Airport Proposal #3

#3
Blind Date

Empat bulan yang lalu...

"Sudah ku bilang kan? Aku nggak suka ide semacam ini. Titik." Eliane bersungut-sungut. Ia duduk dengan gelisah disebelah lelaki paruh baya pemilik satu dua helai uban di kepalanya.

"Kenapa?" Lelaki itu melembutkan nada bicaranya. "Bukannya kemarin kamu bilang mau coba ketemuan sama anak itu?"

"Aku berubah pikiran." emosi Eliane sudah di ujung ubun-ubun, matanya berkaca-kaca walau sekuat hati ia tahan jangan sampai air mata itu jatuh. Tenggorokannya kelu. Hingga rasanya seperti menyimpan duri ikan di dalam sana.

Lelaki itu menghela lelah. Sungguh tidak mudah rasa-rasanya membujuk anak sulungnya itu jika sudah begini. Anak keras kepala, mungkin begitu pikirnya.

"Na, jangan sekali-sekali menebak-nebak dan menyimpulkan sesuatu sebelum terbukti benar. Kamu kan belum pernah bertemu muka, sudah bilang nggak cocok. Dicoba dulu, sekali aja. Hitung-hitung ini usaha dalam proses kamu mencari calon. Barangkali ini rejeki kamu." lelaki di sebelah Eliane bertutur kian lembut. Seolah nasihatnya mampu mengusap-usap hati anaknya yang keras itu.

"Aku nggak mau, Pa. Dia itu cowok kasar. Nggak tau sopan santun. Dari cara bicaranya di pesan Whatsapp udah bisa kelihatan gimana orangnya, meski aku belum ketemu muka secara langsung. Aku nggak suka sama dia." Eliane selalu benci ketika ayahnya meminta dirinya untuk melakukan kencan buta. Hanya karena laki-laki itu anaknya Pak Lurah, bukan berarti Eliane bersedia bertemu dengannya.

"Dicoba dulu. Apa salahnya bertemu sekali saja?"

Ini yang paling Eliane benci. Ayahnya sangat suka memaksakan nasihat pada Eliane. Dengan kemampuan Eliane dalam membaca kepribadian orang lain hanya melalui tutur kata di media sosial serta ekspresi wajah yang terlihat dalam foto seseorang, jelas sekali membuat Eliane lebih memilih untuk mempercayai intuisinya sendiri daripada nasihat tak masuk akal dari ayahnya itu. Baiklah, seperti kata pepatah: buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tabiat anak pasti diturunkan dari orangtuanya. Eliane paham kalau nasihat ayahnya itu ada benarnya, tidak sepenuhnya keliru. Eliane bahkan sangat memahami bahwa ayahnya punya maksud yang baik. Hanya saja Eliane tidak suka ide tentang kencan buta semacam ini. Bagi Eliane, tidak ada yang membuatnya tertarik dengan kepribadian orang itu. Titik.

"Udah deh. Sampai kapan Papa mau terus-terusan minta aku untuk ketemu sama orang yang nggak jelas? Aku bisa cari sendiri, Pa." nada bicaranya mulai ketus. Namun sejujurnya hati Eliane menjerit. Batinnya menangis.

"Dia anak Lurah, kerjanya juga udah cukup mapan, dan pendidikannya setara dengan kamu. Lagipula rumahnya juga bukan di barat sungai. Itu pertimbangan Papa. Cari yang sederhana saja, asal saling nyambung." lagi-lagi Eliane muak dengan status sosial yang berdiri di atas nama pernikahan.

Ayahnya itu masih sangat kental sekali kepercayaannya terhadap leluhur Jawa. Beliau masih percaya tentang barat sungai dan timur sungai. Sebuah mitos Jawa kuno yang menggambarkan bahwa orang yang berdomisili di timur sungai pamali menikah dengan yang berdomisili di barat sungai. Karena nantinya salah satu anggota keluarga bisa tertimpa musibah tak lama setelah pernikahan dilangsungkan. Musibah itu seperti: penyakit menular atau yang lebih buruk lagi, kematian.

"Paling tidak, penuhi permintaan Papa sekali ini saja untuk bertemu dengan anak itu." sang ayah tetap bersikeras melancarkan nasihat tentang jodoh anaknya itu.

Eliane berkata dengan cepat, nada bicaranya kesal. "Sudah aku batalkan janji ketemuannya."

Eliane menyesal sudah bercerita tentang laki-laki itu pada ayahnya. Seharusnya dia tidak melakukannya. Laki-laki itu adalah tetangga dekat Bu Ernia; teman kerjanya di sekolah. Ketika mengetahui bahwa Eliane seumuran dengan tetangganya itu dan notabene masih sama-sama single, Bu Ernia langsung menawarkannya kepada Eliane. Dengan bodohnya Eliane mengiyakan saja tawaran untuk bertukar nomor whatsapp dengan laki-laki itu. Dan sekarang Eliane menyesalinya. Jika hasilnya seperti ini, tidak seharusnya dia menyetujui tawaran gila semacam itu. Jujur, Eliane masih memikirkan kemungkinan dirinya dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan laki-laki Bali itu.

Ayahnya mendesah lelah, sepertinya sekarang sudah mencapai anti-klimaks dari usahanya. Sang ayah menyerah meyakinkan anak sulungnya itu. "Ya sudah. Ndak apa-apa. Kamu bilang sama teman kerjamu itu kalau kamu sudah dikenalkan calon oleh orangtua. Begitu saja. Supaya teman kerjamu itu tidak merasa tersinggung."

Eliane mengiyakan saran ayahnya. Namun hanya di bibir saja. Eliane adalah gadis 'liar', ingat? Intuisinya mengatakan hal yang berkebalikan dengan nasihat orangtuanya. Lagi-lagi Eliane harus jujur demi kebaikan. Karena berbohong demi kebaikan tidak ada dalam kamusnya untuk hari ini. Ya, hanya untuk hari ini saja.

***

"Jadi gitu ceritanya." ujar Eliane mengakhiri kisah kalut berlabel drama yang terjadi empat bulan lalu. Seketika Vieri berhenti meneguk air kelapa muda.

"Udah gila kamu! Nolak ketemuan sama anaknya Lurah?" Vieri nyaris tersedak daging buah kelapa muda ketika mengatakannya. "Ganteng nggak orangnya?"

"Ganteng nggak ganteng, kalau tata kramanya nol besar, di mataku dia jelek. Titik." begitulah Eliane. Kepalanya tetap keras seperti batu.

Kafe yang biasa mereka berdua singgahi, hari ini tampak sepi. Hanya ada satu dua pelanggan. Dan suasana ini yang paling Eliane suka. Ketenangan di tempat umum.

Vieri melahap potongan bakso terakhirnya. "Ya udah. Memang tipe-tipe kayak kamu tuh nggak bisa dipaksa secara halus. Hihi."

Melihat tidak ada tanggapan dari Eliane, Vieri cepat-cepat menambahkan. "Trus sekarang apa rencana kamu? Jadi kencan butanya?"

"Nggak lah. Gila aja ketemuan sama cowok kayak dia." Eliane gagal menutupi emosi marahnya kali ini. Biasanya dia pandai menutupi emosi, dan memasang wajah sedatar aspal.

"Bener kata bapakmu itu. Menyimpulkan terlalu cepat sebelum terbukti gimana aslinya itu pamali, Na." lagi-lagi nasihat yang paling dihindari Eliane. Ia enggan mendengarnya saat sekarang. Bisa tidak, orang-orang berhenti mengatakan hal itu untuk sementara waktu? Dan hidupnya mungkin bisa damai barang semenit saja.

Satu dua pelanggan mulai berdatangan seiring waktu berlalu. Suara hiruk pikuk kafe mulai terdengar. Brengos Kafe mulai ramai dan agak berisik. Membuat Eliane sedikit kurang nyaman.

"Iya, Vi. Aku ngerti banget maksud bapakku itu gimana. Tapi aku juga nggak bisa mengorbankan diriku yang berharga ini untuk masuk ke kandang buaya, kan? Coba kamu pikir, baru sehari kenalan lewat Whatsapp, tiba-tiba udah pengen ngajak aku kopi darat. Ketemuannya malem-malem lagi. Kalo bukan cowok mata keranjang atau bajingan, trus apa lagi namanya? Mentang-mentang anak lurah, bukan berarti bisa main perintah dan ngasih keputusan sepihak gitu aja, kan? Emang kalo kamu ada di posisi aku, apa kamu langsung setuju aja gitu sama ajakan cowok sableng itu?" Eliane menyedot banyak-banyak green tea Aussie milk yang ia pesan dengan muka merah padam karena marah.

Vieri terkikik mendengar sahabatnya mengoceh. "Hm... yaa apa salahnya lho dicoba."

Eliane bergidik. "Udah aku blokir nomor whatsapp-nya."

Ekspresi Eliane saat merasa risih sekaligus jijik, kembali mengundang tawa Vieri. Kali ini lebih keras.

"Nyari cowok dengan kualitas yang sama dengan diri sendiri tuh nggak segampang nyari driver go-jek, Vi. You know that."

"Iya, Na. Paham. Tapi seenggaknya anak Lurah itu lebih mending kan daripada cowok Bali yang suka ngasih PHP?" tohok Vieri dengan tawa yang masih tersisa.

"Amit-amit, Vi. Mending dari sudut mananya coba? His personality bothers me so much. That's all. The End." Eliane kesal. "Dan satu lagi. Cowok Bali itu nggak PHP kok. Dia cuman menunda kedatangannya aja. Udah."

"Eh, Na, Na. Liat tuh." Vieri tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Ia menunjuk-nunjuk dengan dagunya. "Cowok waiter itu ganteng, ya." bisiknya.

"Yang mana?" Eliane serasa tidak tertarik sama sekali dan malas meladeni Vieri kalau sudah kumat dengan kebiasaan buruknya cuci mata di tempat umum.

"Itu, meja dua." Ada nada girang dalam jerit Vieri yang tertahan.

Eliane melongok mencoba melihat lebih jelas sosok laki-laki yang Vieri maksud. "Oh, yang itu."

Dandanan cowok tinggi-putih-rambut lurus sebahu yang diikat setengah itu rapi, dan wajahnya terlihat sangat segar dipandang mata. Tak heran jika Vieri tak mampu lepas memandangi laki-laki itu. "Hm, lumayan juga." komentar Eliane.

"Kenapa? Kamu naksir?" pancingnya kemudian. Langsung terlihat jelas kalau Vieri salah tingkah.

"Hm, dikit sih. Tapi nggak ah, biasa aja." elak Vieri sambil berdeham membersihkan tenggorokannya setelah beberapa tetes strawberry milkshake salah masuk ke area pita suara.

Saat ini mereka duduk di meja nomor empat. Tiba-tiba Eliane tersenyum jahil sambil mengangguk-angguk.

Eliane mengangkat tangan kanannya seraya berseru, "Mas!" tepat saat waiter di meja nomor dua telah selesai mencatat pesanan pelanggan. Eliane memberikan isyarat tangan supaya waiter itu datang menghampiri meja nomor empat. Seketika Vieri menggantungkan rahangnya hingga titik 35 derajat garis busur. Matanya bulat membelalak. Jantungnya nyaris melompat keluar.

"Ssst! Na, gila kamu ya." Vieri menekan telunjuk pada bibirnya. Ia berbisik panik, mencegah Eliane berbuat jahil. Dengan terburu-buru mencari lap, serbet atau apapun untuk menutupi mukanya yang kini memerah semerah tomat. Bersiap akan dampak dari kejahilan partner in crime-nya itu.

Vieri makin salah tingkah ketika waiter ganteng itu sudah berdiri di sebelahnya. Ia berpura-pura menikmati strawberry milkshake sambil sesekali ekor matanya mencuri-curi pandang ke arah si Mas waiter. Napasnya serasa tercekat. Perasaan mual di dalam perutnya kian menjadi saat ia gugup. Seperti ingin lari ke toilet saat itu juga.

"Ya, Mbak? Mau nambah pesanannya?" sapanya ramah. Seketika aroma peppermint dan lemon menguar memanjakan hidung Eliane. Aroma parfum.

"Iya, Mas." Eliane mulai menyebutkan satu per satu nama menu yang ingin ia pesan lagi. "Take away ya, Mas."

Waiter itu mengulangi kembali pesanan Eliane sebelum beranjak dari meja 4. Eliane mengucapkan terima kasih, dan waiter ganteng pun berlalu. Vieri menghela lega.

"Dasar rese'. Jantungan tau, Na!" protesnya setengah merajuk ketika Mas waiter sudah agak jauh dari jangkauan mata.

Eliane hanya terkekeh geli menikmati kejahilannya sendiri. "Sori, Vi."

"Tapi sekarang kamu jadi tau kan siapa namanya?" Eliane mengerling. Vieri tersenyum senang setelah tadi berhasil membaca sebaris nama di nametag waiter itu. "Thanks, Na."

"Anytime." balasnya ringan seraya mengedikkan bahu.

"Tapi ngomong-ngomong namanya kok unik, ya?" Vieri bergumam retoris.

Eliane hanya menanggapinya dengan acuh. Ia sibuk menekuni layar smartphone yang menampilkan jendela whatsapp

"Ngomong-ngomong, kamu udah ngajuin surat resign-mu itu ke big boss?" celetuk Vieri setelahnya.

"Belum. Rencanaku besok Senin. Sekalian aku juga mau resign dari sekolah." nada suaranya terdengar berat dan lelah.

"Kamu yakin, Na? Udah keputusan final nih?"

Eliane hanya mengangguk tanpa satu kata pun terucap. Ia menunduk menekuni sebatang sedotan yang terendam air berwarna bening kehijauan di hadapannya. Melakukan aktifitas kurang produktif dengan sedotan itu, sementara pikirannya melanglang jauh. Pandangannya tidak terfokus, sementara Vieri mengoceh panjang lebar.

Kemudian Eliane merasakan telinganya berdenging agak panjang. Rasanya suara celoteh dari sahabatnya itu terdengar jauh. Dan kemudian hilang. Suara-suara di sekelilingnya pun ikut menghilang bersamaan dengan bunyi dengung yang tiba-tiba berhenti. Eliane meraba kulit yang berada di depan lubang telinga kanannya. Menekan kulit itu dengan kening berkerut. Kali ini suara yang muncul terdengar seperti gemerisik pasir yang tertiup angin. Disusul denging kedua. Apa yang salah dengannya?

"Na? Yana?" suara Vieri terdengar timbul tenggelam. "Eliane Ranupatma!"

Denging itu kian memuncak, kemudian berhenti. Suara Vieri mulai bisa diterimanya kembali. Perlahan suara-suara di sekitar pun kembali muncul. "Eh? Apa? Kamu ngomong apa Vi barusan?"

"Kamu kenapa? Diajakin ngobrol kok malah nglamun. Tuh pesenan kamu udah dibungkusin."

Telah tersaji di hadapannya satu kantong plastik warna putih yang tembus pandang. Di dalamnya berisi kotak-kotak sterofom yang tertumpuk rapi.

Eliane hanya menggeleng dan mengaku bahwa ia baik-baik saja.

"Udah yuk. Cabut." ajak Vieri.

Layar ponsel Eliane berkedip segera setelah ia beranjak dari tempat duduk. Ada satu panggilan masuk. Entah kenapa membaca sebaris nama yang tertera di layarnya saat ini, berhasil membuat kedua sudut bibirnya terangkat. Belum sempat ia menggeser tombol hijau, badannya limbung.

"Astaghfirullah, YANA!" Eliane masih bisa mendengar jerit Vieri sebelum pandangannya menggelap.

Pemandangan di Brengos Kafe seketika berubah menjadi kepanikan dan tanda tanya heran orang-orang seantero kafe. Suasana tenang berubah menjadi kelesik gumaman. Beberapa waiter dan waitress seketika melupakan nampan-nampan mereka dan segera menghampiri meja empat. Dengan Eliane yang masih tak sadarkan diri dalam rangkulan Vieri yang tengah bersimpuh dengan wajah panik.

***

(to be continued...)

Kediri, 12 Agustus 2018. 13:31.
Oleh: Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori