Ujian Jaman Now

Tiba-tiba terpikirkan untuk menulis sepenggal pemikiran ini di sini. Iya, di sini.

Pernah suatu ketika, aku tak sengaja mencuri dengar pembicaraan orang-orang kantor, dengan headline : MASALAH. Entah itu masalah keluarga, masalah yang bersumber dari diri sendiri, masalah kantor, masalah anak didik, masalah finansial, masalah rumah tangga, dan beberapa musibah lain yang menimpa masing-masing dari mereka. Pernah juga aku mengalami ujian serupa walau tak persis sama.

Biarkan aku menyebutnya dengan Ujian Jaman Now. Boleh, ya?

Ini hasil renungan yang berhasil aku kumpulkan dari banyak sumber yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu di sini. Karena alasan klise: sudah lupa.

Banyak dari mereka yang mengeluhkan mengapa hidupnya seperti ini, mengapa seperti itu. Mengapa ujian kehidupanku terasa jauh lebih berat dari ujianmu? Begitu pula mereka menanyakan pertanyaan yang sebaliknya. Dari lisan-lisan mereka aku belajar banyak hal, bahwa dalam bentuk yang seperti apapun dan bagaimanapun, yang namanya ujian kehidupan itu tidak ada yang mulus apalagi mudah dilalui. Semua orang mengalami itu, dengan takarannya masing-masing. Ujian CPNS aja ada passing grade-nya, ya nggak? Nah apalagi ujian kehidupan di jaman ini. Jaman now. Tuhan punya standar passing grade sendiri buat masing-masing ciptaan-Nya.

Sekali lagi, bagaimanapun dan apapun bentuknya, ujian yang sedang dipikul antara individu satu dengan yang lain pastinya tidak sama, alias beda. Dan pertanyaan berikutnya pasti begini:

Mengapa harus berbeda?

Begini penjabarannya:

1. Tuhan ingin kita belajar dari musibah/ ujian yang dialami diri sendiri dan juga yang dialami oleh orang lain.

Kalau mau mengeluhkan kenapa ujianku terasa lebih sulit dari ujianmu, tunggu dulu. Karena sebenarnya orang lain juga berpikir hal yang sama dan melontarkan keluhan yang sama. Ingat, untukmu ujianmu, untukku ujianku.

Jadi memang Tuhan itu merancang sederet ujian yang sedemikian rupa untuk kita tujuannya tidak lain adalah ingin menaikkan level kehidupan hambanya. Ujian yang Tuhan kasih ke kita, masalah dan lain sebagainya, dibuat memang khusus untuk kita saja (untukmu dan untukku) dan bukan untuk orang lain. Kenapa? Karena orang lain sudah Tuhan rancangkan ujiannya tersendiri dan yang pasti disesuaikan dengan kemampuan masing-masing hamba. Coba kalau Tuhan memberi ujian yang sama kepada dua hamba yang mana satu diantaranya masih belum dirasa mampu mengatasi ujian itu, belum cukup kuat menanggung. Apa yang terjadi? Sudah bisa dapat gambaran, kan?

Kalau kita diberi ujian yang level kesulitannya sudah dirasa paling berat buat kita dan ringan bagi orang lain, itu artinya mungkin kita yang terlalu drama dalam menghadapinya atau bisa jadi ujian yang tengah kita hadapi sekarang ini memiliki tingkat kesulitan di bawah mereka-mereka yang sudah pernah melewati ujian serupa. Serupa? Tunggu dulu, tadi kan katanya tiap orang punya ujiannya sendiri-sendiri dan berbeda satu sama lain? Iya, memang serupa tapi tak sama. Udah nggak perlu diperpanjang, ini berlaku seumur hidup. (Seperti E-KTP gaes)

Dan itu artinya apa? Artinya kita masih berada di level 1 dari sederet ujian yang menunggu di depan sana. Ibarat main game, kita masih baru mulai dan itu belum ada apa-apanya. Hidup itu kan memang sederet perjuangan ya, kan?

Hadapi.

Pilihannya ada di tangan kita. Kalau mau naik level, ya hadapi. Hajar rintangan di depan mata. Kalau menemui kesulitan, kita diperkenankan kok buat minta bantuan. Di game juga gitu, kan? Hanya saja bedanya adalah kalau di dunia game kita diberi 3 nyawa, sedangkan di dunia nyata kita hanya diberi 1 nyawa aja. Jadi, manfaatkan dengan baik ya. Jangan sampai patah semangat terus game over. 😃

Sekali lagi, untukmu ujianmu dan untukku ujianku. Tidak usah iri hati dengan ujian atau problem yang dihadapi orang lain. Pun jangan iri dengan kebahagiaan yang dimiliki orang lain, karena kita juga bakal punya kebahagiaan yang akan kita raih nantinya setelah Tuhan memberi kita rapor dan tertulis di sana tulisan "Lulus" dengan bintang 5. Ya nggak apa-apalah ya walau nilai rapor kehidupan kita pas-pasan. Yang penting kita lulus.

Jangan mengeluh. Hadapi ujian kalian, karena orang lain juga tengah berjuang menghadapi ujian mereka. Dan terus berusaha, berdoa, dan buat diri kalian berharga, bermanfaat bagi sesama, dan ingat untuk stay humble, tetap rendah hati ya gaes. Karena masih banyak di luar sana yang hidupnya nggak seberuntung dan sebahagia kita. Tapi mereka masih gigih berusaha dan berjuang untuk hidup yang lebih baik. Untuk itu, sering-sering bersyukur ya gaes.


2. Tuhan ingin melihat seberapa besar rasa empati yang kita miliki, dan seberapa peka diri kita dalam menyikapi masalah itu.

Ada teman kita yang lagi galau, bingung karena udah mencoba melamar di beberapa perusahaan tapi masih juga jadi pengangguran. Atau temen kita yang satunya, tiap malam minggu galau karena belum dapat pasangan, atau beberapa dari mereka sering di-bully oleh keluarga besarnya dan mengolok mereka sebagai perjaka/perawan tua.

Ada juga yang galau karena baru aja putus sama pacar/gebetan. Atau bahkan galau karena mantannya ngajak balikan. Ada juga yang galau karena habis ngelamar cewek tapi ditolak karena si cewek udah punya tunangan. Beberapa remaja galau karena gagal dalam tes/ujian masuk perguruan tinggi, atau gagal masuk sekolah menengah terfaforit di kotanya.

Ada seorang ibu muda yang sudah sangat menanti-nantikan hadirnya buah hati dalam kehidupan rumah tangganya, harus mengalami keguguran di usia kehamilannya yang ketujuh bulan. Padahal pasangan itu sudah menanti selama hitungan tahun. Ada juga keluarga yang sudah lama menikah namun belum juga dikaruniai buah hati. Ada juga bayi yang masih kecil sudah diberi ujian, karena kelaparan dan orangtuanya tidak mampu mengusahakan sesuap nasi secara rutin.

Nah, dari setumpuk ujian di atas, gimana perasaan kalian jika berada di posisi mereka? Apa kalian sanggup jika dihadapkan dengan ujian yang sama?

Empati kalian diuji di sini. Tuhan seringkali memperlihatkan kepada kita potongan-potongan ujian orang lain, semata-mata karena Tuhan ingin kita bangkit dari keterpurukan. Tuhan pengen hambanya mengerti tentang jutaan perasaan yang Tuhan tuangkan ke dunia. Tuhan ingin melihat hambanya saling berbagi duka dan tawa melalui uluran tangan. Seperti yang biasa kita lihat di acara bakti sosial. Karena itulah gunanya Tuhan memberi manusia tangan. Tuhan menitipkan kebahagiaan kita dan kebahagiaan untuk orang lain melalui tangan-tangan itu. Disadari ataupun tidak, pasti kita pernah mengalaminya, bukan?

