Prolog ~ Happy Deathday To You
BRAKK!
Pintu dibuka secara paksa. Pantulan debamnya sontak
mengalihkan perhatian seluruh tamu undangan. Lengking suara biola yang berpadu
dengan denting piano klasik seketika berhenti. Dari balik pintu, muncul satu
wajah yang cukup asing. Gadis itu berpegang pada kedua lututnya. Napasnya naik-turun
seperti usai lari maraton. Ia terengah mencoba mengatakan sepatah kata namun
urung. Napasnya belum stabil betul.
“Cari siapa, Nona?” tanya salah seorang pria dengan tuxedo putih heran atas kemunculannya
yang tiba-tiba. Pria itu kebetulan berada di dekat pintu masuk. Tangan kanannya
memegang water goblet yang berisi
limun. Tersemat lencana dengan motif unik di atas garis saku jas sebelah kiri
atas. Phoenix. Entah itu emas asli atau tiruan tetapi warnanya cukup membuat
siapapun akan mengira bahwa itu memang emas.
“Abadi,” engah gadis itu seraya masih mengatur napas.
Keringat mengucur dari pelipisnya. Kaos sian yang ia kenakan di balik kemeja krem
kotak-kotak dengan paduan jeans biru
gelap menambah kesan asing sekaligus aneh di tengah acara yang dihadiri lautan tamu
penting. Kebanyakan dari mereka adalah putra-putri pejabat daerah.
“Aku mencari Abadi,” desaknya. Rambut lurus sepunggung yang dikuncir
kuda sudah tidak karuan lagi apa bentuknya. Rasanya seolah gadis itu
terpelanting dari hutan antah berantah melalui portal waktu hingga kemudian
sampai di tengah perhelatan ini. Atau ia seperti datang dari planet lain untuk
menyapa sekawanan makhluk bumi di ruangan seluas gelanggang olahraga yang
berisi orang-orang elegan nan berkelas hanya demi mencari satu kekonyolan tak
masuk akal.
“Mencari apa?” Pria-phoenix mencoba memastikan kalau-kalau
telinganya salah mendengar.
“Abadi,” desak gadis itu sekali lagi. “Aku mencari Abadi.” Nada
bicaranya sedikit meninggi.
“Abadi?” Pria itu tergelak cukup keras. Seisi ruangan
menggumamkan tawa serupa. Suara kasak-kusuk mulai membuat gadis itu tidak
nyaman.
“Dunia ini fana, Nona,” kata pria-phoenix sembari menatap
wajah si gadis lekat-lekat. “Tidak ada yang abadi. Semua yang ada pasti akan
tiada…” Kata-katanya sengaja menggantung. “Kau pun pasti akan mati,” bisiknya kemudian tepat di telinga
si gadis.
Pria-phoenix menyentuhkan ujung tepian water goblet pada bibir gadis itu kemudian memutar gelasnya hingga bekas
sentuhan bibir si gadis yang tertinggal pada pinggiran gelas tepat menghadap
ujung bibirnya sendiri, kemudian menyesap limunnya perlahan. Butuh beberapa
detik hingga bibir pria-phoenix puas menyesap pinggiran gelas. Seolah ia tengah
menikmati bibir si gadis dengan bibirnya sendiri. “Bibir pucatmu itu manis juga,”
ujarnya sembari mengerling.
“Jangan bercanda,” penggal gadis itu.
Tak sabar, gadis itu menyerobot ke tengah kerumunan para wanita
dengan gaun-gaun batik. Ia mengabaikan si pria-phoenix yang baru saja mencoba
merayunya. Langkahnya begitu terburu hingga tak sengaja menabrak bahu gadis
dengan kebaya tradisional yang cukup mewah, lalu seorang pria dengan tuxedo hitam yang mengenakan kacamata
bulat John Lennon.
Beberapa orang di ujung pintu meneriaki petugas keamanan di
luar gerbang, namun sia-sia saja. Mereka semua heran bagaimana gadis ini —yang
mana merupakan tamu tak diundang— punya nyali cukup besar untuk hadir di tengah
acara dan mengacaukan perhelatan.
Racauan dari mulut gadis itu, tentang keinginan untuk bertemu
dengan Abadi, mengiringi tiap langkahnya menuju ke tengah kerumunan. Sebelum ia
sempat melangkah ke podium para pemain biola dan piano, mendadak serasa ada
yang mencengkeram pergelangan tangan kirinya. Tangan yang cukup kekar, jemari
yang kurus panjang.
Gadis itu meronta mencoba melepaskan cengkeraman pria-kacamata-John
Lennon. Percuma saja, pria itu tak ingin melepaskannya. Mata pria itu
memandangnya lekat. “Ikut saya,” perintahnya.
“Apa-apaan sih,” keluh si gadis sembari menepis cengkeraman,
namun nihil. Tangan kekar pria-kacamata sama sekali tak berniat melepaskannya. “Lepasin!”
“Anda sedang mencari Abadi, kan?” tantang pria itu.
“Iya, tapi…” Gadis-tak-diundang bersikeras mengibaskan tangan
kirinya supaya terlepas dari borgol jemari kurus kekar pria-kacamata. Namun terasa
makin kuat saja pria itu menarik pergelangan tangan kirinya.
“Ikut saya,” paksa pria itu sekali lagi sembari menggelandang
gadis-tak-diundang ke luar aula.
