasil. Gue masih percaya sama kata-kata, "Kegagalan itu adalah keberhasilan yang tertunda". Ya sejauh ini sih masih berpegang sama itu, entah ke depannya gimana nggak tau. Kalau dapat pegangan yang lebih baik, ya pasti pindah haluan. Hahaha.
Stuck in my own decisions, gue merasa berhadapan dengan jalan buntu. Seperti pengen maju tapi kehalangan tembok gede yang susah ditembus. Dan beberapa keputusan yang gue ambil malah semakin membuat gue mandeg, dan pada akhirnya menyebabkan gue cuma muter di situ-situ aja, kayak orang bego habis dicuci otak.
Ironis karena gue resign dari kerjaan sebagai tutor Bahasa Inggris, padahal jadi guru adalah segalanya buat gue. Untuk alasan kenapa gue resign, mungkin nanti bakal gue jelasin, cuman bukan di sini, nggak enak didengar tetangga sebelah. Hahaha, apa sih.
Gue kerja di sekolah jadi tenaga tidak tetap, tapi bukan sebagai guru. Karena apa? Bukan karena gue nggak layak jadi guru, tapi mungkin karena Tuhan pengennya gue bersusah-susah dulu usaha dari bawah, dari nol, biar nanti kalau udah sukses tuh nggak jadi orang sombong. Ya nggak?
Gue berusaha mengadu nasib di seleksi tes CPNS 2018 lalu, tapi lagi-lagi masih jalan buntu yang gue dapat. Ya itu wajar sih, that was my first test tho. Siapa atau manusia macam apa yang bisa langsung berhasil di percobaan pertama gitu, kan? Si jenius Thomas Alfa Edison aja baru bisa menemukan inovasi bohlam setelah percobaannya yang keseribu (Atau kesejuta? Berapalah itu tepatnya gue nggak tau). Intinya, mungkin gue cuma kurang berusaha dan mencoba aja. Dan masih perlu melahap porsi kegagalan yang lebih banyak lagi.
Sekarang gue sedang belajar buat menjalani apa yang nggak gue suka dengan hati ikhlas, tapi ya itu tadi, susah! Sumpah ini tuh lebih sulit dari ngerjain soal logaritma. Karena apa yang gue jalani terasa nggak masuk akal buat gue sekarang. Coba bayangkan rasanya dipaksa jadi orang lain sementara lu pengen jadi diri lu sendiri, tapi keadaan nggak mengizinkan lu buat jujur sama diri sendiri. Lebih milih pakai topeng, daripada menunjukkan wajah asli lu kepada dunia. Gimana rasanya?
Cukup satu kata: Muak!
Seperti Keenan (Perahu Kertas) yang dipaksa ayahnya buat jadi penerus perusahaan padahal dia pengen jadi pelukis. Seperti Kugi yang terpaksa cari kerja di perusahaan bonafide, walau pada akhirnya hanya menjadi seorang copy writer dan kerjanya disuruh-suruh, tapi sebenarnya dia pengen banget jadi penulis dongeng, walau bisa dibilang pekerjaan sebagai penulis itu nggak pasti menjamin masa depan.
Persis seperti itu yang gue rasain sekarang, bahkan mungkin beberapa tahun ke depan.
Gue akhiri racauan ini cukup sampai sini. Mungkin kalian nyesel kali ya udah baca tulisan ini sampai selesai, dan merasa iba atau kasihan sama gue. No, don't feel sorry. Gue kurang suka dikasihani. Dan nggak ada orang yang suka dikasihani sebenernya, walau mereka tetap senyum ketika ada yang memberi simpati.
***
Kediri, 11 Februari 2019. 04:46 WIB.
Apa yang susah? Menjadi seorang single fighter dalam keluarga itu bukan perkara gampang. Apalagi kalau nggak ada anggota keluarga yang bisa dijadikan panutan atau teladan. Bukan maksud nggak bersyukur diberi orangtua, tapi akan terasa sangat susah mengembangkan apa yang ingin kita capai jika lingkungan keluarga kurang mendukung. Mungkin gue aja yang terlalu hiperbola, atau gimana. Kadang memang kalau lagi sensitif suka tiba-tiba keceplosan curhat, seperti sekarang. Hahaha. (Jangan dengerin)
Apa gue perlu mengawali curhat kali ini dengan frasa Dear Diary? Norak! Jadi mending nggak usah aja.
Anggota keluarga kurang mendukung? Nggak juga sebetulnya, ortu selalu support dengan semua yang pengen gue capai. Ya walau terkadang mereka nggak jarang bikin gue merasa down di saat yang sama. Jadi gimana ya itu namanya, ya mendukung, sekaligus bikin down. Khususnya dari sisi mental. Bisa dibilang kalau ortu gue buta ilmu parenting, sementara gue harus struggling sendirian buat mencapai cita-cita sebagai seorang pendidik/ guru. Terbukti bahwa selama ini sikap dan kelakuan mereka yang sering bikin gue merasa kurang nyaman menjadi diri sendiri. Tuntutan, sering kali tuntutan dan harapan mereka yang terlalu muluk itu membuat gue merasa jadi anak yang kurang berbakti jika apa yang mereka inginkan dari gue, gagal gue wujudkan. (Bingung, nggak, baca kalimat barusan?)
