Mencintai Itu Tololitas (M.I.T) - 3


Dara Diamoniq’s Mind


Menurutmu mengapa manusia ingin terus hidup dan melanjutkan kehidupan?

Apakah untuk menghasilkan banyak keturunan? Apakah karena mereka takut akan kematian? Atau apakah karena mereka ingin mengubah mimpi-mimpi mereka menjadi nyata, mewujudkan semua keinginan itu agar bisa menikmati hasilnya di hari tua nanti?

Kedengarannya masuk akal, tetapi bukan itu. Apa yang ingin mereka capai sejatinya bukanlah impian-impian itu, bukan pula karena ingin mengabadikan eksistensi diri dengan cara menciptakan generasi baru setelah mereka. Tidak, bukan itu. Alasan sebenarnya adalah karena mereka mencari satu perasaan yang begitu ingin mereka kecap dalam kurun waktu yang lama. Sampai mereka menemukan apa yang ingin mereka capai, menyerah tidak ada dalam kamus mereka.

Perasaan itu bernama bahagia.

Percaya atau tidak, manusia hidup sejatinya untuk mencapai bahagia. Emosi paling kuat yang begitu ingin mereka hadirkan dalam kehidupan, hingga mereka rela melakukan apa saja demi mencapai bahagia itu. Itulah sebabnya mereka bersikeras menyambung napas.

Menikah, adalah salah satu ide paling gila serta salah satu cara yang —secara sadar atau tidak— mereka lestarikan, demi mencapai kata bahagia, menurut versinya masing-masing.

Dan apakah itu artinya mereka mampu mengecap definisi bahagia segera setelah menikahDengan mencintai dan dicintai mereka pikir bisa mencapai bahagia itu. Tetapi tidak, jawabannya tidak selalu demikian.

Seperti ketika sutradara berteriak ‘Cut!’, masing-masing dari mereka bisa saja menerima jeda dari definisi bahagia. Menikah hanyalah sebuah selingan, begitu pun dengan mewujudkan impian, serta bermacam hal lainnya yang membantu mereka demi melangkah lebih dekat menuju definisi bahagia.  Dengan menikah, manusia mencoba mengusahakan yang terbaik demi menghibur hatinya sendiri. Mencoba meyakinkan apakah hal seperti itu yang benar-benar mereka inginkan, atau semua itu hanyalah ilusi yang coba mereka ciptakan demi merasakan emosi bahagia?

Manusia memiliki definisinya sendiri tentang apa itu bahagia. Bahagia menurut seseorang, belum tentu orang lain mengamini pendapat serupa. Mereka akan secara sadar menikmati rasa itu apa adanya, sampai kemudian Tuhan berseru ‘Cut!’. Lalu, segalanya terasa berbeda. Rasa itu tidak berubah, hanya saja kembali pada tempatnya semula, seperti sebelum mereka mengecapnya. Rasa itu kembali asli. Karena bahagia juga sejatinya hanyalah bentuk lain dari ilusi. Tidak benar-benar ada, namun rasa itu seolah dihidupkan pada diri masing-masing individu.

Untuk apa?

Bukankah sudah jelas alasannya? Agar manusia mampu berdiri dan melanjutkan kehidupannya, agar mereka mencari rasa itu lagi dan lagi, tanpa mengenal lelah, serta siap sedia mengesampingkan apa-apa saja yang sekiranya menghalangi. Termasuk mengesampingkan akal sehatnya sendiri.

Seperti ketika aku melihat dengan mata kepalaku, jeda dari keagungan kata bahagia. Bukti bahwa Tuhan menginginkan semua ini terjadi, walau rasanya leherku seperti dicekik ribuan jemari. Aku melihatnya sendiri, merasakannya seorang diri, hingga aku merasa benar-benar sendirian, bagaimana hakikat pernikahan yang agung itu berdebam jatuh, runtuh, lalu berakhir meninggalkan rasa sakit, bekas luka yang entah sampai kapan akan sembuh, serta memaksakan satu ingatan yang sama sekali tidak menyenangkan. Di titik ini manusia mengalami jeda. Karena itu artinya mereka telah gagal mencapai bahagia menurut versinya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori