You are REAL - 17

"Oke, ini gimana enaknya, cetak atau nggak fotonya?" suara Real menengahi diskusi kami yang kedua bersama anak-anak OSIS.

Hari H acara ulang tahun sekolah yang ke-56, telah tiba. Lomba fotografi pun baru saja selesai siang ini. Kami berempat kembali berkumpul di sini, perpustakaan.

"Kira-kira dari OSIS ada dana berapa?" tanya Real, setelah beberapa saat tak ada tanggapan.

Vani dan Jeva hanya saling pandang kemudian tersenyum. Yang artinya kas-OSIS-lagi-kosong-Pak.

"Nggak ada, Pak. Anak-anak susah sekali kalo ditarik uang kas. Banyak yang nunggak juga. Kalo Pak Real yang bayarin juga nggak apa-apa lho, Pak. Dengan senang hati kami terima." kilah Vani, yang kemudian diamini Jeva.

"Gimana, Bu Dara? Ada masukan?" todong Real. Lagi?

Aduh, please Real... don't do that again. 😧

"Kalo menurut saya, sebaiknya di cetak saja. Karena sebagai penghargaan atas jerih payah teman-teman kalian. Mereka sudah capek-capek memotret, rela panas-panasan juga." kataku setelah berdeham.

"Tapi, sekali lagi lihat sikon juga. Dananya ada atau tidak, kembali kepada OSIS. Gimana dari anak-anak OSIS? Kira-kira sanggup mencetak nggak?" imbuhku.

"Gimana, Pak Re?" kali ini Jeva yang bersuara. Sepertinya mereka sudah mati ide, tak bisa melontarkan apa-apa.

"Cetak foto per lembarnya berapa, Bu?" tanya Vani ketika Real tengah sibuk berpikir.

Aku jelaskan padanya standar nominal harga foto sesuai dengan ukuran R-nya. Mulai dari yang termurah hingga yang agak mahal sedikit. Kemudian, Vani mulai membayangkan kalkulasinya.

"Berarti totalnya segini ya Bu, kira-kira?" Vani menunjukkan kertas hitungannya padaku.

"Tapi kalo memang dananya nggak ada, ya nggak usah saja. Daripada nanti jadi beban." jelasku.

"Oh, iya! Pakai itu aja!" seru Real seraya menjentikkan jari.

Semua mata tertuju padanya. (Nggak peting)

"Yang nggak ikut lomba tadi berapa kelas?" Real mulai memancing.

Triiing!

"Oh, iya. Sip, Pak. Pake uang denda kelas." seru Vani serasa baru saja mendapat ilham.

Waw, tak ku sangka Real bisa memunculkan ide itu. Satu solusi yang keren. Sesaat aku terpesona. Sedikit. Tidak, tidak. Banyak, kurasa. 

"Deal, ya?"

"Deal!" jawab mereka serempak.

Aku hanya diam menyimak.

"Nah, clear, ya? Ketemu solusinya. Masalah cetak, beres. Foto-foto semua kelas sudah di sini semua ya, Van?" tanya Real seraya menunjuk laptop di hadapannya.

"Sudah, Pak."

"Oke, kita akhiri sekian. Terima kasih semuanya. Selamat siang."

OSIS pun undur diri.

***

"Kita bagi tugas saja Bu Dara, biar lebih cepat selesai." kata Real setelah beberapa saat lalu kami mengecek foto-foto yang sudah masuk di laptop.

"Bu Dara bawa flashdisk?"

Aku serahkan benda kecil bermuatan besar itu padanya. Kemudian ia mulai sibuk dengan proses copy-paste.

"Selamat nglembur malam ini." katanya seraya tersenyum. Flashdisk kembali berpindah tangan.

Aku pun balas mendesahkan senyum, mengimbangi keramahannya. Dan tak lupa dalam hati gemuruh aneh kembali menyerangku. Semua ini karena senyumnya itu. Kenapa senyumnya harus manis begitu sih? Lama-lama kena diabetes melitus nih, gue.

"Masih dua hari lagi kan, Pak, nge-rekapnya?Malam nanti saya masih ada kerjaan." lirihku. Nyaris tak terdengar.

"Kerja apa, Bu Dara?" tak ku sangka dia masih bisa mendengarnya dan ingin tahu lebih jauh.

"Itu, Tutor Bahasa Inggris, program pemenrintah kota itu lho, Pak."

Real ber-oh.

"Sudah pernah dengar belum?" tanyaku setelah ku sebutkan nama programnya.

"Ada sih yang sempat menyinggung, tapi saya nggak begitu tahu."

"Rumahnya Pak Real daerah mana?" tanyaku. Kesempan emas buat modus ber-alibi.

Dia menyebutkan nama desa tempat tinggalnya. Letaknya ada di daerah barat sungai.

"Kalo Bu Dara daerah sana ya, rumahnya?" dia menyebutkan satu nama desa.

"Bukan." kemudian aku ralat nama desa yang keliru ia sebutkan.

"Lho, katanya daerah sana?" dia bersikeras, basa-basi ngeyel.

"Kata siapa?" jawabku tanpa ada kesan tersinggung.

"Oh, bukan ya? Saya salah dengar berarti."

Hening.

"Oh, kalo di sekitar domisilinya Pak Real di sana sudah ada juga program Bahasa Inggris ini." kataku mengisi basa-basi.

"Itu tiap hari ya, Mbak? Sampai jam berapa?"

Ku jawab pertanyaannya. Kemudian dia kembali ber-oh.

"Kalau Mas Real, selain di sini dimana lagi?"

Dia menjelaskan tentang pekerjaannya di luar sekolah. Dari situ aku tahu sedikit banyak tentang kesibukannya di luar sekolah.

"Dulu Bu Dara pertama bisa masuk ke sini gimana?" Dia bertanya takut-takut tentang bagaimana aku bisa diterima kerja di sekolah ini. Ah, tapi kenapa dia memanggilku 'Bu' lagi? Padahal beberapa saat lalu dia memanggilku 'Mbak'.

Aku mulai menceritakan tentang kisah singkatku hingga bisa diterima sebagai staff di sekolah ini. Dia menyimak penuh.

Real kembali ber-oh. Perbincangan ini terus berlanjut hingga kami saling tertawa karena lelucon masing-masing.

"Oh, Pak Rosi itu yang biasanya pakai kopyah itu ya, Mas?"

"Mm, kopyahnya yang gimana bentuknya?" tanyanya.

Aku bergumam sejenak sebelum menjawab.

"Ya, kopyah. Yang ditaruh di atas kepala itu lho, Mas."

Sontak Real terbahak. Ah, tawa itu. Aku selalu menyukai warna tawanya.

Aku tidak berniat untuk melawak sebenarnya. Tapi dia menganggap bahwa itu lucu. Dalam batin aku bersorak gembira. Aku senang. Rasanya begitu nyaman berada dekat dengannya. Entah kenapa.

"Bukan, maksud saya, model kopyahnya yang seperti gimana? Bulet, atau kotak, atau yang ada bordirannya misal."

Aku berpikir sejenak. Mengingat-ingat.

"Saya nggak begitu memperhatikan sih, Mas, ya kopyah biasa gitu. Yang biasanya buat sembahyang."

"Oh, kopyah yang buat ijab qobul itu ya?"

Deg!

Kenapa lagi ini? Oh, jantungku. Berhentilah merespon secara berlebihan. Aku lelah. Tapi kenapa tiba-tiba dia membanting topik jadi ijab qobul? Ah, bikin baper aja. Aku tak menyangka dia mikirnya sampai menyangkut ke pelaminan.

Setelahnya aku hanya ber-oh. Namun sial, nada bicaraku kenapa jadi gugup dan kikuk begini?

Real.

Ingin ku beranikan diriku untuk berdoa pada Tuhan. Memohon pada-Nya untuk menjadikanmu imam keluarga kecilku kelak. Namun, beranikah hatiku meminta demikian?

Tidak, aku tak berani melakukannya.

Bahkan jika Tuhan berkehendak, Dia bisa menjadikan keinginanku terwujud. Bukan hal yang sulit bagi-Nya. Dan tak ada yang bisa menghentikan kehendak-Nya.

Namun tidak. Sungguh.

Aku tak berani meminta pada-Nya untuk yang satu ini. Aku tak ingin merusak amanat ayahku tentang karma jodoh orang Jawa. Suatu waktu ayahku berpesan.

"Papa berharap kamu bisa bersanding dengan laki-laki yang setara dengan kamu. Pendidikannya, pekerjaannya, tujuan hidupnya, dan ingat satu hal. Pantangan yang harus dihindari. Kamu nggak boleh menikah dengan laki-laki yang tinggal di daerah barat sungai."

Aku tak bertanya 'kenapa' pada ayah. Aku sudah tak terkejut lagi dengan penuturan itu. Karena aku sendiri juga mempercayai adanya karma adat Jawa.

"Karena akan banyak sekali petakanya. Cerai, tidak harmonis, banyak godaannya. Dan biasanya salah satu dari anggota keluarga akan terkena musibah. Bahkan menuntut tumbal. Kamu tahu sendiri kan, apa yang terjadi setelah om kamu menikah dengan tantemu yang rumahnya daerah barat sungai sana? Kakekmu meninggal."

***

Author: Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori