Sebait Racau: Hidup Ini Ya Begitu-begitu Saja
Semakin lama aku hidup aku menyadari sepenggal arti kehidupan. Kau boleh menuduhku mengada-ada, atau menudingku mengarang frasa supaya dicap punya wibawa. Terserah saja. Apa beda aku dengan mereka yang sama-sama punya nyawa, sama-sama diberi kehidupan, bukan?
Kehidupan ini sejatinya memang begitu-begitu saja, dan terkadang tak ada pilihan lain selain membiarkannya lewat begitu saja di depan mata.
Melangkah, merintis, pencapaian, sukses, dihentak masalah, lalu jatuh. Terus begitu-begitu saja siklus kehidupan ini. Tidak bisa dibilang seru, tidak juga membosankan. Ya karena memang kehidupan ini ya begitu-begitu saja.
Bisa jadi istimewa, dari sudut pandang siapa? Bisa jadi penuh duka, dari sudut pandang mereka yang papa. Bisa jadi penuh tawa, tergantung siapa dalangnya.
Waktu terasa lenyap secepat kedipan mata. Walau sudah lama hidup di dunia, masih saja merasa seperti baru kemarin. Seperti baru kemarin aku lahir, tiba-tiba sudah dewasa saja. Seperti baru kemarin aku masuk taman kanak-kanak, tiba-tiba sudah harus dituntut mencari sandang pangan saja. Seperti baru kemarin aku mencoba belajar naik sepeda, tiba-tiba harus merasakan betapa beratnya beban angsuran kendaraan setiap bulannya. Seperti baru kemarin, entah sudah berapa kali orang-orang mengulang frasa yang sama. Yang itu-itu saja. Hingga hidupnya semakin terasa begitu-begitu saja.
Menjadi dewasa bukan perkara sederhana. Apalagi melangkah lebih jauh lagi menuju bahtera perahu asmara, yang pada intinya hanya menambah beban dan masalah saja. Bagi mereka yang mengaku siap menegakkan layar, bagi mereka yang mengaku belum siap dihantam amuk prahara, atau bagi mereka yang mengaku siap tetapi hanya di bibir saja, bahkan tak punya persiapan apa-apa, semuanya terasa sama, tak ada beda. Semua lembaran kehidupan mereka nantinya akan bermuara ke tempat yang sama, bukan?
Jadi apa yang mereka cari dalam hutan kehidupan ini? Mereka tak lebih dari seorang papa, tuna wisma, lagi tuna karya. Datang ke tempat ini tanpa punya apa-apa, sepeser pun tidak. Tinggal di tempat ini seperti seorang raja dengan gundik-gundiknya, padahal tempat ini bukan istana milik mereka. Keahlian yang mereka miliki adalah menguras kekayaan sumber daya serta melakukan penyiksaan terhadap makhluk tak berdosa dengan mengatasnamakan kecerdasan, baiklah, mereka mulai menyombongkan akal pikiran, yang makin lama makin tidak waras. Akal mereka tidak digunakan bersama perasaan. Tak ubahnya seperti mesin-mesin cerdas berdarah dingin. Merusak hutan, tanpa permisi. Menguras lautan, tanpa basa basi. Di mana lagi satwa punya tempat tinggal? Di gedung-gedung apartemen elit pencakar langit? Atau di tempat hunian berkelas dengan harga selangit? Tidak sekalian saja kau bangunkan gedung sekolah untuk satwa. Biar sekalian satwa-satwa itu mengadu kepintaran dengan mereka-mereka yang mengaku punya akal tetapi nuraninya bebal.
Sudahlah, mungkin memang benar jika kau menuduhku mengarang frasa, mengada-ada, melantur yang tidak-tidak.
Sekali lagi biar aku mengingatkanmu bahwasannya kehidupan ini ya memang begitu. Yang di atas tetap di atas, yang di bawah semakin tertindas. Ya memang begitu. Memang begitu-begitu saja. Tiba-tiba hamparan hijau nan rindang sudah berubah menjadi aspal-aspal Korea. Sudah lama tak kuhirup udara segar. Seperti baru kemarin, bukan?
Ya, seperti baru kemarin paru-paruku terisi partikel-partikel alami, namun tiba-tiba kau muncul dihadapanku dan mengeluh sesak napas. Padahal seperti baru kemarin kau mengelu-elu adanya perubahan besar-besaran yang akan terjadi di jaman milenium yang begitu agung nan jaya ini, bukan? Tahan saja sesakmu itu. Entah sampai berapa lama paru-parumu itu kuat menahan sesak. Terserah saja. Bagiku, tak ada beda.
Aku lebih suka kehidupan yang menawariku sebentuk hidup yang begitu-begitu saja. Sederhana, namun bernyawa. Baiklah, abaikan. Biarkan saja lisanku puas meracau. Lagipula mereka tak membutuhkan opini dari sebatang pohon yang telah menjelma menjadi rangka genting rumah reot pinggiran kota, bukan?
***
Oleh: Dymar Mahafa
Kehidupan ini sejatinya memang begitu-begitu saja, dan terkadang tak ada pilihan lain selain membiarkannya lewat begitu saja di depan mata.
Melangkah, merintis, pencapaian, sukses, dihentak masalah, lalu jatuh. Terus begitu-begitu saja siklus kehidupan ini. Tidak bisa dibilang seru, tidak juga membosankan. Ya karena memang kehidupan ini ya begitu-begitu saja.
Bisa jadi istimewa, dari sudut pandang siapa? Bisa jadi penuh duka, dari sudut pandang mereka yang papa. Bisa jadi penuh tawa, tergantung siapa dalangnya.
Waktu terasa lenyap secepat kedipan mata. Walau sudah lama hidup di dunia, masih saja merasa seperti baru kemarin. Seperti baru kemarin aku lahir, tiba-tiba sudah dewasa saja. Seperti baru kemarin aku masuk taman kanak-kanak, tiba-tiba sudah harus dituntut mencari sandang pangan saja. Seperti baru kemarin aku mencoba belajar naik sepeda, tiba-tiba harus merasakan betapa beratnya beban angsuran kendaraan setiap bulannya. Seperti baru kemarin, entah sudah berapa kali orang-orang mengulang frasa yang sama. Yang itu-itu saja. Hingga hidupnya semakin terasa begitu-begitu saja.
Menjadi dewasa bukan perkara sederhana. Apalagi melangkah lebih jauh lagi menuju bahtera perahu asmara, yang pada intinya hanya menambah beban dan masalah saja. Bagi mereka yang mengaku siap menegakkan layar, bagi mereka yang mengaku belum siap dihantam amuk prahara, atau bagi mereka yang mengaku siap tetapi hanya di bibir saja, bahkan tak punya persiapan apa-apa, semuanya terasa sama, tak ada beda. Semua lembaran kehidupan mereka nantinya akan bermuara ke tempat yang sama, bukan?
Jadi apa yang mereka cari dalam hutan kehidupan ini? Mereka tak lebih dari seorang papa, tuna wisma, lagi tuna karya. Datang ke tempat ini tanpa punya apa-apa, sepeser pun tidak. Tinggal di tempat ini seperti seorang raja dengan gundik-gundiknya, padahal tempat ini bukan istana milik mereka. Keahlian yang mereka miliki adalah menguras kekayaan sumber daya serta melakukan penyiksaan terhadap makhluk tak berdosa dengan mengatasnamakan kecerdasan, baiklah, mereka mulai menyombongkan akal pikiran, yang makin lama makin tidak waras. Akal mereka tidak digunakan bersama perasaan. Tak ubahnya seperti mesin-mesin cerdas berdarah dingin. Merusak hutan, tanpa permisi. Menguras lautan, tanpa basa basi. Di mana lagi satwa punya tempat tinggal? Di gedung-gedung apartemen elit pencakar langit? Atau di tempat hunian berkelas dengan harga selangit? Tidak sekalian saja kau bangunkan gedung sekolah untuk satwa. Biar sekalian satwa-satwa itu mengadu kepintaran dengan mereka-mereka yang mengaku punya akal tetapi nuraninya bebal.
Sudahlah, mungkin memang benar jika kau menuduhku mengarang frasa, mengada-ada, melantur yang tidak-tidak.
Sekali lagi biar aku mengingatkanmu bahwasannya kehidupan ini ya memang begitu. Yang di atas tetap di atas, yang di bawah semakin tertindas. Ya memang begitu. Memang begitu-begitu saja. Tiba-tiba hamparan hijau nan rindang sudah berubah menjadi aspal-aspal Korea. Sudah lama tak kuhirup udara segar. Seperti baru kemarin, bukan?
Ya, seperti baru kemarin paru-paruku terisi partikel-partikel alami, namun tiba-tiba kau muncul dihadapanku dan mengeluh sesak napas. Padahal seperti baru kemarin kau mengelu-elu adanya perubahan besar-besaran yang akan terjadi di jaman milenium yang begitu agung nan jaya ini, bukan? Tahan saja sesakmu itu. Entah sampai berapa lama paru-parumu itu kuat menahan sesak. Terserah saja. Bagiku, tak ada beda.
Aku lebih suka kehidupan yang menawariku sebentuk hidup yang begitu-begitu saja. Sederhana, namun bernyawa. Baiklah, abaikan. Biarkan saja lisanku puas meracau. Lagipula mereka tak membutuhkan opini dari sebatang pohon yang telah menjelma menjadi rangka genting rumah reot pinggiran kota, bukan?
***
Oleh: Dymar Mahafa
Komentar
Posting Komentar