You are REAL - 15
Ini terjadi tepat setelah rentetan kebetulan sebelumnya sukses menghantui tidur malamku. Jam istirahat siang itu, dia ke ruang perpustakaan. Siapa lagi?
Real.
Ia menemui Bu Ratri untuk keperluan pembagian insentif KTS (Kegiatan Tengah Semester).
"Mas Real, tanda tangan di sini. Rangkap dua." Bu Ratri menyodorkan lembaran kertas SPJ.
"Makasih, Mbak." kata Real begitu usai membubuhkan tanda tangannya. Amplop putih itu ia jejalkan di saku celana sebelah kanan.
Setelahnya, seperti biasa, ia bertandang ke belakang. Menumpang ke toilet perpustakaan.
Kulirik sesekali gerak langkah dan gelagatnya. Dari arah manapun, pesona dan kharismanya tetap kuat menjerat. Aku tersipu sesaat. Namun aku segera menyibukkan diri dengan kartu-kartu perpus yang belum selesai aku rekat.
Aku tidak ingin tertangkap basah sedang memandanginya. Entah apa jadinya jika suatu saat ia menyadari bahwa aku selalu memperhatikannya. Dari jarak yang tidak terlihat. Dari jarak yang tidak terjangkau.
Dia keluar dari kamar kecil. Dan seperti biasa, ia duduk di sudut kiri sebelah barat meja lebar perpustakaan. Aku tetap acuh, pura-pura menyibukkan diri lebih tepatnya. Tolong, rasa gugup ini, tak sanggup lagi ku mengendalikannya!
"Ujian SIM yang sekarang ternyata susah ya, Mbak. Beberapa kali ikut tes tapi nggak lulus-lulus." celetuknya tiba-tiba. Perlu waktu lama ketika aku menyadari bahwa yang dibicarakannya adalah tentang ujian SIM A.
Tawa lemahnya memecah keheningan. Aku hanya mengiyakan saja, kemudian mengulum senyum sekenanya. Padahal dalam hati, aku gugup setengah mati.
Hening.
"Istirahat, Mas Real?" kata Bu Ratri yang kembali memasuki perpustakaan. Beliau menuju meja kerjanya.
"Iya, Mbak."
Lalu hening. Tak berapa lama dia berucap lagi, setelah Bu Ratri keluar ruangan. Otomatis hanya ada kami berdua di ruangan.
"Sekarang sistem tesnya basis komputer kan, Mbak. Jadi, ada timer-nya. Sama dengan ujian CBT UNBK kelas 9 ini, cuman bedanya kalau UNBK ini nggak ada timer tiap soalnya." masih saja ia berceloteh soal ujian mengemudi.
"Oh, gitu." jawabku sekenanya, namun diam-diam aku simpan dalam pikiranku setiap detail kata-katanya. Ngomong-ngomong soal UNBK, aku jadi teringat sesuatu.
"Oh ya, gimana pemasangan jaringannya, Mas? Udah selesai ini?"
"Belum, Mbak. Masih kurang dua kelas lagi."
Pertama kali. Ya, ini pertama kalinya dia secara stabil memanggilku dengan sebutan 'Mbak'.
"Lho, itu berapa kelas Mas, masangnya?"
"Lima kelas. Yang tiga kelas bawah sudah, tinggal atas yang belum dipasang jaringan. Sama koneksi internetnya juga belum jalan ini." Real menjelaskan dengan sabar dan penuh perhatian. Tatapan matanya saat itu, masih membekas di benakku hingga sekarang. Tatapan kebapakan; sayu namun tegas.
"Oh hanya tiga kelas saja? Harusnya sepuluh ya, Mas? Kelas 9 kan ada sepuluh kelas."
"Nggak, Mbak. Tahun ini lima kelas. Kalau yang tahun lalu malah cuman tiga kelas. Jadi sampai sore-sore gitu selesainya."
"Oh jadi nanti dibuat shift bergilir?"
"Iya, jadi nanti ada dua kloter. Yang tahun kemarin tiga kloter, karna cuman tiga kelas kan. Sampek jam 4 sore baru selesai anak-anak itu."
Aku hanya menggumam setuju menanggapi penjelasannya. Tapi dengan perhatian penuh dan fokus yang stabil.
Bu Ratri kembali lagi ke perpustakaan.
"Sudah keluar Mas Real ijazahnya?"
"Sudah mbak, hari ini keluar."
"Trus wisudanya juga sudah?" tanya Bu Ratri sembari menata berkasnya.
"Sudah, hari minggu kemarin."
Seperti informasi yang telah aku dengar sebelumnya. Bahwa dirinya baru saja lulus dari bangku perkuliahan. Dari mana aku tahu? Kapan-kapan aku ceritakan.
Hening.
Bu Ratri berpamitan keluar setelah mengemas berkas. Kami menjawab dengan keramahan yang berimbang.
Hening kembali menyelubungi atmosfer ruangan ini. Hanya ada kami berdua. Lagi.
Tinggal kami berdua lagi di ruangan ini. Sesekali aku berpura-pura sibuk dengan smartphone di depanku. Namun sudut mataku tak pernah lepas memperhatikan dia. Siapa lagi?
Real.
"Mbak Dara, nggak pengen ngajar?" mendadak dia buka suara.
Aku terkesiap. Tidak siap dengan jawaban atas pertanyaannya yang tiba-tiba itu.
"Maksudnya ngajar?"
"Yaa.. ngajar."
"Udah. Kalau malem jadi tutor Bhs.Inggris."
"Bukan," Real mendenguskan senyum, kesan sinis menyelimuti air mukanya.
"Maksudnya ngajar di sekolah." tambahnya.
"Di sini maksudnya?"
"Iya, yaa bisa di sini, atau dimana aja. Ngajar mata pelajaran. Seperti guru-guru yang lain."
"Oh, itu. Ya memang ada arah pengen ke sana. Tapi sekarang ini masih belum. Karna sekarang ini susah sekali masuk ke instansi, apalagi di lingkup sekolah."
Dia sependapat.
"Saya sebenernya kan dari background Bahasa Inggris kan, Mas..."
"Oh gitu.. Bahasa Inggris ternyata."
Aku tidak bertanya balik padanya tentang apa jurusannya sewaktu kuliah. Karena aku sudah mengetahui semua hal tentangnya. Meski sekilas, sepenggal-penggal saja.
"Kalau Mas Real? Pengen ngajar juga?" akhirnya pertanyaan ini yang ku lontarkan sebagai gantinya.
"Kalau saya pengennya bukan masalah ngajarnya Mbak. Jadi PNS pengennya. Entah nanti jalur yang paling cepet yang mana. Kalau cepet di guru ya ambil guru, kalau cepet di TU ya TU."
"Oh gitu..."
Tertegun aku mendengar jawabannya. Sekilas dia jadi terlihat mirip seperti ayahku.
Hening. Agak lama.
Aku memandang ke luar jendela, untuk mengurangi kegugupan. Entah ada apa dengan jantungku. Mengobrol biasa seperti ini saja, detaknya di luar kebiasaan.
"Jadi, Pak Rosy itu masih kerabat dengan Mas Real?" celetukku.
"Nggak, Mbak. Bukan." kembali ia denguskan tawa sinisnya. "Saya nggak ada saudara di sini. Pak Rosy itu bukan kerabat saya, lha wong wajahnya aja nggak mirip."
Aku tergelak mendengar celotehannya. Ini salah satu hal yang ku suka darinya. Dia pandai membuatku tertawa tanpa terduga. Gaya lelucon spontan yang ia miliki, sering membuatku kagum padanya. Pria yang sopan, lembut dan humoris. Perpaduan yang sempurna. Pas di hati.
"Oh iya juga ya Mas, bener, nggak mirip." aku tertawa.
"Tapi dulu waktu pertama dapat informasi lowongan di sini, dari Pak Rosy ya Mas?" tanyaku kemudian.
"Bukan, Mbak."
"Oh bukan.." gumamku.
Ia diam. Jeda. Aku bimbang sebaiknya aku bertanya lebih lanjut atau tidak. Karena raut wajahnya terlihat tidak suka. Akhirnya aku beranikan untuk bertanya. Spekulasi. Tidak adil rasanya, karena aku sudah menceritakan tentang diriku padanya beberapa pekan yang lalu. Dan hari itu sekiranya Tuhan mengijinkanku melanjutkan perbincangan kami yang sempat terputus minggu lalu.
"Trus? Dari siapa Mas infonya?"
Ia tersenyum. Bukan senyum ramah. Tapi senyum yang ditunjukkan ketika seseorang merasa tidak aman, tidak nyaman. Dia sepertinya enggan menjawab. Ia masih diam, membisu dalam keramahan yang dipaksakan. Menimbang-nimbang, ragu.
Aku tak mau mendesaknya. Namun aku sangat ingin tahu. Akhirnya aku menyerah. Ku putuskan untuk kembali diam. Menunggu. Akhirnya dia buka suara.
"Dari kakak saya. Guru SMP Negeri Jayabaya."
"Oh, gitu. Jadi kakaknya guru juga. Guru apa Mas?"
Aduh, mulutku. Tak bisakah kamu berhenti bertanya? Berhentilah mencoba mengorek privasinya!
"Olahraga."
"Oh.. Olahraga. Cowok apa cewek?"
Mati! Bodohnya aku. Apa sebenarnya maksudku?
"Cowok." jawab Real, masih dengan penuh kesabaran yang dibuat-buat.
Aku diam. Tak lagi bertanya.
"Yaa.. saya pengennya juga cepet ngajar, trus cari pengangkatan. Dulu sempat kepikiran mau ngajar di Papua. Kan kalo di sana pengangkatannya lebih cepet, karna daerah terpencil." terangnya.
Aku sependapat.
Memang benar sekali apa yang dia katakan. Tapi, tunggu. Papua? Is he serious? Are you for real, Real? Apa dia serius punya pikiran untuk ke sana?
"Iya, dulu sebelum diterima di sini, saya sempet ngajar di SD, tapi nggak lama kemudian keluar. Karena nggak ada pengangkatan kan kalo untuk guru Bahasa Inggris SD. Jadi daripada nanti pengabdiannya sia-sia, saya disarankan sama Kepseknya untuk cari SMP ato SMA sederajat." terangku.
"Oh, gitu.." gumam Real, menyimak. "Nah, jadi gini Mbak, saya dulu dibilangi sama orang-orang sini, katanya kalo PTT itu selamanya bakal menetap di sini. Masalah pengangkatan, suruh cari sendiri. Jadi sini nggak mau tahu dan nggak bisa bantu soal itu."
Aku menyimak.
"Saya dulu juga pernah ditawarin untuk ngajar di SD, Mbak. Cuman ya itu masalahnya. Gajinya kecil. Buat beli bensin aja, habis." terangnya blak-blakan.
Aku mengamini. Memang faktanya demikian. GTT di SD memang kurang diperhatikan kesejahteraannya. Jadi seratus persen mengabdi di SD tuh ngamal.
"Ngajar apa, Mas?" tanyaku basa-basi. Padahal aku sudah tahu jawabannya. Olahraga.
"Olahraga."
Tuh, kan?
"Ooh..." gumamku. "Iya kalo di SD emang kecil Mas insentifnya. Beda kalo di instansi pemerintah. Bisa sampek delapan ratus per bulan."
"O ya?" Real menaikkan sebelah alis. "Kata siapa itu, Mbak?"
"Kata sodara yang kerja di sana." terangku.
Ganti dia yang ber-oh ria.
"Nah, kalo guru Olahraga kan masih bisa diangkat nanti pada akhirnya. Kenapa nggak diambil Mas, tawarannya?"
"Iya, jadi nggak saya ambil tawarannya waktu itu. Karena sebelum itu, saya udah ditawari kerja di sini. Jadi ceritanya kakak saya dapet informasi, katanya di sini lagi membutuhkan operator untuk ngurus dapodik. Nah, seketika itu, saya mau. Langsung saya temui Pak Ariono. Kebetulan dulu Pak Ariono guru saya waktu SMP. Saya alumni SMPN Jayabaya."
Aku menyimak dengan perhatian penuh. Seraya sesekali menanggapi dengan 'Hm', 'Oh gitu' atau sekedar mengangguk saja.
"Mbak Dara, nggak coba ngelamar ke sekolah-sekolah lain?"
"Sudah sih, Mas." jawabku.
Dilamar, yang belum pernah. (Eits!)
"Sudah kemana-mana berkas lamaran saya. Tapi ya itu, sudah penuh semua. Nggak ada lowong." jawabku.
Real kembali ber-oh.
"Kalo Mas Real?"
"Iya, sama. Saya juga sudah coba. Dan penuh semua."
Apa ini kebetulan? Jawaban dia dengan jawabanku, sama!
"Cari pengangkatan itu susah, Mbak." katanya.
Sama kayak nyari jodoh ya, Mas?
"Lagipula saya juga mikir, umur juga udah segini." tambahnya kemudian.
"Masih muda aja kok, Mas." kataku bercanda.
"Saya sembilan dua, Mbak." jawabnya serius. Raut mukanya sedikit sensitif membahas usia. Dan dari pernyataannya barusan, kelahiran tahun segitu itu sudah masuk dalam kategori tua, menurutnya.
"Sama, kok. Saya juga sembilan dua." kataku sembari tertawa.
Apanya yang lucu? Please, Dara...
Mendengar jawabanku, seakan ia tidak percaya kalau sebenarnya kita ini seumuran. Ia hanya diam setelahnya. Aku sudah mengetahui tanggal lahirnya jauh hari sebelum perbincangan ini. Dari mana aku mengetahuinya? Dari data staff karyawan yang dia berikan padaku karena sebab kepentingan perpustakaan. Iya, yang waktu itu. Aku meminta data seluruh warga sekolah, meliputi siswa, guru dan staff, untuk keperluan perpustakaan digital yang mulai diaplikasikan di sekolah ini.
Dari situ aku tahu identitasnya secara rinci, termasuk nomor ponsel serta tanggal lahirnya. Keren, kan, kebetulan ini? Kebetulan mana lagi yang mau kau dustakan?
Sampai di situ, perbincangan kami berakhir. Di luar mega mendung memberi peringatan. Sepertinya akan hujan lebat tidak lama lagi.
Real.
Ambisius, angkuh, misterius. Sosoknya menyimpan begitu banyak rahasia. Dan bisa terbaca olehku ada sedikit ego pada sifatnya. Air mukanya terlihat tegas. Namun terkadang, ada sisi kekanakan muncul begitu saja secara spontan.
Sampai kapan rasa ini akan ku simpan? Aku sendiri tak bisa menjawabnya. Rasa tak terungkap akan selamanya terkunci rapat dalam relungku.
Aku takut meminta. Karena aku tak ingin Tuhan salah mengerti akan keinginanku yang paling dalam. Jadi aku tak berdoa pada Tuhan bahwa aku menginginkannya. Jujur aku meragu.
Aku meragukan intuisiku sendiri. Aku takut jika nantinya intuisi mendustaiku. Menusukku dari belakang. Menikamku dengan jerat pikatnya yang membutakan nuraniku.
Entah sampai kapan aku akan menyadari bahwa perasaanku hanyalah sebutir debu tak berarti. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dalam angan semuku, yang terus saja dihantui bayang-bayang dirinya.
Real.
Entah sampai kapan. Aku tak tahu. Lebih tepatnya aku tak peduli. Ku abaikan intuisi ini.
***
Author: Dymar Mahafa
Real.
Ia menemui Bu Ratri untuk keperluan pembagian insentif KTS (Kegiatan Tengah Semester).
"Mas Real, tanda tangan di sini. Rangkap dua." Bu Ratri menyodorkan lembaran kertas SPJ.
"Makasih, Mbak." kata Real begitu usai membubuhkan tanda tangannya. Amplop putih itu ia jejalkan di saku celana sebelah kanan.
Setelahnya, seperti biasa, ia bertandang ke belakang. Menumpang ke toilet perpustakaan.
Kulirik sesekali gerak langkah dan gelagatnya. Dari arah manapun, pesona dan kharismanya tetap kuat menjerat. Aku tersipu sesaat. Namun aku segera menyibukkan diri dengan kartu-kartu perpus yang belum selesai aku rekat.
Aku tidak ingin tertangkap basah sedang memandanginya. Entah apa jadinya jika suatu saat ia menyadari bahwa aku selalu memperhatikannya. Dari jarak yang tidak terlihat. Dari jarak yang tidak terjangkau.
Dia keluar dari kamar kecil. Dan seperti biasa, ia duduk di sudut kiri sebelah barat meja lebar perpustakaan. Aku tetap acuh, pura-pura menyibukkan diri lebih tepatnya. Tolong, rasa gugup ini, tak sanggup lagi ku mengendalikannya!
"Ujian SIM yang sekarang ternyata susah ya, Mbak. Beberapa kali ikut tes tapi nggak lulus-lulus." celetuknya tiba-tiba. Perlu waktu lama ketika aku menyadari bahwa yang dibicarakannya adalah tentang ujian SIM A.
Tawa lemahnya memecah keheningan. Aku hanya mengiyakan saja, kemudian mengulum senyum sekenanya. Padahal dalam hati, aku gugup setengah mati.
Hening.
"Istirahat, Mas Real?" kata Bu Ratri yang kembali memasuki perpustakaan. Beliau menuju meja kerjanya.
"Iya, Mbak."
Lalu hening. Tak berapa lama dia berucap lagi, setelah Bu Ratri keluar ruangan. Otomatis hanya ada kami berdua di ruangan.
"Sekarang sistem tesnya basis komputer kan, Mbak. Jadi, ada timer-nya. Sama dengan ujian CBT UNBK kelas 9 ini, cuman bedanya kalau UNBK ini nggak ada timer tiap soalnya." masih saja ia berceloteh soal ujian mengemudi.
"Oh, gitu." jawabku sekenanya, namun diam-diam aku simpan dalam pikiranku setiap detail kata-katanya. Ngomong-ngomong soal UNBK, aku jadi teringat sesuatu.
"Oh ya, gimana pemasangan jaringannya, Mas? Udah selesai ini?"
"Belum, Mbak. Masih kurang dua kelas lagi."
Pertama kali. Ya, ini pertama kalinya dia secara stabil memanggilku dengan sebutan 'Mbak'.
"Lho, itu berapa kelas Mas, masangnya?"
"Lima kelas. Yang tiga kelas bawah sudah, tinggal atas yang belum dipasang jaringan. Sama koneksi internetnya juga belum jalan ini." Real menjelaskan dengan sabar dan penuh perhatian. Tatapan matanya saat itu, masih membekas di benakku hingga sekarang. Tatapan kebapakan; sayu namun tegas.
"Oh hanya tiga kelas saja? Harusnya sepuluh ya, Mas? Kelas 9 kan ada sepuluh kelas."
"Nggak, Mbak. Tahun ini lima kelas. Kalau yang tahun lalu malah cuman tiga kelas. Jadi sampai sore-sore gitu selesainya."
"Oh jadi nanti dibuat shift bergilir?"
"Iya, jadi nanti ada dua kloter. Yang tahun kemarin tiga kloter, karna cuman tiga kelas kan. Sampek jam 4 sore baru selesai anak-anak itu."
Aku hanya menggumam setuju menanggapi penjelasannya. Tapi dengan perhatian penuh dan fokus yang stabil.
Bu Ratri kembali lagi ke perpustakaan.
"Sudah keluar Mas Real ijazahnya?"
"Sudah mbak, hari ini keluar."
"Trus wisudanya juga sudah?" tanya Bu Ratri sembari menata berkasnya.
"Sudah, hari minggu kemarin."
Seperti informasi yang telah aku dengar sebelumnya. Bahwa dirinya baru saja lulus dari bangku perkuliahan. Dari mana aku tahu? Kapan-kapan aku ceritakan.
Hening.
Bu Ratri berpamitan keluar setelah mengemas berkas. Kami menjawab dengan keramahan yang berimbang.
Hening kembali menyelubungi atmosfer ruangan ini. Hanya ada kami berdua. Lagi.
Tinggal kami berdua lagi di ruangan ini. Sesekali aku berpura-pura sibuk dengan smartphone di depanku. Namun sudut mataku tak pernah lepas memperhatikan dia. Siapa lagi?
Real.
"Mbak Dara, nggak pengen ngajar?" mendadak dia buka suara.
Aku terkesiap. Tidak siap dengan jawaban atas pertanyaannya yang tiba-tiba itu.
"Maksudnya ngajar?"
"Yaa.. ngajar."
"Udah. Kalau malem jadi tutor Bhs.Inggris."
"Bukan," Real mendenguskan senyum, kesan sinis menyelimuti air mukanya.
"Maksudnya ngajar di sekolah." tambahnya.
"Di sini maksudnya?"
"Iya, yaa bisa di sini, atau dimana aja. Ngajar mata pelajaran. Seperti guru-guru yang lain."
"Oh, itu. Ya memang ada arah pengen ke sana. Tapi sekarang ini masih belum. Karna sekarang ini susah sekali masuk ke instansi, apalagi di lingkup sekolah."
Dia sependapat.
"Saya sebenernya kan dari background Bahasa Inggris kan, Mas..."
"Oh gitu.. Bahasa Inggris ternyata."
Aku tidak bertanya balik padanya tentang apa jurusannya sewaktu kuliah. Karena aku sudah mengetahui semua hal tentangnya. Meski sekilas, sepenggal-penggal saja.
"Kalau Mas Real? Pengen ngajar juga?" akhirnya pertanyaan ini yang ku lontarkan sebagai gantinya.
"Kalau saya pengennya bukan masalah ngajarnya Mbak. Jadi PNS pengennya. Entah nanti jalur yang paling cepet yang mana. Kalau cepet di guru ya ambil guru, kalau cepet di TU ya TU."
"Oh gitu..."
Tertegun aku mendengar jawabannya. Sekilas dia jadi terlihat mirip seperti ayahku.
Hening. Agak lama.
Aku memandang ke luar jendela, untuk mengurangi kegugupan. Entah ada apa dengan jantungku. Mengobrol biasa seperti ini saja, detaknya di luar kebiasaan.
"Jadi, Pak Rosy itu masih kerabat dengan Mas Real?" celetukku.
"Nggak, Mbak. Bukan." kembali ia denguskan tawa sinisnya. "Saya nggak ada saudara di sini. Pak Rosy itu bukan kerabat saya, lha wong wajahnya aja nggak mirip."
Aku tergelak mendengar celotehannya. Ini salah satu hal yang ku suka darinya. Dia pandai membuatku tertawa tanpa terduga. Gaya lelucon spontan yang ia miliki, sering membuatku kagum padanya. Pria yang sopan, lembut dan humoris. Perpaduan yang sempurna. Pas di hati.
"Oh iya juga ya Mas, bener, nggak mirip." aku tertawa.
"Tapi dulu waktu pertama dapat informasi lowongan di sini, dari Pak Rosy ya Mas?" tanyaku kemudian.
"Bukan, Mbak."
"Oh bukan.." gumamku.
Ia diam. Jeda. Aku bimbang sebaiknya aku bertanya lebih lanjut atau tidak. Karena raut wajahnya terlihat tidak suka. Akhirnya aku beranikan untuk bertanya. Spekulasi. Tidak adil rasanya, karena aku sudah menceritakan tentang diriku padanya beberapa pekan yang lalu. Dan hari itu sekiranya Tuhan mengijinkanku melanjutkan perbincangan kami yang sempat terputus minggu lalu.
"Trus? Dari siapa Mas infonya?"
Ia tersenyum. Bukan senyum ramah. Tapi senyum yang ditunjukkan ketika seseorang merasa tidak aman, tidak nyaman. Dia sepertinya enggan menjawab. Ia masih diam, membisu dalam keramahan yang dipaksakan. Menimbang-nimbang, ragu.
Aku tak mau mendesaknya. Namun aku sangat ingin tahu. Akhirnya aku menyerah. Ku putuskan untuk kembali diam. Menunggu. Akhirnya dia buka suara.
"Dari kakak saya. Guru SMP Negeri Jayabaya."
"Oh, gitu. Jadi kakaknya guru juga. Guru apa Mas?"
Aduh, mulutku. Tak bisakah kamu berhenti bertanya? Berhentilah mencoba mengorek privasinya!
"Olahraga."
"Oh.. Olahraga. Cowok apa cewek?"
Mati! Bodohnya aku. Apa sebenarnya maksudku?
"Cowok." jawab Real, masih dengan penuh kesabaran yang dibuat-buat.
Aku diam. Tak lagi bertanya.
"Yaa.. saya pengennya juga cepet ngajar, trus cari pengangkatan. Dulu sempat kepikiran mau ngajar di Papua. Kan kalo di sana pengangkatannya lebih cepet, karna daerah terpencil." terangnya.
Aku sependapat.
Memang benar sekali apa yang dia katakan. Tapi, tunggu. Papua? Is he serious? Are you for real, Real? Apa dia serius punya pikiran untuk ke sana?
"Iya, dulu sebelum diterima di sini, saya sempet ngajar di SD, tapi nggak lama kemudian keluar. Karena nggak ada pengangkatan kan kalo untuk guru Bahasa Inggris SD. Jadi daripada nanti pengabdiannya sia-sia, saya disarankan sama Kepseknya untuk cari SMP ato SMA sederajat." terangku.
"Oh, gitu.." gumam Real, menyimak. "Nah, jadi gini Mbak, saya dulu dibilangi sama orang-orang sini, katanya kalo PTT itu selamanya bakal menetap di sini. Masalah pengangkatan, suruh cari sendiri. Jadi sini nggak mau tahu dan nggak bisa bantu soal itu."
Aku menyimak.
"Saya dulu juga pernah ditawarin untuk ngajar di SD, Mbak. Cuman ya itu masalahnya. Gajinya kecil. Buat beli bensin aja, habis." terangnya blak-blakan.
Aku mengamini. Memang faktanya demikian. GTT di SD memang kurang diperhatikan kesejahteraannya. Jadi seratus persen mengabdi di SD tuh ngamal.
"Ngajar apa, Mas?" tanyaku basa-basi. Padahal aku sudah tahu jawabannya. Olahraga.
"Olahraga."
Tuh, kan?
"Ooh..." gumamku. "Iya kalo di SD emang kecil Mas insentifnya. Beda kalo di instansi pemerintah. Bisa sampek delapan ratus per bulan."
"O ya?" Real menaikkan sebelah alis. "Kata siapa itu, Mbak?"
"Kata sodara yang kerja di sana." terangku.
Ganti dia yang ber-oh ria.
"Nah, kalo guru Olahraga kan masih bisa diangkat nanti pada akhirnya. Kenapa nggak diambil Mas, tawarannya?"
"Iya, jadi nggak saya ambil tawarannya waktu itu. Karena sebelum itu, saya udah ditawari kerja di sini. Jadi ceritanya kakak saya dapet informasi, katanya di sini lagi membutuhkan operator untuk ngurus dapodik. Nah, seketika itu, saya mau. Langsung saya temui Pak Ariono. Kebetulan dulu Pak Ariono guru saya waktu SMP. Saya alumni SMPN Jayabaya."
Aku menyimak dengan perhatian penuh. Seraya sesekali menanggapi dengan 'Hm', 'Oh gitu' atau sekedar mengangguk saja.
"Mbak Dara, nggak coba ngelamar ke sekolah-sekolah lain?"
"Sudah sih, Mas." jawabku.
Dilamar, yang belum pernah. (Eits!)
"Sudah kemana-mana berkas lamaran saya. Tapi ya itu, sudah penuh semua. Nggak ada lowong." jawabku.
Real kembali ber-oh.
"Kalo Mas Real?"
"Iya, sama. Saya juga sudah coba. Dan penuh semua."
Apa ini kebetulan? Jawaban dia dengan jawabanku, sama!
"Cari pengangkatan itu susah, Mbak." katanya.
Sama kayak nyari jodoh ya, Mas?
"Lagipula saya juga mikir, umur juga udah segini." tambahnya kemudian.
"Masih muda aja kok, Mas." kataku bercanda.
"Saya sembilan dua, Mbak." jawabnya serius. Raut mukanya sedikit sensitif membahas usia. Dan dari pernyataannya barusan, kelahiran tahun segitu itu sudah masuk dalam kategori tua, menurutnya.
"Sama, kok. Saya juga sembilan dua." kataku sembari tertawa.
Apanya yang lucu? Please, Dara...
Mendengar jawabanku, seakan ia tidak percaya kalau sebenarnya kita ini seumuran. Ia hanya diam setelahnya. Aku sudah mengetahui tanggal lahirnya jauh hari sebelum perbincangan ini. Dari mana aku mengetahuinya? Dari data staff karyawan yang dia berikan padaku karena sebab kepentingan perpustakaan. Iya, yang waktu itu. Aku meminta data seluruh warga sekolah, meliputi siswa, guru dan staff, untuk keperluan perpustakaan digital yang mulai diaplikasikan di sekolah ini.
Dari situ aku tahu identitasnya secara rinci, termasuk nomor ponsel serta tanggal lahirnya. Keren, kan, kebetulan ini? Kebetulan mana lagi yang mau kau dustakan?
Sampai di situ, perbincangan kami berakhir. Di luar mega mendung memberi peringatan. Sepertinya akan hujan lebat tidak lama lagi.
Real.
Ambisius, angkuh, misterius. Sosoknya menyimpan begitu banyak rahasia. Dan bisa terbaca olehku ada sedikit ego pada sifatnya. Air mukanya terlihat tegas. Namun terkadang, ada sisi kekanakan muncul begitu saja secara spontan.
Sampai kapan rasa ini akan ku simpan? Aku sendiri tak bisa menjawabnya. Rasa tak terungkap akan selamanya terkunci rapat dalam relungku.
Aku takut meminta. Karena aku tak ingin Tuhan salah mengerti akan keinginanku yang paling dalam. Jadi aku tak berdoa pada Tuhan bahwa aku menginginkannya. Jujur aku meragu.
Aku meragukan intuisiku sendiri. Aku takut jika nantinya intuisi mendustaiku. Menusukku dari belakang. Menikamku dengan jerat pikatnya yang membutakan nuraniku.
Entah sampai kapan aku akan menyadari bahwa perasaanku hanyalah sebutir debu tak berarti. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dalam angan semuku, yang terus saja dihantui bayang-bayang dirinya.
Real.
Entah sampai kapan. Aku tak tahu. Lebih tepatnya aku tak peduli. Ku abaikan intuisi ini.
***
Author: Dymar Mahafa
Ini belum endingkan mbak?
BalasHapusbelum mbak Ci, masih bersambung 😃😄
Hapusmakasi sudah mampir mbak... tunggu part 16 ya 😆
Berapa lama lagi nih, bisa jadi novelet nih
BalasHapussampek Real sadar sama perasaannya Dara mbak 😅😉
Hapus