You are Real - 18

Satu kebetulan lagi yang kembali menamparku hari itu. Hari Senin. Di bulan April yang cerah, musim hujan labil dan Ujian Sekolah anak-anak kelas 9.

Aku kembali ditampar oleh satu perkataan dari rekan guru di sekolah ini. Beliau dulu merupakan guru yang mengajar mapel kesenian sewaktu aku masih bersekolah di sini. Satu pembicaraan yang berhasil membuatku tersipu. Tentang siapa lagi?

Real, tentu saja.

Pagi itu Ujian Sekolah Berbasis Komputer sesi pertama tengah berlangsung. Aku duduk diam menunggui komputer server di sudut kanan bagian depan ruangan.

Bu Yanu selaku pengawas hari itu, menghampiriku.

"Mbak, panjenengan punya daftar nama anak-anak kelas 7?" tanya beliau seraya duduk di sebelahku.

"Nggih, ada, Bu. Di komputer perpus."

"Nanti saya ng-copy ya."

"Oh, nggih. Monggo." jawabku seraya mengulum senyum.

"Mbak, nanti saya minta nilai anak-anak yang ujian kemaren. Yang seni budaya. Ada ya, Mbak, di komputer sini?" tanya beliau lagi setelah hening beberapa saat.

"Ngapunten, Bu. Mengenai nilai bisa langsung menghubungi Bu Dina. Karena nilai dari server biasanya langsung dipindah dan dibawa Bu Dina."

"Oh, langsung ke Bu Dina ya, Mbak. Lha tapi biasanya bisa itu di sini."

Aku hanya tersenyum. Bahaya jika aku mengiyakan permintaan beliau. Karena komputer server tidak boleh dimasuki alat penyimpanan apapun, termasuk flashdisk. Rawan virus. Bisa mati aku kalo sampek server ini dijangkiti virus. Yang disalahkan nantinya pasti adalah proktor ruangan yang bersangkutan. Siapa lagi? Aku, tentu saja.

"Ndak bisa, Bu. Langsung ke Bu Dina saja." kataku ramah.

"Untuk urusan nilai biasa Bu Dina sama Pak Real." imbuhku.

"Oh, Mas Real? Lho katanya Mas Real nggak bisa, Mbak. Waktu kemaren saya tanya."

Aku hanya ber-oh saja menanggapi beliau.

"Sebenernya, sampeyan cocok lho sama Mas Real." celetuk Bu Yanu tiba-tiba.

Deg!

Jantungku, ya ampun, kenapa langsung baper tingkat nasional gini? 😣😶

"Siapa, Bu?" tanyaku memastikan kalau-kalau telingaku salah mendengar.

"Sampeyan." ulang Bu Yanu. "Cocok lho sebenarnya dengan Mas Real itu. Mas Real kan juga kalem orangnya. Sama seperti sampeyan." kilah Bu Yanu.

Aku hanya diam. Ku gariskan satu kuluman senyum untuk sekedarnya menanggapi beliau. Namun dalam hati, tak bisa ku ingkari, jantung ini, kenapa? Benar-benar tak karuan rasanya.

Argh, Real, Real, Real. 😣
Bisa gila aku lama-lama, dihantui oleh nama itu.

"Nggak pernah kontak-kontakan ya, sama Mas Real?" tanya Bu Yanu lagi.

"Maksudnya, kontak yang bagaimana, Bu?" tanyaku pura-pura bego. Atau memang bego beneran? Kurasa.

"Yaa, telfon, WA atau SMS-an gitu, ngobrol santai. Yang bukan soal kerjaan."

Aku tersenyum canggung. "Belum, Bu."

"Karena berdua ini sama-sama diamnya, lho. Mas Real orangnya pendiam. Sampeyan juga."

Sekali lagi aku hanya mengulum senyum.

"Tapi, Mbak Dara sudah punya calon?"

"Belum, Bu." reflekku.

Bu Yanu hanya ber-oh. Kemudian beliau bercerita panjang soal bagaimana dulu beliau bertemu dengan suaminya. Disusul kemudian cerita tentang anak perawannya yang tengah dirundung masalah dengan kekasihnya.

***

Ujian sesi kedua. Aku tetap berjaga di ruang yang sama. Dan sekali lagi, takdir mempermainkan perasaanku. Aku masih tak mengerti apa yang ingin Tuhan katakan padaku atas semua kebetulan yang terjadi.

"Mbak Dara usia berapa sekarang?" tanya Bu Tini saat kami terlibat perbincangan santai. Beliau selaku pengawas ujian di sesi yang kedua. Sesi terakhir.

"Dua empat, Bu."

"Masih single atau sudah menikah?"

"Single, Bu."

"Oh, tapi sudah punya calon, kan?"

"Belum, Bu." jawabku seraya mendesahkan senyum.

Bu Tini memandangku heran bercampur geli. Seakan tak percaya bahwa aku masih sendiri, dan belum punya kekasih. Jomlo; mungkin istilah ini terlalu mencekik, tapi yaa sudahlah, apa mau dikata, aku harus bisa menerima kenyataannya.

"Kenapa?" tanya beliau dengan lembut.

"Mm.. yaa.. belum nemu saja, Bu."

Bu Tini diam. Seperti belum puas dengan jawabanku yang menggantung itu.

"Ayah pengennya menantu guru, Bu. Jadi yaa.. saya masih berusaha mencari, calon suami guru." kataku setelah beberapa detik ragu ingin mengutarakan kisah itu.