Di jalan tiba-tiba hujan deras, dan memaksa kita untuk berteduh. Hari itu kita udah merasa capai sekali akibat seharian dihantam pekerjaan kantor dan ingin segera pulang untuk mengistirahatkan diri. Tapi apa daya hujan lebat dan kita nggak ada persiapan jas hujan di dalam jok motor. Beruntung bagi mereka yang punya mobil. Lalu, tiba-tiba ada kakek-kakek lewat dengan menawarkan dagangan jas hujan plastik. Melihat keadaan kakek itu yang renta, dan tua, dan masih bersedia mengusahakan tubuhnya untuk mencari sesuap nasi, hati kita tergerak untuk membeli jas hujan itu. Ya, dalam hati mumpung lagi butuh juga supaya bisa cepet pulang, dan walau sebenarnya nggak butuh-butuh amat karena jas hujan di rumah udah ada 5 stel, tapi kita tetap membelinya. Kenapa? Karena kasihan? Bisa jadi itu salah satu faktor pemicunya. Rasa belas kasih yang Tuhan titipkan pada diri manusia memang sedang bermain di sini. Dan mungkin kita berpikir dengan uang yang nggak seberapa semoga rejeki tadi bisa bermanfaat untuk si kakek. Apa benak kalian juga memikirkan hal yang sama? Jadi poin yang kedua adalah harapan baik yang kita titipkan kepada orang lain. Empati dan simpati yang coba kita amalkan dalam tindakan-tindakan kecil untuk kebaikan sesama manusia. Serta merasakan, gimana ya kalau seandainya aku atau kalian berada di posisi kakek itu?


3. Tuhan ingin kita menyadari satu hal, bahwa sebagai manusia kita perlu naik kelas, dan siap menjalani kehidupan yang lebih baik kemudian mampu menghadapi ujian berikutnya.


Pertanyaannya adalah bagaimana jika kita tidak lulus ujian tahap pertama dari Tuhan? Level 1 dan kita gagal. Apa yang terjadi setelahnya? Otomatis Tuhan akan beri kita ujian susulan, dan itu artinya Tuhan tidak akan berbaik hati untuk menaikkan kita ke kelas berikutnya karena ya memang di tahap pertama saja kita dinyatakan belum lulus, kok berani-beraninya menginjak tahap kedua?

Ibaratnya duduk di bangku sekolah. Ketika kita belum bisa lulus ujian di kelas satu, apakah mungkin kita akan dinaikkan ke kelas dua? Ya, mungkin bisa saja. Itu sudah jadi tabiat guru jaman now, walau tidak berlaku secara menyeluruh. Mengarang nilai demi menaikkan standar nilai anak-anak didiknya, sebab nilai murni mereka sudah sangat menyedihkan, sudah menjadi makanan sehari-hari tenaga pendidik di jaman ini. Baiklah, itu masih jadi PR pemerintah jaman now.

Namun apakah kebijakan itu juga berlaku untuk Tuhan? Tidak, saudaraku. Tuhan punya standarnya sendiri untuk masing-masing hamba. Tuhan ingin kita mengulang ujian itu bukan karena Tuhan senang melihat penderitaan hambanya. Tidak. Justru karena Tuhan sayang sama kita. Tuhan nggak ingin kita naik kelas karena memang kita belum mampu untuk naik. Tuhan ingin kita belajar lagi, bangkit lagi, berusaha lagi, sampai Tuhan merasa kita sudah ada di titik tertentu dan pada akhirnya kita berhasil menghadapi semua itu.

Ingat, ujian itu khusus buat kalian. Persetan sama ujian orang lain. Aku sama sekali nggak berhak ikut campur di dalam ujian kalian, begitu pula sebaliknya. Tapi aku boleh belajar dari pengalaman kalian tentang cara-cara kalian menghadapi ujian itu, begitu pula sebaliknya. Jadi kunci sukses ada 3 : belajar, belajar lagi, dan terus belajar.

Kalau diri kita masih merasa bahwa Tuhan pilih kasih, yang mana kita merasa bahwa Tuhan terlalu memberi kita banyak beban yang nggak sanggup kita tanggung dan hadapi, maka kalian perlu membaca ulang poin pertama dan kedua di atas.


Baiklah, segitu dulu ya tulisan ini.

Semoga kalian nggak keseringan galau mikirin hal-hal yang nggak seharusnya dibuat galau. Waktumu terlalu berharga jika dibuang percuma hanya untuk bergalau-galau ria yang nggak manfaat.

Karena intinya adalah menerima. Ikhlas seikhlas-ikhlasnya menerima apa yang sudah Tuhan tentukan untuk kita. Menerima bahwa keberadaan kita di dunia adalah karena Tuhan telah memberikan misi penting-Nya dan Dia mempercayakan itu kepada kita. Kita ada karena satu tujuan. Dan bagi kalian yang sudah mengetahui apa tujuan kalian diturunkan ke dunia, kalian patut berbangga dan jalankan tugas dari Tuhan dengan sebaik-baiknya. Bagi kalian yang belum tahu, coba cari dalam diri kalian. Hal apa yang bisa kalian lakukan dengan baik, dan itu muncul dari panggilan hati kecil kalian, dan setelahnya muncul satu keinginan serta niatan untuk menjadikan satu hal itu bermanfaat bagi sesama.

Contoh, kalau aku : menjadi tenaga pendidik. Jadi guru. Alasannya karena aku menyadari baru-baru ini kalau aku bisa memahami orang lain dengan lebih baik dari segi psikologis mereka, dengan sensitifitas yang aku punya semua anak-anak yang aku didik merasa nyaman dengan metode pengajaran yang aku terapkan, karena disamping aku sangat penyabar orangnya, aku selalu punya cara-cara yang menyenangkan yang sering aku terapkan dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran jadi tidak membosankan. Yah walau terkadang bisa marah-marah juga dan sekaligus membosankan di depan mereka. Itu manusiawi, kan? Dan aku nggak betah lama-lama marahan sama mereka. Kalau mereka nggak keterlaluan, aku nggak akan marah-marah. Bukan marah sih sebenernya lebih ke nelangsa gitu lihat tingkah atau ucapan mereka yang kadang menyakiti hati temannya. Di situ teguran kerasku beraksi.

Selain itu, aku tipe orang yang gampang banget prihatin sama hal-hal kecil. Juga aku orangnya cinta damai. Jadi semua orang yang deket sama aku pasti juga akan bisa merasakan kedamaian itu. (ha3x... masa'?)

Dari kecil aku suka banget belajar hal-hal baru, ingin mengembangkan diri secara lebih, dan memang udah kepikiran dari kecil kalau besar nanti pengen jadi guru. Yaa walau banyak yang mencibir, karena dengan menjadi guru tidak akan membuatku cepat kaya atau jadi milyader. Aku cuek aja sama cibiran mereka, walau mereka ada benarnya juga.

Karena yaa gimana, kebahagianku nggak terukur dari materi kok. Aku munafik? Terserah, kalian boleh memberi label semacam itu. Tapi aku tetep mau jadi guru sampai beberapa puluh tahun ke depan. Kenapa? Aku nggak bisa menjawab lagi, karena yang menjawab bukan lagi lisanku, tapi jiwa dan raga yang senantiasa berusaha dan ingin memberikan yang terbaik dalam mendidik anak-anak negeri, supaya pada akhirnya nanti mereka bisa berguna bagi kehidupannya sendiri dan bagi bangsanya.

Aku pengen jaga impian itu sampai nanti, dengan nggak akan membiarkan orang lain mencoret-coret sesuatu yang buruk di atasnya.

Kalian juga harus begitu.
Temukan apa yang bisa kalian berikan untuk kehidupan, lalu jaga baik-baik, kemudian sebarkan kebaikan itu. 😊

Bahagia bermula dari pikiran-pikiran kita sendiri. Dari pilihan-pilihan hidup yang sudah dan akan kita ambil.

Semoga bermanfaat.
Tetap semangat hadapi ujian.
Aku tunggu kalian di level berikutnya.
____________________________________
Kediri, 24 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori