Airport Proposal #2

#2
Quit
(Eliane's Mind)



"Lho, kok?" Vieri begitu terperanjat ketika mendengar penuturanku. "Yana, kamu serius?"


Aku hanya mengangguk lemah sambil membalas, "Iya." Ku paksakan seulas senyum, walau Vieri tak bisa melihatnya.

"Aku udah tanya-tanya ke Mbak Alfi tentang gimana-gimananya. Bismillah aja. Semoga ini keputusan yang terbaik." ucapku lirih. "Tapi jujur, apa aku bisa lepas dari pekerjaanku yang ini? Ngajar itu udah jadi semacam oksigen buatku. Aku masih ragu sama keputusan ini sebenernya."

Jari-jariku gemetar setelah menekan tombol SEND. Ketika mengetikkan kalimat itu, perasaanku hancur.

"Lagipula kalo kamu resign bulan ini, ndadak banget rasanya." sebaris chat whatsapp dari Vieri muncul dalam hitungan detik. "Trus kelasmu gimana nanti?"

"Ya mau gimana lagi. Aku berusaha buat ikhlasin murid-muridku buat dihandle sama yang lain."

Kami berdua melanjutkan obrolan kalut itu hingga satu jam. Entah sudah berapa chat serta voice chat yang aku kirimkan ke Vieri. Namun setidaknya ngobrol dengan Vieri bisa sedikit meredam ketidak-ikhlasanku melepas pekerjaan sebagai tutor Bahasa Inggris.

Dalam barisan chat-nya, Vieri juga mengaku bahwa ia sudah lelah bekerja sebagai tutor di program pemerintah kota itu. Dia dan aku sama-sama bekerja sebagai tutor Bahasa Inggris, menekuni dunia pendidikan, dan juga sama-sama bekerja di dua tempat. Pagi bekerja di sekolah, dan sore hingga malam harinya mengajar sebagai tutor di RT/RW wilayah kota. Aku merasakan apa yang ia rasakan, begitu juga sebaliknya.

Apalagi aku bekerja di sekolah masih sebagai Pegawai Tidak Tetap. Namun dengan senang hati aku akan melepaskan pekerjaanku di sekolah, jika memang ada alasan yang bagus untuk resign dari tempat itu. Karena di sekolah itu aku bukan guru, hanya staff. Tidak tetap pula. Belum PNS. Jujur, bukan perkara PNS atau PTT yang aku risaukan. Aku hanya sudah tidak nyaman bekerja sebagai staff. Aku ingin fokus di satu bidang, mengajar. Cukup itu saja. Walau bukan sebagai PNS, asalkan itu mengajar maka aku bersedia menjalaninya.

Namun aku tidak menyesali 2 tahun yang aku habiskan di sekolah. Aku banyak mendapat pelajaran yang tidak aku dapat di bangku kuliah. Bekerja dengan orang-orang penting, mendapat teman baru (walau aku tidak terlalu menyukainya), serta bisa bertemu dengan anak-anak di sekolah itu adalah rejeki dari Yang Maha Kuasa yang tidak bisa ditukar dengan apapun.

"Na, aku yakin kamu udah berpikir matang-matang buat resign. Aku cuma bisa berdoa semoga apa yang kamu cita-citakan bisa segera terwujud. Karena kamu udah berusaha keras selama ini. Mungkin dengan resign dari ngajar, kamu akan dapat gantinya yang lebih baik. Hal-hal baru yang lebih baik pasti udah nunggu kamu di depan. Aku turut bangga dan seneng kamu akhirnya bisa dapat beasiswa S2 di UI."

Aku bisa merasakan ketulusan dari kata-kata Vieri dalam voice chat-nya.

"Makasih ya, Vi. Aku juga berdoa yang terbaik buat kamu." aku membalas dengan cepat seraya menambahkan, "Eh, kita kapan kencan berdua? Kita harus ngobrol empat mata, oke? Soalnya, awal bulan September nanti aku udah nggak di Kediri lagi. Mungkin ini akan jadi kencan terakhir kita."

***

Hari Rabu pagi. Eliane memutar ulang voice chat yang baru saja ia kirimkan untuk seseorang. Berbunyi, "I think I'm gonna resign from my job as an English tutor this month."

Pukul 06:01 WIB saat pesan itu terkirim. Eliane menjejalkan smartphone warna silver itu ke dalam tas kerjanya. Kemudian sibuk mondar-mandir mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja pagi.

***

Saat tiba di sekolah, Eliane mengecek kembali ponsel silver itu. Dan benar saja ada dua chat whatsapp yang belum terbaca. Tertulis di sana:

Why?

Diterima pukul 06:15.

Kemudian empat puluh menit berikutnya disusul pesan yang lain:

Hey, are you okay?

Eliane segera mengetik sebaris pesan balasan yang intinya dia mengatakan semuanya baik-baik saja, namun ia sebenarnya tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Apakah itu termasuk jujur atau bohong, Eliane menyerah dengan gemuruh perang dalam batinnya.

Detik berikutnya, orang itu membalas:
Can we talk?


Eliane membalasnya dengan: Sure you can. But not now. I'm sorry, I have a lot to do today at school. It's about the agenda of preparing new comer students. Maybe later. I'll tell you when I already have time to talk.


Eliane mengirimkannya foto situasi keramaian kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) di sekolah itu.

Segera setelahnya muncul balasan: Okay. No problem. I hope I have time to talk later.

Eliane membalas: Thank you.

Muncul balasan lagi dari orang itu: You're welcome.

***

Hari Rabu malam pukul 19:30 WIB. Itu artinya saat ini sudah pukul 20:30 WITA di sana.

Eliane:
Hey, I'm on my leisure time right now. If maybe you seriously want to talk. But can we just break our English for a while? If you don't mind.

Tak butuh waktu lama bagi orang di seberang untuk merespon pesan itu. Layar ponsel Eliane seketika menyala dan berkedip. Nada dering whatsapp call melantunkan melodi jazz faforitnya. Eliane menggeser tombol hijau.

"Halo?" lirih Eliane.

"Halo? Bisa denger suaranya?" suara di seberang memastikan kalau-kalau sinyal telepon online melalui whatsapp tidak bisa diterima dengan jernih.

"Iya, bisa kok." kata Eliane.

"Are you okay?" tanya suara cemas laki-laki di seberang.

"Okay." Eliane memaksakan sepenggal tawa lirih.

"Serius mau resign?" suara di seberang terdengar khawatir. "Kenapa?"

Eliane berdehem sebelum berkata, "Aku dapet beasiswa buat lanjut S2 di UI."

"Really? Bagus dong. Selamat ya." Entah kenapa Eliane merasa kecewa dengan nada senang dari seberang telepon.

"Emm.. ya, makasih." Eliane tidak tahu harus berkata seperti apa. Yang ia rasa saat ini adalah perasaan sedih bercampur syukur dan bimbang. Perpaduan rasa yang aneh.

"Trus kapan rencana kamu berangkat ke Jakarta?"

Obrolan berlanjut seputar jadwal keberangkatan Eliane ke Jakarta. Perasaannya campur aduk saat ini. Mereka berdua bukan apa-apa. Tidak ada ikatan apapun diantara mereka. Hanya teman. Atau mungkin hanya sebatas tahu saja, sebatas orang asing yang hanya numpang lewat saja. Dan parahnya Eliane masih menunggu orang itu untuk datang menemuinya. Karena tujuh bulan yang lalu laki-laki itu sempat berjanji padanya bahwa ia berencana berkunjung ke kota tempat Eliane tinggal pada bulan kelima. Dan ingin sekali bertemu dengan Eliane. Bahkan orang itu berkata ada sesuatu hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Eliane. Entah apa itu, dengan bodohnya Eliane mengiyakan ajakan laki-laki asing itu begitu saja. Dan apakah Eliane bersedia menunggu laki-laki itu? Sialnya, iya.

Apa yang membuat Eliane mau menunggu untuk bertemu dengan orang asing, dan lagi seorang laki-laki pula? Karena satu hal. Orang itu sangat mirip dengan dirinya. Alasan macam apa itu? Entah kenapa Eliane bisa berpikiran seperti itu. Bertemu dengannya saja belum pernah. Namun, jika hal-hal yang berbau kebetulan memang ada, maka semua kebetulan yang terjalin selama setahun belakangan ini rasa-rasanya terlalu ajaib. Namun terlalu naif jika dikatakan sebagai takdir, apalagi jodoh. Belum. Belum sampai sejauh itu.

Kebetulan Eliane suka melukis, orang itu juga. Kebetulan orang itu suka musik jazz dan klasik, Eliane juga. Kebetulan Eliane suka menulis, orang itu juga. Walau genre tulisan mereka sangat bertolak belakang, dan juga selera bacaan mereka yang sangat kontras dan jauh berbeda, namun lagi-lagi ada satu bacaan yang sama-sama mereka sukai. Sebuah memoar karya Sir Arthur Conan Doyle. Dan kebetulan mereka memiliki tanggal lahir yang persis sama. Hanya tanggalnya saja. Well, believe it or not. Sungguh, rentetan kebetulan itu sudah terlalu aneh jika disebut sebagai kebetulan belaka.

Di sisi lain, diam-diam Eliane menyimpan perasaan yang tidak diketahui orang itu. Semacam perasaan kagum awalnya. Namun semakin lama ketika Eliane menyadari, ia sudah terlalu jauh menjatuhkan hatinya pada laki-laki asing itu. Yang bahkan belum pernah sama sekali bertemu muka dengannya. Eliane sudah berusaha mengabaikan kata hatinya dan melupakan orang itu berikut janji yang mereka sepakati. Namun, deretan mimpi-mimpi itu kembali menyeret Eliane ke tepian jurang kebimbangan. Ia mulai mengungkit kembali janji orang itu dalam kepalanya. Rasanya nyaris membuatnya gila. Namun sebagai seorang wanita, ia lebih memilih menunggu daripada mengambil langkah duluan.

Selama beberapa bulan setelah laki-laki itu terpaksa menunda kedatangannya, Eliane sama sekali tidak menyinggung tentang kapan rencana kedua kedatangannya kemari atau tentang suatu hal yang ingin orang itu bicarakan dengan Eliane. Tidak, Eliane bersikeras mengabaikan rasa penasarannya. Jadi dari situlah 'siksaan batin' menyerangnya beberapa bulan terakhir. Jujur, ia menyadari apa yang dilakukannya adalah sebuah kebodohan. Tapi Eliane tetap saja melanjutkan kebodohannya itu. Ia terus menunggu.

Namun apa yang terjadi berikutnya? Karena kesibukan pekerjaan, orang itu terpaksa menunda kedatangannya di bulan kedua seperti yang dijanjikan. Lebih tepat jika dibilang bahwa pengajuan ijin cuti selama beberapa hari ternyata tidak disetujui oleh atasannya. Namun ia mengaku bahwa sudah mempersiapkan segalanya termasuk memesan tiket pesawat jauh hari sebelum keberangkatannya. Entah itu hanya alasan yang dibuat-buat atau memang betul keadaannya tidak memungkinkan, sampai detik ini Eliane masih memikirkannya. Jika orang itu benar-benar datang menemui Eliane maka akan jadi pertemuan pertama bagi mereka berdua.

Namun ya sudahlah, lupakan saja. Orang itu mungkin sudah melupakan apa yang ia janjikan pada Eliane. Bagaimanapun perjalanan hidup Eliane yang baru akan segera dimulai. Jujur, Eliane takut. Sampai berapa lama ia mampu menjalani kehidupan barunya ini. Sekali lagi, ia mencoba mengikhlaskan dan menerima apapun keputusan Yang Maha Kuasa.

Walau dengan begitu ia harus bersabar dengan impiannya. Impian menjadi guru Bahasa Inggris yang hanya tinggal angan dan kenangan itu, dengan berat hati harus ia tangguhkan saat ini demi jalan hidupnya yang baru. Walau dengan begitu ia harus mengubur dalam-dalam perasaannya untuk laki-laki itu, hatinya mencoba untuk merelakan. Eliane berusaha ikhlas menerima keadaannya yang sekarang. Ia tahu ini tidak mudah. Eliane merinding. Ia takut. Sangat takut menghadapi semua ini seorang diri. Beban yang rasa-rasanya tak kuasa ia pikul seorang diri.

Eliane mulai memahami dan membenarkan nasihat ayahnya dulu sekali. Terngiang dengan jelas ayahnya pernah berkata, "Yana, kita ndak bisa memiliki semuanya. Tuhan memberi kita satu hal berharga, setelah menghilangkan satu hal yang lain dari hidup kita. Untuk meraih apa yang kamu inginkan, kamu harus belajar mengikhlaskan satu hal yang lain. Supaya tercipta keseimbangan hidup. Gusti Allah akan menggantinya di kesempatan lain, walau tidak sekarang atau besok atau lusa. Tapi yang hilang itu nanti, pasti akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik. Sepuluh kali bahkan seratus kali lebih baik dari yang pernah kamu miliki sebelumnya. Asal hatimu ikhlas."


***(to be continued....)***



Kediri, 05 Agustus 2018. 10:54.
Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori