Airport Proposal #4
#4
Flight
(Janta's mind)
14:50 WITA.
Siang itu menunjukkan pukul tiga kurang sepuluh menit waktu Bali. Aku termenung di pelataran teras rumah peninggalan almarhum Bapa. Sesekali ku pandangi sebuah smartphone di atas meja di hadapanku. Gelenyar-gelenyar aneh menyergap. Kemudian disusul ragu.
Telfon, tidak, telfon, tidak, telfon, tidak, telfon, tidak.
Batinku mengeja gamang dua opsi paling rumit yang pernah ada, dengan bantuan jemari tangan. Urusan asmara memang merepotkan. Hayati lelah, namun hati tak kuasa menyumpah.
Dalam hitungan delapan jari aku menentukan pilihan. Dan hasilnya selalu jatuh pada pilihan 'tidak'. Berapa kali pun aku mengulanginya, hasilnya tetaplah 'tidak'. Ah, aku frustrasi. Apa yang sebaiknya aku lakukan? Aku butuh quick advice sekarang juga. Sebuah nasihat kilat yang masuk akal tentang demam merah jambu ini. Kepada siapa aku bisa mendapatkannya?
Ku pandangi bangunan batu pura kecil tempat Meme biasa melakukan ritual sembahyang. Masih ada sisa banten yang ditata rapi dalam canang kecil buatan Meme. Sesaji itu masih teronggok di sana. Timbul keinginan untuk berdoa, namun bukan di bangunan batu itu. Ah, rasanya aku butuh pencerahan detik ini juga.
"Gung," tiba-tiba Meme muncul dari balik pintu depan. Mengagetkan lamunku saja, batinku. Aku mengiyakan panggilannya.
"Cai jadi terbang ke Jawa minggu depan?" tanya Meme seraya duduk di sebelahku. Meme meletakkan sepiring pisang goreng kesukaanku di meja kayu bulat berukir yang ada di teras itu. Meja itu adalah karya almarhum Bapa. Seingatku Bapa membuatnya ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar. Jika diamati lebih jeli, terukir nama lengkapku dan nama Ayi di baliknya.
"Ndak tau ini, Me. Tyang masih bimbang sama keputusan sendiri." kataku. Ku ambil satu pisang goreng yang masih mengepul, kemudian menyobeknya menjadi dua. Uap panasnya mengepul keluar. Aku meniupinya perlahan sebelum kemudian melahapnya sekaligus.
"Kalau memang cai punya niat yang baik ke bajang itu, Meme mendukung." kata Meme. Aku tidak tahu harus berkata apa pada Meme. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan kuluman senyum saja.
"Ingat, gung. Kesempatan hanya datang satu kali. Ndak akan dua kali. Jangan buang kesempatan ini. Mumpung belum terlambat, dan cai ndak menyesal nantinya." mendengar nasihat Meme, mengingatkanku akan nasihat almarhum Bapa. Bapa pasti juga akan mengatakan nasihat yang kurang lebih sama.
"Tapi Me..." aku bingung apa ini waktu yang tepat untuk berterus terang dengan Meme.
"Gung, cuma satu keinginan Meme," belum selesai aku menjelaskan lebih lanjut, Meme sudah memotong. "Cai segera menikah." tambahnya.
"Supaya rumah ini ndak sepi lagi. Supaya Meme ada teman di sini, gung." ucapan Meme membuat hatiku tersayat. Meme memang benar. Rumah ini memang telah lama sepi sejak kepergian Bapa. Sejak Ayi ikut suaminya ke Denpasar setahun yang lalu, tinggallah Meme seorang diri di rumah ini. Aku yang sibuk bekerja, jarang sekali bisa berbincang atau menemani Meme jalan-jalan. Ada sebersit rasa bersalah pada Meme setiap kali aku mendengar nasihatnya.
Masih kental ingatanku akan cerita Bapa dulu sekali. Tentang kesepakatan Bapa dan Meme setelah mereka berdua menikah. Jika mereka punya anak perempuan maka anak itu harus mengikuti jejak Meme. Dan jika lahir anak laki-laki maka harus mengikuti jejak Bapa. Bapa bukan orang Bali. Bapa orang Kediri, orang suku Jawa. Sedangkan Meme adalah asli orang Bali. Kedua orangtuaku menganut kepercayaan yang berbeda. Bapa bersembahyang di gereja, sementara Meme adalah penganut Sang Hyang Widhi yang taat.
Sehingga sesuai perjanjian itu, kakak perempuanku diberi nama tradisi Bali. Nama pemberian Meme untuk kakak adalah Ni Bhrungara Dayita. Sementara aku diberi nama Arion Avram Arjanta. Nama pemberian Bapa untukku.
Untuk urusan kepercayaan pun berlaku hal yang sama. Aku mengikuti kepercayaan yang Bapa anut, sementara Ayi mengikuti Meme. Dari kecil aku memanggilnya Ayi. Namun Meme selalu menegurku untuk memanggilnya dengan Mbok. Karena Ayi lahir beberapa menit setelah aku lahir. Jadi dialah 'kakaknya'. Ya, kami kembar. Orang Jawa biasa menyebutnya sebagai 'kembar pengantin'. Penentu siapa kakak siapa adik pada anak kembar adalah berdasarkan urutan lahirnya. Bayi yang lahir belakangan biasanya yang dituakan. Suka duka kami lewati bersama sebagai anak kembar beda jenis kelamin.
Namun jika Meme sedang tidak mengawasi, aku seringkali memanggil kakak perempuanku itu tanpa sebutan Mbok. Ya sudah, Ayi saja begitu. Dan Ayi pun tidak keberatan masalah panggilan. Toh jika ditilik dari segi umur, kita seumuran, kan?