Jujur, aku kurang suka mengumbar privasiku ke khalayak publik, ke hadapan orang lain. Namun jika terdesak dan merasa terpojokkan, baru aku keluarkan sepenggal dua penggal saja. Hitung-hitung untuk memuaskan rasa penasaran orang-orang ini.

"Terus, sudah nemu orangnya? Dari sekolah mana?" tanya beliau dengan mata berbinar.

"Belum, Bu."

Air muka Bu Tini seketika berubah kecewa. Lebih tepat jika aku menyebutnya prihatin pada keadaanku yang jomlo ini.

Jujur, aku mulai tidak nyaman dengan percakapan ini. Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain, tapi kenapa orang-orang itu selalu saja mencampuri urusanku? Selalu saja ingin tahu tiap jengkal kehidupan yang sudah maupun hendak aku lakukan. Memang mereka itu siapa sehingga aku harus melaporkan semuanya kepada mereka?

"Kriteria itu nggak usahlah yang terlalu muluk. Yang sederhana saja. Yaa yang namanya orangtua pasti punya kekhawatiran sih memang. Tapi jangan gitu lah. Jalan kesuksesan orang bertahap. Tapi nggak ada salahnya juga minta sama Tuhan, apa yang Mbak Dara mau. Sholat malem, istikharah yang rajin. Ya, Mbak?"

"Nggih, Bu."

"Mbak Dara sekarang dua-empat. Berarti target tahun depan sudah harus menikah. Wanita itu dikejar jam biologis, lho Mbak. Beda dengan laki-laki."

Tak salah ucapan beliau. Aku mengamininya.

"Wanita harus selalu inget umurnya. Harus punya gambaran ke depan. Kalo saya dulu menikah di usia dua-satu. Anak saya sekarang sudah punya anak semua. Cucu saya ada empat." ujar beliau. "Jangan terlalu lama menunda, ndak baik."

Kembali ku amini nasihat beliau.

"Minta sama Tuhan. Tuhan aku ingin jodoh yang seperti ini, seperti ini, dan seperti itu. Sholat di sepertiga malam di belakang pintu sambil buka pintu kamarnya sedikit aja. Untuk jalan malaikat masuk." terang Bu Tini dengan maksud baik. Bisa ku rasakan ketulusan dalam nada bicara beliau.

"Harus di belakang pintu, ya, Bu?"

"Iya. Harus."

Kemudian beliau mulai bercerita panjang sekali tentang keinginannya yang terwujud setelah rutin bersembahyang di belakang pintu tiap sepertiga malam. Dari situ aku mulai berpikir, apakah jika aku meminta Tuhan untuk mendekatkan Real padaku, akankah Tuhan menginjinkannya?

Tidak. Jangan. Aku tak berani.

Aku tak berani memintanya. Bahkan berdoa pun tak berani ku lakukan. Aku tak mau jadi egois lagi. Rasa aneh ini, mungkin bukanlah cinta. Bukan kasih. Bukan pula rasa sayang. Mungkin rasa aneh ini hanya bersifat sementara dan akan hilang seiring waktu berjalan.

Lagipula sudah lama sekali setelah serentetan kebetulan beberapa bulan yang lalu, aku sudah membuat keputusan untuk mengubur dan melupakan rasa aneh ini. Rasa aneh yang pertama kali ku rasakan selama dua puluh empat tahun sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Rasa yang tak ku kenali. Rasa asing. Datang begitu tiba-tiba. Tanpa undangan. Tanpa tegur sapa. Rasa yang orang-orang sebut dengan istilah aneh, cinta. Rasa yang sering dikoar-koarkan para pujangga. Rasa yang menyiksa batin dan menjadi beban yang menyesakkan dada. Rasa yang aku simpan untuknya. Siapa lagi?

Real.

Namun, ini semua sudah berakhir. Rasa itu telah ku patahkan. Telah aku bebaskan diri dan jiwaku dalam harmoni alam semesta. Ini semua ku lakukan demi amanat ayahku. Baktiku tak akan pernah aku tukar untuk sesuatu yang semu serupa cinta.

Namun, sial. Tak bisa ku pungkiri bahwa aku masih merindukannya. Setiap malam sebelum aku terlelap, bayangannya selalu muncul dengan kerlingan senyum bagai obat bius. Terkadang kadar rindu ini, sampai tak mampu ku kendalikan. Namun, aku bersyukur. Karena itu artinya aku masih seorang wanita normal yang menyukai pria.

Real.

Akankah namamu yang berarti nyata, juga menjadikan sosokmu nyata di masa depanku kelak? Aku berharap kau bahagia dengan wanita pilihan hatimu. Tulang rusukmu. Siapapun itu.

***

Author: Dymar Mahafa

Komentar

  1. Yah yah yah... ngga nikah sama real kak ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. mm.. nikah nggak ya? tunggu kelanjutannya di part 19 ya 😉
      makasih mbak antika sudah mampir dan baca coretan ini. 😇

      Hapus
  2. Percakapan soal "menikah yang real" dan "kemungkinan menikahi Real" itu apa tidak mengganggu peserta ujian, yak? 🤔

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak kok mas, volume suara di frekuensi infrasonik... 😆

      Hapus
  3. Ketinggalan jauh sama tulisan mbk Dymar,
    harus balik kucing dari part sebelumnya ini saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe makasih mas Her, sudah meluangkan waktu buat mampir ke coretan ini.. 😁😄
      Silahkan, selamat balik kucing 😆

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

What Do You Think About English Subject At School?

Kanvas Kata Kita: Dari Dymar, Oleh Dymar, Untuk Hiday Nur

Lara dan Alam Lain