“Pulanglah,” katanya kemudian seraya melepaskan tangan si
gadis. “Abadi tidak ada di sini.”
“Tolong, aku mohon, aku perlu bertemu dengan Abadi. Izinkan
aku bertemu Abadi, aku mohon,” pintanya mengiba. Tangan kanan gadis itu meraup
ujung kerah jas pria-kacamata, kemudian menariknya dengan putus asa.
“Jangan keras kepala!” bentak pria-kacamata tiba-tiba hingga
membuat gadis di hadapannya terperanjat. Suasana di luar begitu sunyi, wajah
langit hampir gelap sempurna. Mata senja gadis itu mulai berkaca-kaca. “Maaf…” tuturnya dengan lembut. Tangan kanannya meraih pipi
kiri si gadis. “Maafkan saya, bukan maksud saya untuk—”
“Aku nggak mau mati. Nggak mau,” racau gadis itu berulang
kali. “Aku mohon, biarkan aku bertemu Abadi. Aku mohon.” Kali ini tangan
kirinya melampiaskan segala rasa kecewa dan putus asa di atas dada bidang
pria itu. Kepalanya tertunduk. Isaknya kian kentara.
“Untuk apa Nona mencari Abadi?” tuntut pria itu.
“Aku nggak mau mati, nggak mau mati, nggak mau,” ulang gadis
itu lagi dan lagi di antara isak tangisnya. Mendengar kata ‘mati’, pria-kacamata serasa
mendapat bom waktu yang sebentar lagi akan meledak.
“Katakan,” tuturnya dengan sangat hati-hati. “Siapa yang
mengancam Nona? Siapa yang berencana membunuh Nona?”
Gadis itu menggeleng. Tak ada sepatah katapun yang keluar
kecuali cairan bening dari sudut matanya. Terus saja mulutnya meracau ingin bertemu
dengan Abadi.
“Dengarkan saya,” kata pria itu mengawali. “Nona tidak akan
mati. Mari, saya antarkan ke kantor polisi. Kita harus melaporkan ini supaya—”
“NGGAK!” bentak gadis itu. “Jangan,” lirihnya kemudian. “Aku
nggak boleh bertemu polisi. Aku nggak boleh bertemu siapapun kecuali Abadi. Biarkan aku bertemu Abadi, aku mohon.” Punggung jemarinya menyapu tetes air mata.
Helaan napas lelah terdengar. Pria itu menyerah. “Baiklah,
saya mengerti. Nona diancam tidak boleh melapor pada polisi, kan, oleh si
penjahat?”
Lagi-lagi gadis itu menggeleng putus asa. Seolah air mukanya menyiratkan ada banyak sekali hal yang ingin diutarakan namun lisannya memilih bungkam. Kepalanya terus
saja menunduk. Tak tahu lagi harus bicara apa, pria itu kembali meraih tangan
si gadis.
“Baiklah, kalau begitu mari saya antarkan pulang. Rumah Nona
di mana?”
Tiba-tiba gadis itu sudah mencengkeram lengan tuxedo-nya. “Nggak ada waktu lagi.
Tolong biarkan aku bertemu dengan Abadi. Sebentar saja. Aku mohon,” rengeknya
putus asa.
“Sudah saya bilang, Abadi tidak ada di sini, Nona,” tegas
pria itu.
“Hoi!” seru seseorang di dekat pilar beranda. Pria-phoenix berdiri menyandar pada pilar berukir bunga peony sembari menyembunyikan
kedua tangannya dalam saku celana. Sepertinya sedari tadi pria-phoenix telah
mencuri dengar percakapan mereka. “Kalau kau tak sudi membantunya, lebih baik
menjauh saja darinya. Pergi.”
“Sebaiknya kau saja yang pergi. Tak usah turut campur,” timpal si pria-kacamata. Matanya beralih kepada si gadis. “Mari, saya antar Nona
pulang.”
“Apa kamu bisa bantu aku?” Tiba-tiba ia tepis uluran tangan
pria-kacamata. Mata kosongnya mengiba menatap pria-phoenix. “Bantu aku bertemu
dengan Abadi, aku mohon.”
“Tentu. Dengan senang hati, Nona Manis.” Pria-phoenix memberi
isyarat dengan ujung telunjuk. “Silakan, ikut saya,” katanya riang gembira.
Binar di matanya begitu berbeda dengan yang tadi. Gadis-tak-diundang
itu begitu antusias hendak mengikuti langkah pria-phoenix sebelum satu tangan menahannya.
“Tunggu…”
Tak acuh. Cukup keras gadis itu menepis uluran tangan
pria-kacamata sembari berlalu. Ia berlari mengejar langkah pria-phoenix.
Gadis yang keras kepala,
batin si pria-kacamata.
“Nona!” teriak si pria-kacamata ketika pada akhirnya tanpa
pikir panjang gadis itu benar-benar membuntuti arah kepergian si pria-phoenix. Tepat
seperti seekor anjing yang mengikuti ke mana tuannya pergi.
“Dasar bodoh,” gumamnya tanpa sedikitpun berniat mengikuti arah
kepergian dua orang tadi. Pria-kacamata hendak kembali ke perhelatan ketika
ujung pantofelnya serasa menginjak sesuatu. Sebuah benda persegi panjang
berwarna hitam.
“Benda apa ini?”
***
Komentar
Posting Komentar