Buronan Detik

Seiring lenganku berayun, Detik melesap serupa asap. Rautmu datar, wajah itu tak melulu bundar. Terkadang garis rahangmu persegi empat. Titik pusat itu serupa hidung si badut pesta yang semerah tomat organik. Bedanya, kamu tuna netra. Seolah Detik merupakan tongkat berjalanmu yang selalu menyertaimu ke mana saja. Padahal ia tak lebih dari seorang bandit. Perampas lamunanmu, hari-harimu, nyaris seluruh ingin-inginmu. Semuanya! Termasuk merampas raga rentamu.

Walau kibasan lengan-lenganku yang asimetris itu seolah sama sekali tak diindahkan, aku tetap saja kukuh membanggakan diriku yang unik. Aku berbeda denganmu. Ya, aku tahu, tak ada yang suka dibanding-bandingkan. Aku pun benci dijadikan bahan timbangan yang berat sebelah; keburukan yang lebih banyak dari kebaikan. Aku benci dibandingkan dengan yang lain, khususnya denganmu. Kamu yang hidupnya terlihat tenang-tenang saja, tak dikejar Detik, tentu tak pernah merasakan rasanya jadi aku.

Setiap hari aku terbirit diburu Detik. Entah apa yang ia inginkan dariku. Harta? Tahta? Rasanya Detik tak butuh semua itu. Ia hanya terobsesi mengejarku tanpa ingin mengambil apapun. Justru aku sendiri yang dengan senang hati memberikan apapun kepadanya. Semacam simbiosis parasitisme. Serupa kasih yang bertepuk sebelah tangan. Baiklah, bisa jadi aku memang sedang mengigau di tengah tidur-berjalanku. Bahkan di tengah waktu istirahatku yang berharga itu, lagi-lagi Detik merampasnya. Seperti ia tak rela jika aku menikmati waktu untuk diri sendiri.

Kalau saja ada suatu alat (apa saja) yang mampu menghentikan Detik barang sejenak. Kalau saja ada alat semacam itu, maka sudah sejak dulu peradaban ini hancur. Melebur bersama ledakan Big Bang, sementara Bumi tak sempat tercipta.

Mungkin kamu tak tahu tentang ini, tetapi aku ingin kamu mengetahuinya karena ini penting. Di mata Detik, kamu terlihat seperti arena putar bebas hambatan. Hingga ia bebas berputar-putar, meninggalkan jejaknya di mana saja, tanpa peduli mereka menyukainya atau tidak. Tentu saja mereka; para manusia itu.

Barangkali jika aku meminta pendapat mereka tentangmu, mereka akan menjawabku dengan bahasa yang tak mampu kumengerti. Mereka menggambarkanmu dengan begitu cerdas. Bagiku itu terdengar sedikit konyol, muskil, secuil simile yang dibumbui sinekdoke pars pro toto.

Seperti lingkaran sempurna dari kumpulan beberapa kerat piza yang baru keluar dari panggangan. Aroma piza mengepul, mengundang selera makan. Atau laksana seloyang adonan martabak manis bertabur parutan keju dan dioles selai kacang-cokelat. Lezat memang. Sayangnya Detik tak memberi mereka celah untuk sekadar mencium aroma manis, gurih, legit sekaligus lembutnya sepotong martabak manis atau renyahnya sekerat piza dengan sudut empat puluh lima derajat busur itu ketika meleleh sekaligus lumer di lidah. Tak sampai duapuluh empat detik, piza dan martabak manis sudah tak berbekas. Mereka bahkan melupakan aturan mengunyah ideal sebanyak tigapuluh tiga kali. Bukan apa-apa. Aku hanya iba melihat mereka bersantap selama duapuluh empat detik saja sementara harus membanting tulang selama 86.376 detik setiap harinya. Apa hitunganku benar? Tolong diperiksa.

Sayangnya indra pengecapku rusak, aku tak bisa merasakan rasa apapun yang mereka tawarkan. Lagipula aku tak punya selera makan jadi bagiku tak masalah jika tak makan.

Kata mereka, kamu layaknya bundaran utuh kue tar yang tiap tahun mereka jadikan sebagai peringatan yang menandai bertambahnya usia. Ide lain mengatakan bahwa usia mereka sebenarnya justru berkurang, bukan bertambah setiap tahunnya. Detik telah banyak sekali menipu mereka dengan kesenangan sementara, tetapi apakah mereka sadar telah ditipu selama ini? Tidak, mereka justru menikmati penipuan itu.

Malam ini purnama. Bulan terlihat laksana wajahmu; bulat sempurna. Detik masih saja memburuku. Tentu saja aku tak dibiarkannya lolos dengan mudah. Walau ke ujung dunia pasti akan kukejar, barangkali memang demikian tabiat Detik. Drama yang berkejaran ini sudah pasti tak ada epilognya. Detik semesta hidup abadi sementara yang lain pergi meninggalkan Bumi tanpa permisi. Berucap selamat tinggal pun jarang.

Biarkan aku menyampaikan permintaan terakhir. Tolong jaga rahasia ini. Jangan katakan pada Detik bahwa aku sedang bersembunyi di sini, di balik bayang-bayangku sendiri. Karena sekarang jam dinding tepat menunjukkan pukul 00.00 WIB (Waktu Imajinasi bagian Barat). Kuharap kamu berkenan menjaga rahasia.

***

Komentar

  1. tulisannya mantap mbak, Dym. Saya malah merasa dikejar2 detik dan terkadang ada rasa salah ketika lelah dan kecewa datang, krn trllu "menuhankan" detik :)

    dan kata Google 1 day = 86400 seconds :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas Dwi, kita semua buronan Detik.

      Betul, 1 hari memang 86.400 detik, kemudian saya kurangi 24 detik seperti yg tertera dalam cerita di atas. 😃 Ketemu hasil 86.376 detik.

      Hapus
    2. hehe, iya bener :D
      24 dtk utk mengunyah

      Hapus
    3. Betul 👍
      Agak ribet kalo pas nulis trus ada matematikanya gini.. bikin mikir 😅😥

      Hapus
  2. Hola mba Dym. Maafkan ini kunjungan balasan yang sangat terlambat. Tulisannya bagus mba Dym. Aku belum bisa nulis kayak gini. Kurang kreatif sepertinya 😬

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah terima kasih banyak kak Evita dah berkenan baca coretan ini.. 😊🙏
      Gapapa mbak, biar lambat asal selamat..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori