You are REAL - 16

Sederet kisah tentang Real. Kisah manis, romantis, menyenangkan hingga menjengkelkan telah banyak mewarnai hari-hariku.

Aku? Siapa aku?

Darra Diamoniq.

Nama yang unik, bukan? Aku harus berterima kasih kepada ayahku atas pemberian nama yang unik itu, sehingga selama dua puluh empat tahun ini beban akibat nama itu harus secara ikhlas ku tanggung. Rasa capek lahir batin sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku. Betapa tidak? Karena setiap kali aku menyebut nama panjangku, aku juga harus sekaligus mengeja setiap hurufnya agar orang-orang tidak salah menuliskannya.

Pernah suatu ketika, ada satu kejadian yang benar-benar membuatku nyaris gila. Nama unik itu tertulis keliru di sana, di salah satu sertifikat penting yang berhubungan dengan keahlian Bahasa Inggris milikku. Waktu itu penulisannya kurang satu huruf 'R' pada nama 'Darra' yang seharusnya huruf 'R'-nya tertulis dua. Huruf 'Q' di belakang nama, tertulis 'K' di sana. Padahal aku merasa sudah menuliskan namaku dengan benar.

Dan gara-gara kesalahan sepele itu aku harus rela bolak-balik ke lembaga bahasa untuk mengkonsultasikannya kepada yang berwenang.

Ayahku muntab kala itu. Beliau menceramahiku soal macam-macam. Mulai dari kecerobohan yang sama sekali tidak ku lakukan, hingga menyangkut ketidaktelitianku dalam mengerjakan sesuatu. Tentu saja aku tidak terima dikatakan sebagai anak bodoh, walau ayahku menggunakan diksi yang lebih halus. Namun, sebagai anak yang berbakti kepada orangtua, aku diam saja, sendhika dawuh, menurut dengan apa yang beliau nasihatkan.

Sekali lagi, terima kasih, Ayah. 😑

"Mbak Dara, nama lengkapnya siapa Mbak?" tanya Bu Ratri kala pertama kali aku hendak menerima gaji pertamaku.

"Darra Diamoniq, Bu. D-A-R-R-A D-I-A-M-O-N-I-Q."

Fiuh.. Tuhan, dosa apa aku ini? 😧

Baiklah, kembali ke headline. Ada satu kejadian yang lagi-lagi membuatku tertegun sekaligus bahagia dalam satu waktu. Entah kenapa Dewi Fortuna terus menempel kepadaku. Tentang siapa lagi? Tentu saja tentang dia.

Real.

Ini adalah perbincangan panjang kami yang pertama setelah kurang lebih dua bulan aku bekerja di sekolah ini.

Kegiatan Tengah Semester tengah berlangsung saat itu. Aku ditugaskan untuk menjadi juri di salah satu lomba acara DN bersamanya. Iya, dia. Siapa lagi?

Real.

Tak bisa ku percaya bahwa orang-orang terus saja menggandengkan aku dengannya. Real dan aku menjadi bahan sorotan serta perbincangan di sana sini. Bahkan saat rapat koordinasi Dies Natalies (DN), sempat ada salah seorang guru yang menyeletuk, menggodai kami.

"Nanti Mas Real koordinasi dengan Mbak Dara ya?" begitu kata Pak Abi usai menjelaskan juknis lombanya.

Real hanya mengangguk seraya mengulum senyum sopan yang ia paksakan.

"Nah, itu Mas Real, di cariin gandengan." kata suara yang lain.

"Cocok wes. Yang satu ganteng, yang satunya cantik." goda Bu Juli.

Suit-suit serta sorakan semacam 'cie-cie' sudah kenyang ku dengar dari mereka. Dan sialnya, kenapa aku harus tersipu setiap kali sorakan itu terlontar untuk kami berdua? Sementara air mukanya, datar-datar saja. Dia tetap memasang muka tegasnya yang kaku itu.

Sungguh sial! 

Walau aku mengumpat dalam hati, aku tetap saja senang. Hatiku berbunga-bunga. Rasanya getar-getar aneh itu kian terasa dan tak mau sirna. Menurut kalian, aku harus bagaimana? Sudah, jangan dijawab.

Sehari kemudian, yaitu esok harinya, kami memutuskan untuk bertemu kembali di perpustakaan. Bukan untuk 'kencan' berdua, tapi juga ada anak-anak OSIS di sana. Aku, Real dan dua anak OSIS tengah merapatkan satu hal. Teknis penjurian.

Sebelum anak-anak datang, kami sempat terlibat adu gagasan. Adu mulut, serasa kurang pas rasanya.

"Mas, ini kriteria penjuriannya apa aja yang dinilai?" tanyaku memulai.

Dia diam. Mikir. Serius sekali sampai keningnya berkerut. Tiga detik kemudian, mulutnya bicara.

"Ya pokoknya foto yang kelihatan bagus dan jelas, itu yang kepilih."

Ex.. excuse me? 😬😒
I beg your pardon? ðŸ˜©
Hello? What are you talking about? 😑

Kaget setengah mati aku mendengar jawabannya. Aku diam. Mengernyit ngeri.

Halo? 😒

Bagus dan jelas, itu relatif. Tiap-tiap orang punya kriteria dan cara pandang yang berbeda. Dan jawabannya itu lho, bikin aku geregetan! Hm, gemes. Kesannya kolot banget gitu, kan. Idealis level dewa. Rasanya kayak ngomong sama anak umur 5 tahun.

Sabar... sabar...

"Iya, maksud saya kriterianya bisa dibilang bagus dan jelas, itu acuannya yang gimana? Patokan penilaiannya, maksud saya."

Dia mengernyit. Kelihatan sekali gengsinya setinggi langit. Sok serius berpikir.

"Iya, ya. Apa ya, Mbak?" gumamnya kemudian. Tampangnya lucu sekali jika sedang jaim seperti itu.

Gubrak! 😵
Ngomong ama tembok. Dari tadi juga gue nanya itu. Please Real, you make me dizzy.

"Nah, kalau Mas Real belum menyiapkan, ini saya ada beberapa kriteria atau patokan untuk dasar penilaiannya." kataku akhirnya setelah menghela napas.

Ku sebutkan satu per satu seraya menggeser-geser layar smartphone-ku. Intinya ada empat poin dalam penilaian fotografi. Sekilas ku lihat dia tidak mengindahkan apa yang tengah aku katakan.

"Gimana menurut, Mas Real?" tanyaku setelah selesai menjelaskan.

"Kalau menurut saya, nggak perlu sedetail itu, Bu Dara. Yang pasti, foto yang gambarnya jelas dan resolusinya bagus, ya itu, yang keluar sebagai juaranya."

See? I told you before, this is a big mess! He drives me crazy! Really.

Dan dia panggil aku apa tadi? 'Bu' ? Aku benci ketika dia mulai sok formal seperti itu. Itulah kenapa aku seringkali lupa untuk memanggilnya 'Pak'. Masih kayak ABG labil sih dianya.

"Kalo tahun lalu, gimana penjuriannya?"

"Wah, kurang tau saya. Nanti coba tanya ke anak-anak dulu."

"Masuk." katanya pada dua anak OSIS yang tengah memasuki perpustakaan.

Real berpindah tempat, memberi jarak dua kursi kosong untuk anak-anak.

"Van, kriteria penilaian fotografinya dari anak OSIS yang tahun lalu gimana?" tanya Real langsung ke intinya, pada salah satu dari mereka.

"Nggak tau, Pak." jawab Vani.

"Yang tahun lalu gimana?" tanya Real lagi.

"Nggak ada, Pak."

"Oh berarti baru tahun ini ada lomba fotografi?" tanyaku menyimpulkan.

"Iya, Bu." jawab kedua anak itu serempak.

"Nah, ini dari anak OSIS pengennya gimana? Kriteria penjuriannya mau dikonsep kayak gimana?" tanya Real.

Vani berpikir sejenak. "Hm.. apa ya?"

"Hayo, apa? Nggak boleh asal, lho, menilainya."

Vani saling pandang dengan Jeva, kemudian keduanya senyum-senyum tidak jelas, mati ide.

"Terserah jurinya aja, Pak. Kita nurut sama Pak Real dan Bu Dara saja." kata Vani pada akhirnya.

Real diam. Aku pun demikian. Menunggu salah satu dari kami berdua angkat bicara. Aku biarkan dia saja yang mengambil keputusan. Karena notabene dia itu laki-laki. Imam, yang memang sudah seharusnya memimpin satu musyawarah untuk mencapai mufakat.

"Gimana, Bu Dara? Ada saran?" tiba-tiba Real menodongku.

JDERR! 😲

Otomatis aku gelagapan ditodong pertanyaan seperti itu, namun tidak ku tunjukkan ekspresi kagetku itu.

Apa dia berniat memojokkanku? Sungguh sial berpartner dengan manusia es itu!

Serigala bulu domba!!!  ðŸ˜¬ðŸ˜ 

Makiku dalam hati. Kesan tidak mau tahu dan lepas tangan mulai bisa aku rasakan sekarang. Menyebalkan!

"Jadi begini, kalau dari saya ada empat kriteria penilaian yang nantinya bisa dijadikan patokan untuk menentukan siapa juaranya. Meliputi teknis, konsep, konten dan tematis."

Semua diam. Lebih tepatnya menyimak.

"Gimana, dari Pak Real?" todongku balik.

"Ya, boleh. Pakai yang itu saja, Bu. Saya ngikut Bu Dara saja." jawab Real. Sepertinya dia tidak mau repot-repot berpikir.

"Gimana, dari OSIS?" tanya Real pada anak-anak.

Dua anak itu diam, menimbang-nimbang.

"Teknis itu gimana, Bu?" akhirnya Jeva buka suara.

Ini pertanyaan yang aku tunggu dari mereka. Detail kriteria penilaian.

"Teknis meliputi ketajaman, sudut pandang, teknik pemotretan sama komposisinya."

"Contohnya, Bu?"

"Fotonya nggak nge-blur, jelas dan resolusinya nggak pecah."

"Kalo yang lainnya?" ganti Real yang bertanya.

Ya, ampun. Rasa-rasanya aku seperti dijadikan tumbal di upacara pemanggilan arwah.

"Untuk konsep, melingkupi unsur-unsur gagasan atau ide yang melatari lahirnya sebuah karya foto. Jadi misal di tema DN kali ini kita mengusung tema Art Creation. Jadi konsep yang mengandung seni dan kreasi harus lebih ditonjolkan nanti."

Tak ada suara, mereka fokus pada keteranganku.

"Konten, melingkupi unsur-unsur pesan dan informasi yang tersirat maupun tersurat dalam foto. Pesan dalam foto bisa berupa pernyataan, kesan atau ungkapan emosi. Jadi kalau yang ini lebih ke perasaan dan maksud yang melingkupi foto tersebut. Bisa konten yang ceria, mengharukan atau memberikan semangat pada semua yang melihatnya."

"Sementara tematis, melingkupi unsur-unsur yang terkait dengan tema lomba yang disodorkan. Misalnya, tema Art Creation tadi. Jadi nanti gambar yang diambil harus sesuai dengan tema yang diusung."

"Mungkin dari Pak Real ada tambahan. Silahkan." kataku di akhir penjelasan.

"Kalo misal kriterianya lebih disederhanakan lagi gimana? Jadi, biar lebih gampang nanti menilainya." kata Real.

"Contohnya?" todongku.

Yes! Serangan balik. *evil smirk*

Real tampak berpikir. Dan tidak kunjung memberikan penjelasan.

"Oke, kita pakai itu saja, Bu Dara. Gimana dari anak OSIS? Ada tambahan?" akhirnya kalimat itu yang ia munculkan.

Ya, ampun. Ini apa coba? Oper-operan bola aja dari tadi. Gue terus yang dia jadiin umpan. Iblis!

"Ya sudah Bu, pakai itu saja." kata Vani sambil mencatat di ponselnya.

"Fix. Yuk, cuss." Jeva pun mengamini.

Ampun dah. Diskusi macam apa sih ini... 😴😩

"Ya sudah, berarti fix, ya? Clear." kata Real mengakhiri diskusi tak jelas ini.

Mufakatnya mana? Belum-belum sudah bilang 'fix' aja. 😕

"Sebentar Pak Real, lalu ini nanti cara penentuan poin nilai per kriterianya gimana?" selaku.

***

"Gimana, Bu Dara? Udah, nggak usah terlalu susah-susah. Santai aja." ujar Real sembari tersenyum usai rapat kilat kami tadi.

Aku hanya balas tersenyum. Senyum yang ku paksakan.

Sejenak tertegun, melihat perubahan raut mukanya setelah dan sebelum rapat kecil tadi. Di depan anak-anak ia berlagak sok tegas, sok wibawa. Namun ketika anak-anak tidak ada, kesan santainya mendominasi.

Real sibuk dengan ponselnya.

"Kerja di sini harus kuat, Mbak. Karena orang-orang sini ya begitu itu. Saya juga baru di sini, baru satu tahun." dia mulai memecah keheningan.

Aku diam. Hanya ber-oh saja.

"Bu Dara dulu lulusan mana?"

Please.. 😑 panggil 'Mbak' aja bisa nggak?

Aku sebutkan nama satu-satunya Universitas keguruan swasta di kota kecil ini.

"Lulus tahun?"

"Dua ribu empat belas."

Dia ber-oh.

"Kalau Mas Real, lulus tahun berapa?"

"Saya baru mau wisuda bulan depan ini, Bu. November pertengahan." Real tertawa.

"Kampus mana, Mas?"

Dia menyebutkan nama Universitas yang sama denganku.

"Oh, di sana juga. Jurusan apa, Mas?"

"Olahraga."

Aku kembali ber-oh. Nah, dari situ aku tahu bahwa dia dulu belajar ilmu kesehatan jasmani di bangku perkuliahan.

"Lho, berarti dulu lulus SMA nggak langsung kuliah?"

"Langsung, Mbak."

Akhirnya, panggilan 'Mbak'-nya keluar juga.

"Tapi kok..."

Real kembali mendesahkan tawa. Dia mengerti maksud keherananku.

"Wah, saya dulu nakal, Mbak."

Mungkin maksudnya, pernah nggak naik kelas dulunya.

Aku kembali ber-oh.

"Nggak maksud jelek, saya pikir memang vakum dulu sebelum lanjut kuliah." kataku agak tidak enak hati.

Real hanya tersenyum. Kemudian ia beranjak dari duduknya.

"Ini lagi ngurus yudisium, Mbak. Sekitar tanggal 13 November nanti wisudanya."

Aku lagi-lagi hanya bisa ber-oh tanpa tanggapan apapun. Aku masih duduk di tempatku ketika dia undur diri meninggalkan ruangan.

Real.

Satu lagi kepribadian yang aku ketahui tentangnya secara kebetulan. Dia dulu anak yang nakal. Entah nakal dalam arti yang bagaimana. Tapi dari keterangannya di atas, yang jelas bukan nakal yang negatif. Hanya pernah tidak naik kelas saja. Apakah itu masih masuk dalam tingkat kenakalan yang wajar?

Pernah satu ketika aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang seseorang yang berpotensi besar menjadi jodohmu.

Tanda-tandanya yang sementara sudah mulai muncul adalah:

1. Dia selalu ada di sekitarmu, dan anda merasa nyaman ketika bersamanya. 

2. Kalian mengobrolkan tentang masa depan. Cita-cita, visi misi dan pandangan hidup serta prinsip masing-masing. Apa yang ingin di capai dan apa yang anda inginkan dalam hidup ini, semua anda ceritakan padanya dan dia mendengarkan anda. 

3. Dia terbuka. Dia menceritakan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi rahasia umum. Dan itu artinya dia percaya pada anda.

4. Sejauh apapun kalian berpisah, entah bagaimana pasti kembali dipertemukan di waktu, tempat serta situasi yang sama.

Nanti akan aku kisahkan tanda yang keempat. Karena pernah suatu ketika kami tidak sengaja atau secara kebetulan bertemu, lebih tepatnya dipertemukan, di waktu, tempat dan situasi yang nyaris bersamaan. Hanya selisih sepersekian detik saja.

Entah bagaimana permainan takdir ini akan berakhir. Yang jelas Tuhan telah menyiapkan banyak kejutan untuk manusia, salah satunya menyangkut jodoh. Tak peduli apakah kita suka kejutan atau tidak.

***
(tunggu kisah selanjutnya di You are REAL - 17)

Author: Dymar Mahafa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lara dan Alam Lain

What Do You Think About English Subject At School?

Dia Dan Alegori