Pernah satu ketika aku tertangkap basah memanggilnya Ayi saja tanpa 'Mbok', Meme langsung menegurku dengan keras. Meme tidak ingin aku tumbuh menjadi anak yang buta tata krama dan tidak menghormati orang yang lebih tua.
"Apa Bapa akan merestui tyang dengan bajang itu, Me?" tanyaku ragu ditengah lamunan.
Meme tersenyum simpul. Agaknya ia memahami kegelisahanku. Meme menepuk pelan paha kiriku seraya menarik napas dalam-dalam.
Pandangan Meme menerawang. Kemudian dengan mantap berkata, "Pasti. Bapamu sudah pasti merestui."
"Ndak tau lah, Me. Tyang ragu." pandanganku menerawang ke bangunan pure kecil tempat Meme meletakkan canang. Pikiranku bercabang. Serasa tak kuasa berpikir jernih. Mungkin aku butuh mandi dan melakukan shower-thoughts barang sejenak. Shower-thoughts selalu mampu membuatku nyaman.
Tak ada tanggapan dari Meme. Beliau ikut larut dalam renung. "Gung," kata Meme setelah berdeham. Beliau menghela napas dalam-dalam sebelum kemudian mengajukan sebuah tawaran.
"Mau dengar cerita Meme sebentar?"
Serasa tersentak dari lamun. Aku langsung mengiyakan tawaran Meme. Bukan karena aku terkejut mendapati bahwa Meme ingin mencurahkan isi hatinya padaku. Atau bukan juga Meme ingin berkeluh tentang kesehariannya. Tidak. Dua hal itu justru yang sering aku curahkan pada Meme. Curhat dan berkeluh adalah keahlianku baru-baru ini. Entah kenapa. Mungkin karena usia dewasa begitu menggangguku. Aku tidak menyukainya. Tak ada alasan yang khusus. Ya hanya begitu saja.
Sebaliknya, Meme pasti punya sesuatu yang ingin beliau sampaikan padaku lewat ceritanya. Namun tidak secara terang-terangan. Karena dari dulu Meme adalah orang yang penuh dengan filosofi hidup. Aku belajar banyak darinya.
Dari dulu aku dan Ayi selalu menantikan saat dimana Meme menceritakan sebuah dongeng. Cerita filosofi yang dikemas dalam cerita anak-anak yang ringan. Begitu manis. Begitu menenangkan. Perasaan itu yang selalu aku rindukan setiap kali aku jauh dari Meme dan tidak lagi sempat mendengarkan cerita-ceritanya. Walau sekarang umurku telah mencapai seperempat abad lebih, masih saja aku suka yang namanya dongeng. Apalagi Meme yang menceritakannya.
Dengan mata berbinar aku menyerukan kata setuju. "Nah, cai negak ané luung. Meme bakal ngawit caritana." kata Meme.
Aku menuruti perintah Meme persis seperti anak TK yang patuh pada gurunya. Bahasa tubuhku sepenuhnya terfokus pada Meme. Namun posisi duduk Meme tetap menghadap ke pelataran. Seolah hijaunya dedaunan adalah potongan-potongan film yang siap beliau putar. Dan langit sore adalah layar lebarnya. Tak lepas pandanganku dari mata Meme. Karena kedua mata keibuan itu selalu dapat menghipnotisku kapan saja. Membuatku tenang. Nyaman sekali rasanya mendengar suara Meme yang sedang mendongeng. Ku rebahkan sisi kepalaku pada sandaran kursi kayu itu. Mencoba mengubah-ubah posisi hingga aku menemukan posisi yang nyaman.
"Alkisah ada sepasang suami-istri yang baru saja melangsungkan pernikahan. Sang istri begitu bangga dengan suaminya." aku terhenyak. Kalimat pembuka dari Meme telah berhasil membuat mataku terpejam.
"Cai eda saré nah, gung." canda Meme.
Seketika aku tergelak, "Nénten, Me. Tyang merem kémaon. Nénten saré."
"Nah, Meme unda," Meme kembali menatap pelataran. "Sang istri begitu bangga dengan suaminya, karena sang suami yang berparas tampan. Suaminya itu suka dengan barang-barang langka. Seperti jam tangan yang selalu ia kenakan setiap harinya. Jam tangan itu bekerja tanpa baterai. Jadi sudah pasti harganya sangat mahal."
"Kok jadi mirip tyang, Me, suaminya?" kataku memotong.
"Cai eda Ge-eR." Meme tertawa. Aku balas tawanya dengan tawa yang sama.
"Sedangkan sang istri punya paras yang cantik jelita dengan rambut hitam terurai panjang sepunggung. Indah sekali. Suatu hari, sang istri ingin memberikan hadiah kepada suaminya di hari ulang tahun suaminya itu.
Sang istri berhasil membeli sebuah jam tangan dan memberikan jam itu tepat di hari ulang tahun suaminya. Suaminya begitu gembira. Sang suami bergegas mengenakan jam itu di pergelangan tangan kirinya dengan bangga." Meme berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Namun ada yang janggal dengan penampilan sang istri hari itu. Suaminya menyadari satu hal dan bertanya,
"Sayang, kenapa kamu memotong rambut panjangmu?"
Sang istri hanya membalasnya dengan senyum dan mengutarakan alasan yang kurang lebih seperti, 'kegerahan' , 'kurang percaya diri dengan rambut panjang' , atau alasan semacam 'ingin ganti suasana saja'. Hanya alasan yang cukup ringan untuk diucapkan seperti itu."
Dahiku mengernyit. Ingin rasanya aku memotong dan menebak alur cerita Meme, namun segera aku urungkan. Aku simpan saja untuk nanti.
"Dan belakangan sang suami mengetahui bahwa sang istri menjual rambutnya demi membelikannya sebuah jam tangan."
Aku seketika buka suara, "Sudah kuduga."
"Apa yang cai duga bisa jadi salah, gung. Hati-hati dalam menduga." ujar Meme.
"Tapi kenapa dia tidak mengumpulkan uang saja dengan bekerja, dan malah memotong rambut panjangnya itu? Aneh." Meme hanya diam dan tampak tidak peduli mendapati aku yang tiba-tiba mengoceh dan memotong ceritanya.
"Sang suami hari itu juga memutuskan untuk menjual jam tangan pemberian istrinya." kata Meme melanjutkan kisahnya.
Aku mengernyit. Tanda tanya besar tersirat di wajahku. Bertambah aneh saja cerita Meme. Sungguh aku tidak mengerti. Aku menahan diri untuk tidak bertanya 'kenapa' dan kembali terhenyak di kursi kayu ini.
"Sang suami ingin rambut istrinya kembali panjang seperti sebelumnya. Jadi, ia membeli satu paket tonic rambut dan beberapa produk perawatan rambut lainnya, dengan menggunakan uang hasil menjual jam tangan pemberian istrinya. Di rumah, istrinya begitu gembira dengan hadiah sang suami. Namun..."
"Namun kemudian istrinya menyadari sesuatu yang janggal." sambarku. Aku menirukan intonasi suara Meme.
Meme menghela napas dalam senyum simpulnya. Artinya tebakanku benar.
"Cai tahu apa yang janggal?" tanya Meme.
"Jam tangan suaminya tidak ada di pergelangan tangan kirinya." jawabku yakin.
"Lalu, menurut cai apa reaksi sang istri ketika jam tangan pemberiannya itu tidak lagi dipakai sang suami?" Meme kini menatap ke dalam mataku.
"Kecewa. Marah, tentu saja."
Meme menggeleng. "Cai salah."
Kerut di dahiku semakin tercetak jelas. Tertulis jelas kata tanya 'kenapa?' di sana dengan tulisan besar-besar. Ku rasa aku harus mulai membiasakan diri melatih dahiku untuk tidak berkerut terlalu sering ketika sedang mendengarkan cerita Meme. Bisa-bisa aku menua lebih cepat setelah cerita Meme selesai.
"Sang istri menghampiri suaminya, lalu..."
"Menamparnya." sambarku lagi. Usil sekali aku ini. Seketika Meme tergelak. Kemudian menepuk pelan pahaku seraya mengakhiri ceritanya.
"Lalu memeluknya dengan mesra." pungkas Meme. Beliau menghenyakkan punggungnya di sandaran kursi.
Aku masih tidak bisa terima dengan ending cerita yang tidak masuk akal seperti itu. Walau memang begitu tabiat sebuah dongeng. Penuh dengan khayalan. Tidak masuk akal hingga akhir. Tapi baru kali ini aku merasa bahwa dongeng yang memang selalu tidak masuk akal itu kini menggangguku. Begitu menggangguku. Sangat.
Ketika kejanggalannya menyembul keluar, seperti permainan (marmut yang dipukul pakai palu) yang biasa aku mainkan dengan Ayi dulu, rasanya ingin ku pukul kejanggalan itu sekarang juga menggunakan sebuah palu besar sampai aku merasa puas.
Jika dulu waktu aku dan Ayi masih kecil, kami selalu saja terkagum-kagum dengan khayalan yang Meme ceritakan dalam dongengnya, lain halnya dengan sekarang. Usiaku sudah bukan anak-anak lagi. Dan sesuatu yang berbau fantasi seperti itu adalah satu objek yang siap aku basmi di tempat. Ya, waktu memang mengubah segalanya.
"Kenapa sang istri ndak marah sih, Me? Jam tangan spesial yang dia berikan ke suaminya sudah dijual begitu saja, kan? Sudah selayaknya dia marah dan kecewa. Lagipula harga tonic rambut itu berapa sih, Me? Ndak sebanding dengan harga jam tangan yang mahal itu. Apa sang suami ndak mikir? Bukankah dia sudah berlebihan menjual jam tangan pemberian istrinya hanya demi membeli produk-produk perawatan rambut?" akhirnya protes kerasku meluncur dengan deras. Bagai hujan lebat di bulan Juni. Aku sangat yakin jika Ayi ada di sini sekarang, dia pasti juga akan melontarkan komentar yang sama.
"Apa cai juga ndak berpikir kalau sang istri juga sudah berlebihan? Sang istri juga menjual rambut hitamnya yang berharga, ingat?" kata-kata Meme terdengar begitu misterius sekarang.
"Hm, iya sih. Tapi mengingat harga jam tangan otomatis yang dia beli memang tinggi sekali harganya, aku rasa sedikit masuk akal kalau sang istri menjual rambutnya." kataku.
"Cai plin plan. Bukankah tadi cai bilang kalau sang istri harusnya bekerja saja dan mengumpulkan uang, dan bukan dengan cara menjual rambutnya hanya demi membeli sebuah jam tangan?" kali ini Meme mulai mencari-cari kelemahanku. Tuh kan, apalagi mengataiku plin plan segala.
Aku terdiam. Bukan merenungi kesalahan karena aku plin plan, tapi karena aku sudah tidak mampu membalas sanggahan Meme. Meme tidak membiarkanku mencuri celah. Biarlah, aku memang selalu kalah jika beradu argumen dengan Meme. Kalah. Aku kalah telak melawan ketidak-masuk-akal-an yang ditawarkan Meme.
"Gung," dengan sabar Meme menjelaskan poin penting dalam ceritanya. Ini yang ku nanti-nantikan sejak tadi. Sebuah filosofi sebentar lagi akan hadir ditengah-tengah pembicaraan kami. Entah kenapa Bapa dulu tidak memberiku nama 'Filosofi' saja. Sekalian begitu maksudku. Ah, sungguh tak penting. Lupakan.
"Semua ini bukan tentang uang. Bukan tentang seberapa banyak uang yang kita keluarkan hanya demi satu barang remeh temeh. Semua ini tentang pengorbanan demi memperkuat kasih yang terjalin diantara sepasang suami dan istri.
Apa yang dilakukan oleh sang istri adalah satu bentuk perhatian yang ingin ia sampaikan kepada sang suami. Poin terpenting bukan terlihat dari jam tangan yang mahal itu, namun dari usaha dan kesanggupan serta kerelaan sang istri dalam pengorbanannya demi membahagiakan sang suami.
Sebaliknya, apa yang ingin ditunjukkan oleh sang suami kepada istrinya adalah satu bentuk pedulian secara batiniah, walau dalam prakteknya sang suami memberikan tonic rambut, yang mana itu merupakan kebutuhan lahiriah sang istri."
"Jadi, kisah ini mengandung pesan yang lebih dalam dari sekedar memberi dan menerima. Cinta bukan sekedar a game of give and take lagi, gung. Tapi mampu atau tidak dua manusia itu saling memahami pasangannya dengan cara yang spesial." Meme dan kata-katanya yang keren selalu mampu membuatku tersihir.
"Jadi kalau cai memang serius ingin mengutarakan niat baik cai ke bajang Jawa itu, sanggup ndak cai mengorbankan sesuatu demi mewujudkan niat cai tadi?" pertanyaan itu terasa begitu menohok.
"Kenapa jadi membahas aku dan bajang itu, Me?" aku tidak siap ditodong pertanyaan seperti itu.
"Kadang kita memang harus kehilangan satu hal berharga yang kita punya, demi mendapatkan hal lain yang sangat kita dambakan." lanjut Meme. Aku hanya mampu terdiam sembari memandangi onggokan pisang goreng yang mulai dingin. Merenungi nasihat Meme akan memakan waktu sekitar satu minggu, baru aku bisa memahami inti sari dari wejangan itu. Lamban ya otakku?
"Jadi maksud Meme, seperti sang istri yang rela kehilangan rambut panjangnya demi memberi suaminya sebuah jam tangan? Dan seperti sang suami juga yang rela kehilangan jam tangannya yang berharga demi melihat rambut istrinya kembali panjang seperti semula. Begitu?" kataku mencoba menyimpulkan.
Meme mengangguk. "Untuk mendapatkan sesuatu yang belum pernah kita miliki, kita mungkin saja harus melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Termasuk mengorbankan hal berharga yang kita punya, demi mewujudkan keinginan itu."
Aku paham betul maksud Meme. "Seperti pengorbanan Bapa untuk Meme?" tanpa sadar kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku sadar tidak seharusnya aku mengatakannya di depan Meme. Apalagi setelah mengetahui raut wajah Meme yang seketika berubah pucat setelah mendengar penuturanku.
"Bagaimana cai bisa tahu?" tersirat jelas keterkejutan di wajah Meme.
Aku geragapan. Bingung apakah sebaiknya aku harus jujur atau mengarang alasan saja agar tidak membuat Meme sedih. "Bapa sudah sering bercerita tentang itu kepada tyang." akhirnya aku putuskan untuk berkata jujur.
Percuma saja jika aku berbohong, toh pasti Meme sudah bisa membaca pikiranku. Entahlah, dari dulu aku merasa bahwa Meme mungkin saja seorang cenayang, walau sampai sekarang aku masih tidak berani memastikannya.
"Bapa cai adalah laki-laki pertama yang berani kehilangan keluarganya hanya demi menikah dengan Meme." mata Meme berkaca-kaca. Rembesan air mata sebentar lagi pasti membasahi pipinya.
Seketika aku menyesali perkataanku yang di luar kendali itu. "Maafkan tyang, Me."
Pandangan Meme menerawang. Kemudian dengan mantap berkata, "Pasti. Bapamu sudah pasti merestui."
"Ndak tau lah, Me. Tyang ragu." pandanganku menerawang ke bangunan pure kecil tempat Meme meletakkan canang. Pikiranku bercabang. Serasa tak kuasa berpikir jernih. Mungkin aku butuh mandi dan melakukan shower-thoughts barang sejenak. Shower-thoughts selalu mampu membuatku nyaman.
Tak ada tanggapan dari Meme. Beliau ikut larut dalam renung. "Gung," kata Meme setelah berdeham. Beliau menghela napas dalam-dalam sebelum kemudian mengajukan sebuah tawaran.
"Mau dengar cerita Meme sebentar?"
Serasa tersentak dari lamun. Aku langsung mengiyakan tawaran Meme. Bukan karena aku terkejut mendapati bahwa Meme ingin mencurahkan isi hatinya padaku. Atau bukan juga Meme ingin berkeluh tentang kesehariannya. Tidak. Dua hal itu justru yang sering aku curahkan pada Meme. Curhat dan berkeluh adalah keahlianku baru-baru ini. Entah kenapa. Mungkin karena usia dewasa begitu menggangguku. Aku tidak menyukainya. Tak ada alasan yang khusus. Ya hanya begitu saja.
Sebaliknya, Meme pasti punya sesuatu yang ingin beliau sampaikan padaku lewat ceritanya. Namun tidak secara terang-terangan. Karena dari dulu Meme adalah orang yang penuh dengan filosofi hidup. Aku belajar banyak darinya.
Dari dulu aku dan Ayi selalu menantikan saat dimana Meme menceritakan sebuah dongeng. Cerita filosofi yang dikemas dalam cerita anak-anak yang ringan. Begitu manis. Begitu menenangkan. Perasaan itu yang selalu aku rindukan setiap kali aku jauh dari Meme dan tidak lagi sempat mendengarkan cerita-ceritanya. Walau sekarang umurku telah mencapai seperempat abad lebih, masih saja aku suka yang namanya dongeng. Apalagi Meme yang menceritakannya.