Jadi, udah bisa kebayang, kan, gimana rasanya? Seperti ketika kalian pengen makan es krim, tapi ortu ngelarang dan mereka pengennya lu puasa aja dua hari penuh nggak usah makan apa-apa. Sama aja nyuruh mati, ya, kan?
Kadang gue merasa iri sama mereka yang punya impian jadi seorang A dan kebetulan ortunya juga telah menjadi seorang A. Maksud gue gini, mereka punya impian jadi guru dan kebetulan ortunya juga adalah seorang guru. Mereka punya seseorang yang bisa dijadikan panutan. Sementara gue? Gue nggak punya. Bahkan ironisnya, pola pikir gue sama ortu semacam bertolak belakang. Banget. Mungkin ini ujian gue atau gimana, gue nggak tahu. Mungkin juga Tuhan pengen menunjukkan betapa payahnya diri gue kalau sampai punya niatan buat menyerah sekarang hanya karena sudah diamanahkan pada keluarga yang kurang tepat (baca: salah).
Jujur gue iri sama mereka-mereka yang beruntung banget punya ortu dengan profesi yang sama dengan impian mereka. Seperti mereka terinspirasi gitu dan pengen jadi A karena ortunya juga adalah seorang A. Dan apakah itu artinya gue nggak merasa terinspirasi dengan ortu gue sendiri? Gue sangat terinspirasi, dengan cara pandang yang berbeda. Gue terinspirasi dengan kekurangan yang melekat pada kedua orangtua gue. Kok bisa? Iya, dan ironisnya, gue jadi banyak belajar dari situ.
Dari kecil, ortu sering nggak bisa akur. Cekcok udah hampir jadi makanan 4 sehat 5 sempurna bagi gue. Dan gue anak tunggal pada waktu itu, karena adek baru lahir ketika gue memasuki jenjang SMP. Masih kuat dalam benak, dulu saking jengkelnya mereka satu sama lain, karena kalau udah tengkar nggak ada yang mau ngalah, gue disodori dua pilihan paling sulit di dunia, bahkan Tuhan aja belum pernah membebani gue dengan pertanyaan serupa, semacam "Kamu pilih Mama atau Papa?" Dan mereka akan menentukan pilihan gue, sebelum gue sempat melontarkan pendapat, "Kamu harus ikut Papa." Atau "Nggak, kamu ikut Mama." Udah kayak anak kecil rebutan mainan, ya nggak? Dan apakah gue ini adalah sebuah mainan di tangan mereka? Kadang gue mikir, sebenarnya gue ini amanah dari Tuhan bukan, sih? Mungkin Tuhan udah salah kirim, dan lupa nge-klik opsi unsend.
Itu salah satu kegagalan mereka dalam mengemban amanah sebagai orangtua. Dan apakah gue menyalahkan mereka karena itu? Nggak, gue lebih suka nyalahin Tuhan, kenapa Dia menitipkan gue ke mereka. Oke, gue udah salah bicara. Sorry.
Mungkin gue aja yang belum paham atau gimana, karena memang belum pernah mengarungi bahtera pernikahan, tapi gue penasaran sebenarnya manfaat pertengkaran dalam rumah tangga itu apa sih? Supaya kuat ikatan batinnya? Atau supaya terjalin kedekatan di antara kedua mempelai? Ada yang bilang juga, pertengkaran suami-istri itu adalah bumbu rumah tangga. Bullshit! Sumpah, itu omongan sampah banget. Gue nggak habis pikir apa sih yang orang-orang cari dari pembenaran-pembenaran yang menyesatkan semacam itu? Pernyataan itu tuh udah setara dengan segelas racun tau nggak? Nggak nyadar kali, ya, bahwa quotes-quotes mereka yang aneh itu bisa mempengaruhi seseorang secara psikologis. Bahkan, bikin benak mereka penasaran dan pada akhirnya dipraktekin dalam kehidupan sehari-hari. Miris banget. Kalian nggak tau perasaan anak? Coba bagi yang udah nikah dan hobi cekcok di depan anak, udah pernah nanya ke anak gimana perasaan si anak kalau lihat Bapak-Emaknya tengkar tiap hari? Nggak enak banget jadi anak kalau keadaannya begitu, Pak, Buk. Itulah kenapa banyak anak depresi karena kekurangan kasih sayang dari keluarganya sendiri, dari orangtuanya sendiri. Sama ortunya aja mereka merasa nggak nyaman, apalagi disuruh menjalin hubungan sama orang lain. Merasa takut menikah karena melihat latar belakang ortunya yang begitu itu. Jadi panjang, kan, ini curhatnya. Biarin dah, hari ini gue pengen bagi-bagi jackpot buat kalian (baca: ngumbar aib).
Gue semakin pengen jadi guru dan belajar ilmu parenting sejak dini karena terinspirasi dari mereka berdua. Gue nggak mau jadi seperti ortu (Mama sama Papa), itu janji yang gue buat untuk diri sendiri dan gue pegang teguh sampai sekarang. Gue pengen diingat dan dikenang sebagai ibu yang baik dan menyenangkan bagi anak-anak gue kelak. (Amin)
Di usia yang hampir memasuki angka dua puluh tujuh, gue mengalami yang namanya stuck in the moment with my own decisions. Seperti lagunya Justin Bieber itu, I'm stuck in the moment with you. Gue mengalami momen di mana sebenarnya kalau dikatakan gagal sih nggak juga, dan belum, gue belum gagal, tapi dalam diri gue merasa udah gagal/ pesimis dengan segala usaha yang udah gue tempuh (mati-matian) tapi pencapaian yang sangat diinginkan belum juga membuahkan hasil. Gue masih percaya sama kata-kata, "Kegagalan itu adalah keberhasilan yang tertunda". Ya sejauh ini sih masih berpegang sama itu, entah ke depannya gimana nggak tau. Kalau dapat pegangan yang lebih baik, ya pasti pindah haluan. Hahaha.
Stuck in my own decisions, gue merasa berhadapan dengan jalan buntu. Seperti pengen maju tapi kehalangan tembok gede yang susah ditembus. Dan beberapa keputusan yang gue ambil malah semakin membuat gue mandeg, dan pada akhirnya menyebabkan gue cuma muter di situ-situ aja, kayak orang bego habis dicuci otak.
Ironis karena gue resign dari kerjaan sebagai tutor Bahasa Inggris, padahal jadi guru adalah segalanya buat gue. Untuk alasan kenapa gue resign, mungkin nanti bakal gue jelasin, cuman bukan di sini, nggak enak didengar tetangga sebelah. Hahaha, apa sih.
Gue kerja di sekolah jadi tenaga tidak tetap, tapi bukan sebagai guru. Karena apa? Bukan karena gue nggak layak jadi guru, tapi mungkin karena Tuhan pengennya gue bersusah-susah dulu usaha dari bawah, dari nol, biar nanti kalau udah sukses tuh nggak jadi orang sombong. Ya nggak?
Gue berusaha mengadu nasib di seleksi tes CPNS 2018 lalu, tapi lagi-lagi masih jalan buntu yang gue dapat. Ya itu wajar sih, that was my first test tho. Siapa atau manusia macam apa yang bisa langsung berhasil di percobaan pertama gitu, kan? Si jenius Thomas Alfa Edison aja baru bisa menemukan inovasi bohlam setelah percobaannya yang keseribu (Atau kesejuta? Berapalah itu tepatnya gue nggak tau). Intinya, mungkin gue cuma kurang berusaha dan mencoba aja. Dan masih perlu melahap porsi kegagalan yang lebih banyak lagi.
Sekarang gue sedang belajar buat menjalani apa yang nggak gue suka dengan hati ikhlas, tapi ya itu tadi, susah! Sumpah ini tuh lebih sulit dari ngerjain soal logaritma. Karena apa yang gue jalani terasa nggak masuk akal buat gue sekarang. Coba bayangkan rasanya dipaksa jadi orang lain sementara lu pengen jadi diri lu sendiri, tapi keadaan nggak mengizinkan lu buat jujur sama diri sendiri. Lebih milih pakai topeng, daripada menunjukkan wajah asli lu kepada dunia. Gimana rasanya?
Cukup satu kata: Muak!
Seperti Keenan (Perahu Kertas) yang dipaksa ayahnya buat jadi penerus perusahaan padahal dia pengen jadi pelukis. Seperti Kugi yang terpaksa cari kerja di perusahaan bonafide, walau pada akhirnya hanya menjadi seorang copy writer dan kerjanya disuruh-suruh, tapi sebenarnya dia pengen banget jadi penulis dongeng, walau bisa dibilang pekerjaan sebagai penulis itu nggak pasti menjamin masa depan.
Persis seperti itu yang gue rasain sekarang, bahkan mungkin beberapa tahun ke depan.
Gue akhiri racauan ini cukup sampai sini. Mungkin kalian nyesel kali ya udah baca tulisan ini sampai selesai, dan merasa iba atau kasihan sama gue. No, don't feel sorry. Gue kurang suka dikasihani. Dan nggak ada orang yang suka dikasihani sebenernya, walau mereka tetap senyum ketika ada yang memberi simpati.
***
Kediri, 11 Februari 2019. 04:46 WIB.
Pantas aja bisa buat novel tebal. Aku aja curhat paling sebaris
BalasHapus😅😅 apalah ini tulisanku, cuma nyampah kak.
HapusMaafkan...
Kasihan kamu, Dym.
BalasHapusHadeh... 😧😩 udah dibilang jangan dikasihanin...😃
HapusSemangat !
BalasHapusSemangat juga buat kak Arief...
Hapus