Mencintai Itu Tololitas (M.I.T) - 4
Antares
Avrama’s Mind
#4
Emosi
dan perasaan manusia bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Bunyi sebaris
kalimat persuasif yang tengah kubaca dari buku Terapi Berperasaan Positif karya Ira Puspito Rini.
Perasaan
tidak memilih apa yang benar dan apa yang salah, atau apakah itu baik ataukah
buruk. Aku mengubah posisi membacaku; rebahan nyaman di atas sofa panjang
dan empuk. Mataku serasa tersihir oleh baris demi baris pada halaman buku itu.
Hingga aku sampai pada kalimat: Perasaan
tidak pernah memilih jalan penderitaan, ia memilih apa-apa saja yang
menyenangkan bagi jiwa. Kadar perasaan dipengaruhi oleh prosesnya. Proses yang
lama, melahirkan perasaan yang lebih mendalam.
“Proses yang lama, melahirkan perasaan yang
lebih mendalam,” lirihku mengulangi. Aku membaca kembali kalimat itu, lagi dan
lagi, hingga berulang tiga sampai lima kali. Seperti ingin mengoreksi
kejanggalan yang tersurat maupun yang tersirat, tetapi yang kutemukan justru
kenihilan. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu secara terminologi maupun secara
empiris. Lantas aku terdiam. Bukankah itu artinya aku membenarkan pendapat
tersebut? Seperti terkena hipnotis saja aku mengamininya.
Bola mataku menyapu langit-langit ruang
tamu. Pandanganku menerawang hingga terpaku di salah satu sudutnya yang penuh
dengan semen berukir klasik tetapi abstrak. Seekor cecak tengah menggoda cecak
yang lain, kemudian mereka melakukannya.
Kawin.
Baiklah, kupikir aku mulai mengerti. Barangkali
dua ekor cecak ini telah melewati proses pendekatan yang cukup lama hingga
kemudian muncul insting yang lebih mendalam di antara keduanya, dan voila! Yang terjadi, terjadilah.
Aku terdiam cukup lama.
Pandanganku nyaris tak mau beralih dari
adegan klise yang cukup langka ini; mengamati perkawinan sepasang cecak dengan
khidmat. Begitu khusyuk lagi syahdu. Entah mengapa analogi ini jadi terdengar sedikit
konyol. Pikiranku seperti dibawa membubung ke hamparan langit dan awan-awan. Mataku
memicing. Aku tenggelam dalam lamun.
“Setiap penundaan terhadap kesenangan akan
menimbulkan penderitaan, karenanya ia bersifat hedon,” bisikku lebih kepada diri sendiri. Tetapi aku harap mereka —dua
ekor cecak itu— juga bisa mendengarnya. Ah, tetapi kurasa mereka tidak akan
peduli karena nyatanya mereka telah melakukannya tanpa aba-aba. Menyalurkan insting
kehewanan itu dan memilih hal yang —menurut mereka— menyenangkan, dalam rangka
memperbarui eksistensi kerajaan cecak di muka bumi ini. Melahirkan cecak-cecak
yang baru; generasi cecak milenial. Meninggalkan jejak-jejak lama untuk
kemudian menyerahkan tongkat estafet kehidupan ke tangan generasi setelah
mereka, yaitu keturunannya. Para sawiyah.
Hedonisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah suatu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai
tujuan utama dalam hidup. Karena seperti yang dikatakan buku itu, menunda
kesenangan sama dengan penderitaan. Dan barangkali itu fakta, walau aku sendiri
masih menganggapnya tak lebih dari sekadar mitos. Karena manusia diatur ketat
dalam adat, norma serta hukum yang membentuk semua pilihan hidup serta keputusan
yang ingin mereka tampilkan kepada publik, termasuk salah satunya adalah
keputusan untuk kawin atau menunda untuk tidak segera kawin. Maksudku, menikah.
Kawin hanya berlaku untuk binatang, bukan?
Jadi kesimpulannya, menunda kesenangan sama
dengan penderitaan tidak berlaku untuk manusia, dan tolong jangan tanyakan
mengapa, karena jawabannya sudah jelas. Ide itu hanyalah mitos yang digunakan
sebagai tameng pembenaran diri semata.
Ironisnya, orang-orang begitu mendamba serta
mengimani hal serupa, maksudku tentang pandangan hedonisme. Bedanya, manusia
bergerak bukan atas dasar insting seperti binatang, mereka bergerak atas dasar
perasaan. Perasaan yang mempengaruhi ingatan-ingatan mereka tentang kesenangan.
Itulah mengapa manusia dengan sengaja menepis perasaan yang tidak menyenangkan,
karena hal itu bertentangan dengan prinsip kesenangan dan tidak sesuai dengan
pri-ke-hedonisme-an yang mereka yakini. Lupa adalah jalan tercepat bagi mereka
untuk menyingkirkan penderitaan batin dan memanipulasinya ke dalam bentuk yang
lebih bisa mereka terima, walau sebetulnya ingatan itu bersifat utuh, ia hanya
berpura-pura lupa saja.
Jadi aku biarkan saja emosi ini menemukan
kesenangannya sendiri. Emosi yang aku rasakan atas dasar cinta. Karena
mencintai itu menyenangkan. Tapi benarkah? Lantas bagaimana dengan perasaan dicintai,
apakah juga sama menyenangkannya? Entahlah, aku sendiri sudah lupa bagaimana
rasanya dicintai, bahkan mencintai pun aku sanksi. Lihat, kan? Lupa, lagi-lagi
hanyalah tameng penghalau ingatan yang secara alami tertanam dalam diri manusia.
Seperti virus malware yang dengan
sengaja merusak memori manusia dan mengganggu kerja ingatan. Mungkin aku belum
lupa, ingatan itu hanya tertumpuk dan tersembunyi jauh di dalam diriku dan aku
takut memanggilnya kembali. Tetapi siapa yang peduli dengan semua itu? Toh orang-orang sudah menganggap lupa
sebagai hal yang wajar, bukan? Ataukah mereka hanya terpaksa memakluminya?
Persetan!
Sudah lama sekali aku berhenti tertarik
dengan wabah ‘Tahi Kucing Rasa Coklat’ yang dulu sempat didengungkan oleh
almarhum Soedjarwoto Soemarsono; atau lebih akrab disapa Gombloh. Jadi, kumohon
berhentilah penasaran tentang apa pendapatku soal: ‘Menurutmu cinta itu apa,
sih?’, atau soal, ‘Menurutmu Long
Distance Relationship itu merugikan nggak?’, atau, ‘Apa sih yang bikin kamu
nggak nikah-nikah sampai detik ini? Hm, bingung, ya?’
Jika kalian berpikir bahwa aku ini adalah
jongosnya Google, maka kalian salah
besar karena dengan entengnya menanyakan semua pertanyaan itu padaku dan berharap
bahwa aku sudi menjawabnya dalam hitungan nanodetik. Halo? Bangun, Bung! Jangan
mimpi.
Sudah sejak lama aku curiga, jangan-jangan
tujuan utama dari diciptakannya mesin pencari Google sejatinya adalah semata-mata demi memuaskan rasa penasaran
orang-orang terkait apa saja. Ya, tak lebih dari hanya sebagai alat pemuas semata,
kecuali satu: tidak ada informasi tentang ‘siapa aku’ di sana. Bukan profil
dirimu yang sempat diunggah di platform-platform
itu. Maksudku adalah tentang who am I?;
tentang ‘siapa aku, yang sebenar-benarnya aku’.
Bahkan setelah sekian tahun manusia hidup,
mereka masih tidak benar-benar mengenali siapa dirinya sendiri, apa yang mereka
inginkan dan sejauh mana mereka ingin mewujudkannya. Untuk pertama kalinya,
mesin pencari paling mutakhir sekalipun tidak memiliki informasi terkait. Google isn’t everything. Am I right?
Seperti aku yang sampai sekarang masih sama
sekali buta tentang apa itu cinta. Karena menurutku, cinta adalah satu emosi
paling mematikan yang pernah Tuhan hadirkan untuk manusia, bahkan lebih
mematikan dari racun paling mematikan manapun. Sekali racun itu direguk, akan
sangat sulit menemukan penawarnya segera setelah kamu menyadari bahwa racun itu
telah menjalari sekujur nadimu, lalu puff,
segalanya gelap, kamu mati. Sungguh konyol jika itu yang sebenarnya terjadi.
Menurut KBBI, cinta adalah perasaan suka,
sayang, kasih yang memikat, ingin sekali, berharap muluk, rindu hingga berujung
risau. Jawaban itu belum cukup memuaskanku, hingga kemudian aku beralih pada
definisi lain. Menurut salah satu tokoh rekaan pujangga, cinta adalah derita
tiada akhir. Baiklah, ini terkesan tidak adil karena hanya ditilik dari sisi
deritanya saja. Almarhum penyanyi Gombloh bahkan mengabadikan cinta dalam lirik
lagu ciptaannya, kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat. Maksudku,
apakah beliau pernah merasakan kotoran kucing dengan lidahnya sendiri hingga
tega berkata demikian? Tidak, tentu tidak mungkin. Fine, itu hanya kiasan.
William Shakespeare mendefinisikan cinta
sebagai sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata, itu sebabnya cupid bersayap dilukis buta. Alkitab
mengatakan, dalam bahasa Yunani, cinta disebut agape yang berarti kasih yang memberi tanpa menuntut; kasih yang
tak bersyarat. Menurut pandangan Islam, cinta adalah kecondongan hati terhadap
sesuatu; fitrah manusia tentang naluri dan tentang nafsu.
Lantas untuk apa aku
peduli dengan semua definisi itu jika aku sendiri masih tidak bisa benar-benar
meresapi esensi dari terapan cinta itu sendiri? Atensi-atensi cinta yang pernah
kualami tidak serta merta memberiku ketenangan bahkan perasaan yang
menyenangkan hanyalah omong kosong dan fiktif belaka dalam kamus percintaanku.
Long
Distance Relationship, adalah keyakinan paling lucu yang pernah terpikirkan
oleh benakku yang abstrak ini. Di mana masuk akalnya, sih, sebuah ide yang
meyakini bahwa jarak bukanlah alasan untuk takut jatuh cinta? Rasanya aku ingin
terbahak hingga pita suaraku rusak. Mereka semua pengidap ODGJ; para pengabdi
LDR itu.
Coba pikir, ketika raga terpisah jarak, apakah rasa yang sempat
tercipta itu secara periodik akan semakin menguat seiring berjalannya waktu? Aku
sangat yakin pasti mereka sudah melewatkan pelajaran fisika terapannya di
sekolah dulu. Kedua kutub magnet akan melakukan gaya tarik-menarik yang semakin
menguat ketika kutub-kutub itu didekatkan, bukan? Dan lagi, gravitasi bumi. Ya,
mereka juga telah melewatkan pelajaran ini. Bahwa ketika kita semakin menjauhi
bumi, apakah gaya gravitasi juga akan semakin menguat? Yang ada malah kita yang
ditelan bulat-bulat oleh kegelapan mutlak dari galaksi Bimasakti. Celaka, Bung,
celaka!
Akal mereka memang sudah tidak sehat sejak
lama. Walau kalian sibuk melontar nasihat terbaik sekalipun, akan berakhir
sia-sia saja. Telinga mereka tuli ditutupi cerumen abstraksi, akal sehat mereka
buta, dan bicara mereka mirip racau orang gila. Percuma ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta. Mereka perlu terapi
kejiwaan. Ah, tapi sudahlah, menyerah saja. Biarkan saja mereka menikmati
kegilaan itu hingga puas.
Aku lebih percaya pada petuah Jawa kuno yang
mengatakan: Witing tresna jalaran saka
kulina. Cinta itu datang dari pembiasaan dan pertemuan yang intens antara
kedua belah pihak. Terbiasa bertemu, terbiasa bertukar cerita, terbiasa
bertukar perhatian, terbiasa berbagi tawa dan air mata, terbiasa memberi dan menerima.
Love is a game of give and take,
sometimes. Dari situ, cinta pragma bisa tumbuh; cinta dengan komitmen dan
ikatan suci pernikahan. Bagiku definisi cinta yang seperti itu yang lebih bisa kuterima
sebagai suatu ide abstrak yang masuk akal. Seperti kata buku tadi, ‘Kadar perasaan dipengaruhi oleh prosesnya.
Proses yang lama, melahirkan perasaan
yang lebih mendalam’.
Di luar itu, bagiku cinta hanyalah sebuah
lelucon yang cukup gila, yang didengungkan secara berlebihan. Hingga membuatku
mual, kapanpun aku mendengarnya dari mulut orang-orang. Sebuah keyakinan tanpa
tuntunan. Tololitas paling mutlak.
Amit-amit.
Barangkali itulah mengapa aku belum bisa
menikah hingga detik ini. Aku belum berhasil menemukan cinta pragma itu. Nanti,
kalau aku sudah menemukannya, aku juga pasti akan menikah, seperti kalian, dan
seperti sepasang cecak itu. Jadi, berhentilah menanyakan kapan. Karena aku
sendiri tidak tahu kapan aku bisa menemukan cinta pragma itu. But sooner or later, it doesn’t really
matter.
Jadi, sebelum aku menemukannya, aku lebih
suka menunda kesenanganku. Persetan dengan hedonisme.
***
Komentar
Posting Komentar