Airport Proposal #1

#1
That Dream Haunted Me

Eliane menatap kosong ke arah lalu lintas jalan kota yang ramai kendaraan bermotor, Go-jek, dan becak saling berjejal. Ada yang salah dengannya hari ini.

"Na? Halo? YANA!!" suara Vieri seketika membawa sahabatnya itu kembali ke dunia nyata. Vieri selalu memanggilnya Yana sejak dulu. Itu karena cara baca nama Eliane adalah "Iliyana".

"Apa sih Vi," Eliane geragapan. Ia menyatukan kedua alisnya, kemudian mendesah malas. Ia meletakkan kepalanya di atas meja. Pipi kanannya menempel tepian meja besi itu. Sejuk terasa menembus pori-pori kulit. Eliane memejamkan mata.

"Kenapa? Masih kepikiran sama mimpi kamu semalem?" Vieri menyesap sedikit green tea milk hangat di hadapannya. Sesekali melirik waiter tampan yang berlalu lalang sekitar meja para pelanggan dengan membawa nampan berisi gelas-gelas penuh minuman.

Eliane bergeming. Tak ditanggapi sama sekali simpati Vieri barusan.

"Udahlah," Vieri menjejalkan sepotong martabak manis rasa kacang coklat ke dalam mulutnya. "Anggap aja bunga tidur. Nggak berarti apa-apa. Forget it and you'll be okay."

"Mana bisa segampang itu sih, Vi. Bukan cuma malem kemaren aku mimpi tentang dia. Ini tuh udah sekitar emm... berapa ya," Eliane melipat-lipat kedua jemari tangannya. "Kira-kira udah 7 kali mimpi yang sama terulang. And you know what? I feel like I'm gonna be crazy thinking about that."

"Come on Yana my dear hunny buddy sweety." Gaya lucu Vieri saat mengucapkan gelar panggilan yang super memuakkan itu selalu berhasil membuat Eliane illfeel dan mual. "Kamu aja belum pernah ketemu sama cowok itu, dan..."

"Hampir, Vi. Nyaris. Inget? Kita nyaris bisa ketemuan." Eliane buru-buru memotong. Ia tidak terima jika Vieri melupakan begitu saja cerita curhatan panjangnya seminggu yang lalu.

"Kapan? Enam bulan yang lalu? Atau setahun yang lalu?" Vieri memutar bola matanya. "Ayolah Na. Itu cuma mimpi biasa. Bunga tidur doang, nggak lebih. Dan ide tentang pertanda jodoh itu, masuk akal dari mana coba? Kamu itu cuma terus kepikiran aja sama bayang-bayang dia makanya bisa sampai kebawa mimpi."

"Dia bahkan nggak pernah nelfon atau kirim chat ke kamu kan setelah itu? Lagipula diantara kalian belum ada ikatan apa-apa." tambah Vieri.

"Itu karena dia sibuk, Vi." kata Eliane malas. "Dan aku sama sekali nggak mikirin dia belakangan ini. Dan tiba-tiba dia ada di mimpiku semalem. Dan itu tuh serasa nyata, Vi. Aku sempet nggak bisa bedain ini nyata atau mimpi."

"Oke, kamu memang nggak mikirin dia. Tapi hati kamu iya." tohok Vieri. Seketika membuat Eliane bungkam.

"Dan lagi, sesibuk-sibuknya kita lho Na, please deh itu tuh cuma alasan basi. Prioritas, Na, prioritas. Kalo dia memang punya niat baik, pasti kamu ada dalam daftar prioritasnya. Kalo nggak, yaudah. Berarti kamu itu nggak lebih dari stranger. Waktu enam bulan lebih itu udah lebih dari cukup buat menjelaskan kalo dia itu sama sekali nggak nganggep kamu spesial di hatinya."

Eliane mengabaikannya. Ia mengamati waiter cowok di seberang mejanya yang tengah memberikan senyum paling ramah pada pelanggan yang memesan secangkir kopi dan beberapa menu yang lain.

"Aku tuh pernah baca testimoni dari salah satu netizen kalo mimpi yang aku alami itu pertanda jodoh. Jadi, bisa aja kan itu bener. Bukan nggak mungkin kan kalo aku dan dia berjodoh?" Eliane kembali menjelaskan pada sahabatnya hingga Vieri bosan mendengarnya. Karena selama seminggu berturut-turut Eliane terus mengulang hal yang sama pada Vieri hingga entah sudah berapa kali Eliane mengulangnya.

"Yana sayang, percaya sama sesuatu yang belum pasti itu pamali. Ingat, masih ada Tuhan Na. Kamu harus ingat kalo Tuhan adalah penentu semuanya. Manusia cuma diwajibkan buat usaha. Titik." kata-kata bijak Vieri terasa seolah-olah mengejek Eliane. Eliane kesal setiap kali mendengar nasihat yang 100% benar dari Vieri.

"Kenapa sih kamu selalu aja mengatakan hal yang nggak enak didengar. Dan ironisnya semua itu bener." Eliane kembali meletakkan kepalanya di atas meja. Sorot matanya sayu. Lesu.

Vieri menghela lelah. Sebetulnya ia ingin menghujani Eliane dengan nasihat berikutnya tapi ia menyerah. Demi kebaikan.

"Udah dong Na," Vieri mengusap punggung Eliane, mencoba menenangkan. "Jangan galau gini ah. Semangat. Berdoa supaya Tuhan segera menjawab doa kamu. Ya?" Vieri memasang wajah ceria yang dilebih-lebihkan. Matanya berkedip-kedip lucu. Memohon supaya Eliane menghilangkan rasa sedihnya yang berlarut-larut itu.

Dan berhasil. Eliane mengulum senyum. Walau terpaksa. "Makasih, ya, Vi."

Vieri mengangguk seraya menepuk pelan pundak Eliane. "Sama-sama."

"Yuk, pulang. Udah senja nih."

"Es krimnya gimana? Kamu janji kan mau traktir?" protes Eliane.

"Iya, iya. Apa sih yang nggak buat kamu." Vieri memonyong-monyongkan bibirnya sambil berkata dengan ekspresi aneh tapi lucu yang dibuat-buat. Eliane berpura-pura jijik dan berjalan mendahului Vieri.

***

Oleh: Dymar Mahafa
Kediri, 01 Agustus 2018. 13:46.

Komentar

  1. Wah menarik nih. Penasaran sama kisah lanjutannya. Siapa ya yang dimimpikan Eliane๐Ÿ˜€

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sekali mbak Nisda sudah mampir untuk baca. ๐Ÿ˜
      Sebenernya niat awal pengennya ini cuma sekedar cerpen sekali baca mbak.
      Tapi saya coba deh untuk melanjutkan ceritanya, berhubung ada yang request. ๐Ÿ˜ƒ

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori