Mencintai Itu Tololitas (M.I.T) - 2
Dara Diamoniq's Mind
Apa kamu pernah merasakan kekosongan?
Perasaan yang benar-benar kosong, tak hanya sekadar hampa.
Perasaan yang lebih dari kehampaan. Hatimu diserang kekosongan itu. Apa kamu
pernah merasakannya?
Cukup rumit menjelaskan bagaimana aku mulai merasakan ini.
Seperti sesuatu di dalam dirimu ditarik keluar, diambil secara paksa, dirampok,
dijarah habis-habisan, energimu serasa tercabut keluar. Seperti ada yang
merampasnya. Habis, kamu merasakan mati rasa yang begitu ekstrim. Begitu intens
sehingga nyaris saja hatimu tak lagi mampu merasakan emosi apapun, kecuali
kekosongan itu sendiri.
Kamu hanya bisa bergeming, kamu memilih melepaskannya, walau
sebaliknya, hatimu masih tak ingin melepaskan. Perasaan ketika intuisi-intuisi
bodoh itu mempermainkanmu, mencoba memberikan dua pilihan tersulit. Hingga jika
kamu memilih satu di antara keduanya, maka hasil yang akan kamu dapat adalah
sama dengan ketika kamu memutuskan untuk tidak memilih. Serba salah. Segalanya terlihat
abu-abu. Begitu samar. Kamu berjalan di atas pijakan yang tak menentu. Kekosongan
ini lebih dari sekadar tong kosong. Bunyinya bahkan tak senyaring tong yang
benar-benar kosong.
Kekosongan ini kedap dan sunyi. Mungkin benar jika ada yang
menyebutnya dengan kesepian. Walau sebenarnya aku tidak merasa demikian. Tidak,
bukan itu kekosongan ini. Sungguh, aku merasa kesulitan menjelaskannya. Kekosongan
ini terlalu rumit hingga kepalaku rasanya mau pecah saja jika terus dipaksa
memikirkan tiap detail remeh-temeh yang seringkali mengganggu pikiranku. Mereka
bilang aku terlalu banyak berpikir, dan itu bukan pertanda baik.
Kalian hanya tak tahu bagaimana rasanya menjadi pribadi
dengan pikiran yang sangat rumit. Aku tidak kesepian. Aku hanya merasakan
kosong yang teramat dahsyat. Seperti tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana
mengambil sikap. Mungkin karena aku terlalu lelah mengejar sebuah pencapaian
yang bahkan belum mampu kugenggam, dan dengan tergesa mengibarkan bendera putih
sebelum keinginan itu menjadi nyata.
Semuanya terasa sia-sia saja. Idealismeku terluka.
Mungkin benar jika aku lebih suka menetap di dunia fiksi saja. Karena di dunia fiksi segalanya ada. Segalanya tersedia untukku, dan aku tak perlu merasa seberjuang sekarang untuk mendapatkannya. Aku bebas menjelajahi dunia itu selama aku ingin. Bekerja dan mencapai apapun dengan caraku sendiri. Tanpa intervensi dari siapapun. Terlebih mereka di luar sana yang sangat ingin kuhindari.
Mungkin benar jika aku lebih suka menetap di dunia fiksi saja. Karena di dunia fiksi segalanya ada. Segalanya tersedia untukku, dan aku tak perlu merasa seberjuang sekarang untuk mendapatkannya. Aku bebas menjelajahi dunia itu selama aku ingin. Bekerja dan mencapai apapun dengan caraku sendiri. Tanpa intervensi dari siapapun. Terlebih mereka di luar sana yang sangat ingin kuhindari.
Melupakan bukan solusi yang tepat untuk sekarang. Aku bisa
saja memilih untuk melupakan semua itu, tapi tidak sekarang. Tidak setelah aku
merasa sudah berjuang mati-matian demi pencapaian yang sedikit lagi, jika aku
tidak menyerah, mungkin saja bisa terwujud. Selalu ada kata ‘barangkali’ dan
turunan dari kata ‘kemungkinan’ yang masih berlaku dalam benak manusia. Tentu
saja bagi mereka yang masih percaya dan punya keyakinan penuh tentang makna sesungguhnya
dari sebuah keberhasilan.
Kamu tahu, kan, maksudku? Menjadi kenyataan. Bukankah akan
terasa indah dan menyenangkan, melihat semua yang kamu inginkan menjadi nyata? Walau
sekarang, skenario Tuhan kian membawaku pada kekosongan ini.
Mungkin aku perlu mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya aku
inginkan, kepada diriku. Apakah benar aku menginginkannya? Seberapa kuat aku
menginginkannya? Apa masih ada sisa-sisa kesempatan bagiku untuk mewujudkan
semua itu? Andaikata semua itu tak bisa diwujudkan, apakah aku akan merasa lebih
kosong daripada sekarang? Aku tak ingin menyakiti idealismeku lebih jauh lagi.
Setelah lama aku mencari jawaban atas semua pertanyaan itu,
mungkin selama ini aku telah salah mengartikan kekosongan ini. Kekosongan yang berujung
pada ketidakjelasan, serta sugesti-sugesti di luar kendaliku, kini mengubah
wujudnya menjadi suatu keinginan yang lain. Menjelma menjadi satu perasaan yang
lain. Perasaan yang cukup aneh dan aku tak mengerti mengapa aku menginginkannya.
Ya, pada akhirnya tujuanku bermuara pada satu titik, hingga cukup membuatku
tercengang.
Aku butuh meresapi rasanya jatuh cinta, sekali lagi.
***
Trmksh kak..
BalasHapusSpoiler bgt ini. 😀
BalasHapusBerharap segera rampung buku MIT. Semangat, Connik! ❤
Minta doanya ya chingu.. 😀😇
HapusKutunggu buku solomu juga, Dil. Semangat.💖