Dengan mata berbinar aku menyerukan kata setuju. "Nah, cai negak ané luung. Meme bakal ngawit caritana." kata Meme.
Aku menuruti perintah Meme persis seperti anak TK yang patuh pada gurunya. Bahasa tubuhku sepenuhnya terfokus pada Meme. Namun posisi duduk Meme tetap menghadap ke pelataran. Seolah hijaunya dedaunan adalah potongan-potongan film yang siap beliau putar. Dan langit sore adalah layar lebarnya. Tak lepas pandanganku dari mata Meme. Karena kedua mata keibuan itu selalu dapat menghipnotisku kapan saja. Membuatku tenang. Nyaman sekali rasanya mendengar suara Meme yang sedang mendongeng. Ku rebahkan sisi kepalaku pada sandaran kursi kayu itu. Mencoba mengubah-ubah posisi hingga aku menemukan posisi yang nyaman.
"Alkisah ada sepasang suami-istri yang baru saja melangsungkan pernikahan. Sang istri begitu bangga dengan suaminya." aku terhenyak. Kalimat pembuka dari Meme telah berhasil membuat mataku terpejam.
"Cai eda saré nah, gung." canda Meme.
Seketika aku tergelak, "Nénten, Me. Tyang merem kémaon. Nénten saré."
"Nah, Meme unda," Meme kembali menatap pelataran. "Sang istri begitu bangga dengan suaminya, karena sang suami yang berparas tampan. Suaminya itu suka dengan barang-barang langka. Seperti jam tangan yang selalu ia kenakan setiap harinya. Jam tangan itu bekerja tanpa baterai. Jadi sudah pasti harganya sangat mahal."
"Kok jadi mirip tyang, Me, suaminya?" kataku memotong.
"Cai eda Ge-eR." Meme tertawa. Aku balas tawanya dengan tawa yang sama.
"Sedangkan sang istri punya paras yang cantik jelita dengan rambut hitam terurai panjang sepunggung. Indah sekali. Suatu hari, sang istri ingin memberikan hadiah kepada suaminya di hari ulang tahun suaminya itu.
Sang istri berhasil membeli sebuah jam tangan dan memberikan jam itu tepat di hari ulang tahun suaminya. Suaminya begitu gembira. Sang suami bergegas mengenakan jam itu di pergelangan tangan kirinya dengan bangga." Meme berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Namun ada yang janggal dengan penampilan sang istri hari itu. Suaminya menyadari satu hal dan bertanya,
"Sayang, kenapa kamu memotong rambut panjangmu?"
Sang istri hanya membalasnya dengan senyum dan mengutarakan alasan yang kurang lebih seperti, 'kegerahan' , 'kurang percaya diri dengan rambut panjang' , atau alasan semacam 'ingin ganti suasana saja'. Hanya alasan yang cukup ringan untuk diucapkan seperti itu."
Dahiku mengernyit. Ingin rasanya aku memotong dan menebak alur cerita Meme, namun segera aku urungkan. Aku simpan saja untuk nanti.
"Dan belakangan sang suami mengetahui bahwa sang istri menjual rambutnya demi membelikannya sebuah jam tangan."
Aku seketika buka suara, "Sudah kuduga."
"Apa yang cai duga bisa jadi salah, gung. Hati-hati dalam menduga." ujar Meme.
"Tapi kenapa dia tidak mengumpulkan uang saja dengan bekerja, dan malah memotong rambut panjangnya itu? Aneh." Meme hanya diam dan tampak tidak peduli mendapati aku yang tiba-tiba mengoceh dan memotong ceritanya.
"Sang suami hari itu juga memutuskan untuk menjual jam tangan pemberian istrinya." kata Meme melanjutkan kisahnya.
Aku mengernyit. Tanda tanya besar tersirat di wajahku. Bertambah aneh saja cerita Meme. Sungguh aku tidak mengerti. Aku menahan diri untuk tidak bertanya 'kenapa' dan kembali terhenyak di kursi kayu ini.
"Sang suami ingin rambut istrinya kembali panjang seperti sebelumnya. Jadi, ia membeli satu paket tonic rambut dan beberapa produk perawatan rambut lainnya, dengan menggunakan uang hasil menjual jam tangan pemberian istrinya. Di rumah, istrinya begitu gembira dengan hadiah sang suami. Namun..."
"Namun kemudian istrinya menyadari sesuatu yang janggal." sambarku. Aku menirukan intonasi suara Meme.
Meme menghela napas dalam senyum simpulnya. Artinya tebakanku benar.
"Cai tahu apa yang janggal?" tanya Meme.
"Jam tangan suaminya tidak ada di pergelangan tangan kirinya." jawabku yakin.
"Lalu, menurut cai apa reaksi sang istri ketika jam tangan pemberiannya itu tidak lagi dipakai sang suami?" Meme kini menatap ke dalam mataku.
"Kecewa. Marah, tentu saja."
Meme menggeleng. "Cai salah."
Kerut di dahiku semakin tercetak jelas. Tertulis jelas kata tanya 'kenapa?' di sana dengan tulisan besar-besar. Ku rasa aku harus mulai membiasakan diri melatih dahiku untuk tidak berkerut terlalu sering ketika sedang mendengarkan cerita Meme. Bisa-bisa aku menua lebih cepat setelah cerita Meme selesai.
"Sang istri menghampiri suaminya, lalu..."
"Menamparnya." sambarku lagi. Usil sekali aku ini. Seketika Meme tergelak. Kemudian menepuk pelan pahaku seraya mengakhiri ceritanya.
"Lalu memeluknya dengan mesra." pungkas Meme. Beliau menghenyakkan punggungnya di sandaran kursi.
Aku masih tidak bisa terima dengan ending cerita yang tidak masuk akal seperti itu. Walau memang begitu tabiat sebuah dongeng. Penuh dengan khayalan. Tidak masuk akal hingga akhir. Tapi baru kali ini aku merasa bahwa dongeng yang memang selalu tidak masuk akal itu kini menggangguku. Begitu menggangguku. Sangat.
Ketika kejanggalannya menyembul keluar, seperti permainan (marmut yang dipukul pakai palu) yang biasa aku mainkan dengan Ayi dulu, rasanya ingin ku pukul kejanggalan itu sekarang juga menggunakan sebuah palu besar sampai aku merasa puas.
Jika dulu waktu aku dan Ayi masih kecil, kami selalu saja terkagum-kagum dengan khayalan yang Meme ceritakan dalam dongengnya, lain halnya dengan sekarang. Usiaku sudah bukan anak-anak lagi. Dan sesuatu yang berbau fantasi seperti itu adalah satu objek yang siap aku basmi di tempat. Ya, waktu memang mengubah segalanya.
"Kenapa sang istri ndak marah sih, Me? Jam tangan spesial yang dia berikan ke suaminya sudah dijual begitu saja, kan? Sudah selayaknya dia marah dan kecewa. Lagipula harga tonic rambut itu berapa sih, Me? Ndak sebanding dengan harga jam tangan yang mahal itu. Apa sang suami ndak mikir? Bukankah dia sudah berlebihan menjual jam tangan pemberian istrinya hanya demi membeli produk-produk perawatan rambut?" akhirnya protes kerasku meluncur dengan deras. Bagai hujan lebat di bulan Juni. Aku sangat yakin jika Ayi ada di sini sekarang, dia pasti juga akan melontarkan komentar yang sama.
"Apa cai juga ndak berpikir kalau sang istri juga sudah berlebihan? Sang istri juga menjual rambut hitamnya yang berharga, ingat?" kata-kata Meme terdengar begitu misterius sekarang.
"Hm, iya sih. Tapi mengingat harga jam tangan otomatis yang dia beli memang tinggi sekali harganya, aku rasa sedikit masuk akal kalau sang istri menjual rambutnya." kataku.
"Cai plin plan. Bukankah tadi cai bilang kalau sang istri harusnya bekerja saja dan mengumpulkan uang, dan bukan dengan cara menjual rambutnya hanya demi membeli sebuah jam tangan?" kali ini Meme mulai mencari-cari kelemahanku. Tuh kan, apalagi mengataiku plin plan segala.
Aku terdiam. Bukan merenungi kesalahan karena aku plin plan, tapi karena aku sudah tidak mampu membalas sanggahan Meme. Meme tidak membiarkanku mencuri celah. Biarlah, aku memang selalu kalah jika beradu argumen dengan Meme. Kalah. Aku kalah telak melawan ketidak-masuk-akal-an yang ditawarkan Meme.
"Gung," dengan sabar Meme menjelaskan poin penting dalam ceritanya. Ini yang ku nanti-nantikan sejak tadi. Sebuah filosofi sebentar lagi akan hadir ditengah-tengah pembicaraan kami. Entah kenapa Bapa dulu tidak memberiku nama 'Filosofi' saja. Sekalian begitu maksudku. Ah, sungguh tak penting. Lupakan.
"Semua ini bukan tentang uang. Bukan tentang seberapa banyak uang yang kita keluarkan hanya demi satu barang remeh temeh. Semua ini tentang pengorbanan demi memperkuat kasih yang terjalin diantara sepasang suami dan istri.
Apa yang dilakukan oleh sang istri adalah satu bentuk perhatian yang ingin ia sampaikan kepada sang suami. Poin terpenting bukan terlihat dari jam tangan yang mahal itu, namun dari usaha dan kesanggupan serta kerelaan sang istri dalam pengorbanannya demi membahagiakan sang suami.
Sebaliknya, apa yang ingin ditunjukkan oleh sang suami kepada istrinya adalah satu bentuk pedulian secara batiniah, walau dalam prakteknya sang suami memberikan tonic rambut, yang mana itu merupakan kebutuhan lahiriah sang istri."
"Jadi, kisah ini mengandung pesan yang lebih dalam dari sekedar memberi dan menerima. Cinta bukan sekedar a game of give and take lagi, gung. Tapi mampu atau tidak dua manusia itu saling memahami pasangannya dengan cara yang spesial." Meme dan kata-katanya yang keren selalu mampu membuatku tersihir.
"Jadi kalau cai memang serius ingin mengutarakan niat baik cai ke bajang Jawa itu, sanggup ndak cai mengorbankan sesuatu demi mewujudkan niat cai tadi?" pertanyaan itu terasa begitu menohok.
"Kenapa jadi membahas aku dan bajang itu, Me?" aku tidak siap ditodong pertanyaan seperti itu.
"Kadang kita memang harus kehilangan satu hal berharga yang kita punya, demi mendapatkan hal lain yang sangat kita dambakan." lanjut Meme. Aku hanya mampu terdiam sembari memandangi onggokan pisang goreng yang mulai dingin. Merenungi nasihat Meme akan memakan waktu sekitar satu minggu, baru aku bisa memahami inti sari dari wejangan itu. Lamban ya otakku?
"Jadi maksud Meme, seperti sang istri yang rela kehilangan rambut panjangnya demi memberi suaminya sebuah jam tangan? Dan seperti sang suami juga yang rela kehilangan jam tangannya yang berharga demi melihat rambut istrinya kembali panjang seperti semula. Begitu?" kataku mencoba menyimpulkan.
Meme mengangguk. "Untuk mendapatkan sesuatu yang belum pernah kita miliki, kita mungkin saja harus melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Termasuk mengorbankan hal berharga yang kita punya, demi mewujudkan keinginan itu."
Aku paham betul maksud Meme. "Seperti pengorbanan Bapa untuk Meme?" tanpa sadar kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku sadar tidak seharusnya aku mengatakannya di depan Meme. Apalagi setelah mengetahui raut wajah Meme yang seketika berubah pucat setelah mendengar penuturanku.
"Bagaimana cai bisa tahu?" tersirat jelas keterkejutan di wajah Meme.
Aku geragapan. Bingung apakah sebaiknya aku harus jujur atau mengarang alasan saja agar tidak membuat Meme sedih. "Bapa sudah sering bercerita tentang itu kepada tyang." akhirnya aku putuskan untuk berkata jujur.
Percuma saja jika aku berbohong, toh pasti Meme sudah bisa membaca pikiranku. Entahlah, dari dulu aku merasa bahwa Meme mungkin saja seorang cenayang, walau sampai sekarang aku masih tidak berani memastikannya.
"Bapa cai adalah laki-laki pertama yang berani kehilangan keluarganya hanya demi menikah dengan Meme." mata Meme berkaca-kaca. Rembesan air mata sebentar lagi pasti membasahi pipinya.
Seketika aku menyesali perkataanku yang di luar kendali itu. "Maafkan tyang, Me."
***
Senja itu juga, Janta memutuskan untuk menelepon gadis itu.
Gadis yang telah membuat pikirannya kacau belakangan ini. Siapa lagi kalau bukan gadis Jawa itu. Gadis asing yang baru setahun belakangan ia kenal secara virtual. Ya, mereka berdua memang belum pernah bertemu muka. Dan hanya saling mengakrabkan diri melalui benda canggih persegi panjang yang di dalamnya berisi fitur-fitur canggih yang bisa dimanfaatkan sebagai alat berkomunikasi jarak jauh. Smartphone. Ponsel pintar abad ini. Ya, hanya lewat sosial media mereka saling mengenal satu sama lain.
Aneh memang jika Janta menyukai seorang lawan jenis yang belum pernah sama sekali ia temui. Namun jujur, sebenarnya ia sangat ingin bertemu dengan gadis itu. Jujur, ia penasaran. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang menarik perhatiannya. Gadis itu bagai magnet yang aneh. Ia telah berhasil menyita dunia Janta setengahnya. Ah tidak, tidak. Seperempatnya. Ah tidak, tidak. Seperdelapannya. Ah, terserah.
Yang pasti Janta ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Setidaknya satu kali saja, jika Tuhan mengijinkan. Bahkan ia telah memesan tiket pesawat jauh hari sebelumnya dan mempersiapkan segala keperluannya untuk terbang ke Jawa enam bulan yang lalu.
Tapi apa yang terjadi?
Situasi sama sekali tak bersahabat dengannya. Situasi menjadikannya sebagai kambing hitam penyebab semua kekacauan. Situasi memaksa Janta ikhlas diperlakukan seperti seorang pengkhianat.
Ya, memang benar. Secara tidak langsung, Janta telah melanggar janjinya sendiri. Tapi ia sudah minta maaf dan menjelaskannya pada gadis itu, kan? Bukankah itu sudah cukup? Ya, sudah cukup memang. Alasan jujur itu sudah cukup berhasil membuat Janta terlihat seperti seorang yang besar mulut. Seorang pembohong. Sialnya, beberapa bulan terakhir pikirannya serasa tak mampu lepas memikirkan gadis itu. Nyaris setiap malam pikirannya selalu dipenuhi dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Dan itu membuatnya takut. Rasanya otak Janta perlu disetrika saking kusutnya.
Bunyi tut panjang-pendek di speaker pengeras ponsel itu membuatnya gugup. Jika teleponnya tersambung, ia harus mengatakan apa? Terlintas ide untuk segera menutup telepon segera setelah itu tersambung.
Nada sambung telepon masih saja terdengar dari seberang. Belum ada tanda-tanda tersambung. Detik berikutnya Janta berubah pikiran. Ia merasa tidak siap menelepon gadis itu sekarang. Sebaiknya segera ia tutup sambungan teleponnya sekarang juga. Jemari Janta nyaris saja menekan tombol merah, namun bersamaan dengan itu terdengar suara 'klik'. Tanda bahwa telepon telah berhasil tersambung.
Janta geragapan. Mau tidak mau ia harus buka suara, "Halo?" suaranya terdengar ragu.
Tidak ada tanggapan dari seberang. Hanya suara bising dan suara orang-orang yang berkerumun yang ia tangkap saat ini.
"Halo?" sekali lagi Janta mencoba memanggil.
Nihil. Tetap tidak ada respon. Suara di seberang kini berubah menjadi gaduh. Terdengar suara seorang wanita tengah berteriak meminta pertolongan.
"Astaghfirullah, YANA!"
"Mas Mbak tolongin...."
"Cepat panggil ambulan!" kata suara-suara dalam kerumunan. Suasana di seberang telepon terdengar begitu kacau.
Sepetinya ponsel di seberang terjatuh begitu saja karena telah terjadi sesuatu yang buruk dengan pemiliknya.
"Halo? Eliane? Halo?" Janta lebih memperkeras suaranya. Perasaan apa ini? Tiba-tiba saja rasa mual menyergapnya. Jantungnya bekerja sepuluh kali lipat lebih cepat. Hatinya sangat kacau.
Apa yang terjadi dengan gadis itu? Janta benci keadaan ini. Ia benci menduga-duga tentang kemungkinan terburuk.
***
(to be continued...)
***
Senja itu juga, Janta memutuskan untuk menelepon gadis itu.
Gadis yang telah membuat pikirannya kacau belakangan ini. Siapa lagi kalau bukan gadis Jawa itu. Gadis asing yang baru setahun belakangan ia kenal secara virtual. Ya, mereka berdua memang belum pernah bertemu muka. Dan hanya saling mengakrabkan diri melalui benda canggih persegi panjang yang di dalamnya berisi fitur-fitur canggih yang bisa dimanfaatkan sebagai alat berkomunikasi jarak jauh. Smartphone. Ponsel pintar abad ini. Ya, hanya lewat sosial media mereka saling mengenal satu sama lain.
Aneh memang jika Janta menyukai seorang lawan jenis yang belum pernah sama sekali ia temui. Namun jujur, sebenarnya ia sangat ingin bertemu dengan gadis itu. Jujur, ia penasaran. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang menarik perhatiannya. Gadis itu bagai magnet yang aneh. Ia telah berhasil menyita dunia Janta setengahnya. Ah tidak, tidak. Seperempatnya. Ah tidak, tidak. Seperdelapannya. Ah, terserah.
Yang pasti Janta ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Setidaknya satu kali saja, jika Tuhan mengijinkan. Bahkan ia telah memesan tiket pesawat jauh hari sebelumnya dan mempersiapkan segala keperluannya untuk terbang ke Jawa enam bulan yang lalu.
Tapi apa yang terjadi?
Situasi sama sekali tak bersahabat dengannya. Situasi menjadikannya sebagai kambing hitam penyebab semua kekacauan. Situasi memaksa Janta ikhlas diperlakukan seperti seorang pengkhianat.
Ya, memang benar. Secara tidak langsung, Janta telah melanggar janjinya sendiri. Tapi ia sudah minta maaf dan menjelaskannya pada gadis itu, kan? Bukankah itu sudah cukup? Ya, sudah cukup memang. Alasan jujur itu sudah cukup berhasil membuat Janta terlihat seperti seorang yang besar mulut. Seorang pembohong. Sialnya, beberapa bulan terakhir pikirannya serasa tak mampu lepas memikirkan gadis itu. Nyaris setiap malam pikirannya selalu dipenuhi dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Dan itu membuatnya takut. Rasanya otak Janta perlu disetrika saking kusutnya.
Bunyi tut panjang-pendek di speaker pengeras ponsel itu membuatnya gugup. Jika teleponnya tersambung, ia harus mengatakan apa? Terlintas ide untuk segera menutup telepon segera setelah itu tersambung.
Nada sambung telepon masih saja terdengar dari seberang. Belum ada tanda-tanda tersambung. Detik berikutnya Janta berubah pikiran. Ia merasa tidak siap menelepon gadis itu sekarang. Sebaiknya segera ia tutup sambungan teleponnya sekarang juga. Jemari Janta nyaris saja menekan tombol merah, namun bersamaan dengan itu terdengar suara 'klik'. Tanda bahwa telepon telah berhasil tersambung.
Janta geragapan. Mau tidak mau ia harus buka suara, "Halo?" suaranya terdengar ragu.
Tidak ada tanggapan dari seberang. Hanya suara bising dan suara orang-orang yang berkerumun yang ia tangkap saat ini.
"Halo?" sekali lagi Janta mencoba memanggil.
Nihil. Tetap tidak ada respon. Suara di seberang kini berubah menjadi gaduh. Terdengar suara seorang wanita tengah berteriak meminta pertolongan.
"Astaghfirullah, YANA!"
"Mas Mbak tolongin...."
"Cepat panggil ambulan!" kata suara-suara dalam kerumunan. Suasana di seberang telepon terdengar begitu kacau.
Sepetinya ponsel di seberang terjatuh begitu saja karena telah terjadi sesuatu yang buruk dengan pemiliknya.
"Halo? Eliane? Halo?" Janta lebih memperkeras suaranya. Perasaan apa ini? Tiba-tiba saja rasa mual menyergapnya. Jantungnya bekerja sepuluh kali lipat lebih cepat. Hatinya sangat kacau.
Apa yang terjadi dengan gadis itu? Janta benci keadaan ini. Ia benci menduga-duga tentang kemungkinan terburuk.
***
(to be continued...)
***
Bahasa Bali:
1. Bapa (dibaca: bape; bunyi 'e' seperti pada kata 'tengah') = bapak / ayah (orangtua)
2. Meme (bunyi 'e' seperti pada kata 'bebek') = ibu (orangtua)
3. Cai = kamu
4. Tyang = saya / aku
5. Bajang = gadis
6. Mbok = panggilan untuk kakak perempuan
7. Gung = berarti bocah lanang, panggilan semacam 'Nak' atau 'Le' untuk orang Jawa.
8. Nah, cai negak ané luung. Meme bakal ngawit caritana. = Baiklah, kamu duduk yang nyaman. Ibu akan memulai ceritanya.
9. Cai eda saré nah, gung. = Kamu jangan tidur ya, Nak.
10. Nénten, Me. Tyang merem kémaon. Nénten saré. = Nggak, Bu. Saya hanya memejamkan mata saja. Nggak tidur. (Bahasa Bali halus)
11. Nah, Meme unda. = Ya sudah, Ibu lanjutkan.
9. Cai eda saré nah, gung. = Kamu jangan tidur ya, Nak.
10. Nénten, Me. Tyang merem kémaon. Nénten saré. = Nggak, Bu. Saya hanya memejamkan mata saja. Nggak tidur. (Bahasa Bali halus)
11. Nah, Meme unda. = Ya sudah, Ibu lanjutkan.
***
update lagi mbak , tulisannya. semangat ngeblognya
BalasHapusTerima kasih mas. Insya Allah dilanjut... 👍
Hapus